Minggu, 03/04/2011
Ganjar Ayu
Perempuan itu selalu melewati jalan raya yang
menjadi jalan utama dengan menaiki sepeda usangnya. Wajahnya sebagian tertutup
topi caping warna cokelat tua. Pakaiannya pun biasa saja. Kalau tidak celana
panjang hitam, pasti rok lebar dengan corak bunga-bunga.
Sepeda usang yang selalu ia kayuh dengan semangat
itu, bukan sembarang sepeda biasa. Sepeda itu seperti layaknya mobil pengangkut
barang hasil bumi dari desanya. Di kanan kiri bagian belakang sepeda yang biasanya
berfungsi untuk membonceng orang, digantung semacam kantung besar dari bahan
karung goni untuk meletakkan sayuran. Sementara di atas batang besi penyambung
dekat setang diikat pula sayuran lain yang mungkin tidak muat diletakkan di
kantung besar tadi. Di dekat setang sepedanya kadang menggantung juga hasil
palawija lain seperti jagung atau umbi-umbian. Pokoknya sepeda tua usang itu
selalu berisi penuh dengan hasil bumi. Entah bagaimana caranya, ia bisa
mengimbangi beban berat yang dibawa dengan kekuatan sepeda usang itu sendiri.
Kadang-kadang, jika musim buah rambutan atau
bengkoang tiba, kantung besar dan di dekat setang sepedanya itu terisi ikatan
rambutan memerah yang siap dibeli kapan saja oleh yang berminat. Tidak harus
dijualkan hingga sampai di pasar. Kalau ada yang hendak membeli ketika ia masih
di tengah jalan, pasti ia ladeni. Kadang ikatan buah-buahan itu berjumlah dua
atau satu-satu. Boleh dibeli satu ikat saja atau dua-duanya. Harganya pun
terjangkau.
Sepeda tua itu memang setia mengantarkan tuannya
hingga sampai ke tujuan. Kalau dari arah ia datang, jarak yang ditempuh hingga
mencapai pasar atau tempat tujuannya berjualan tidaklah dekat. Bisa
berkilo-kilometer, melewati banyak jalan raya dan jalan kecil.
Saat pagi baru merekah di mana orang lain baru mau
memulai berkarya mengejar cita, ia bisa lebih pagi terlihat mengayuh sepeda.
Menjelang malam kayuhannya melintas di sepanjang jalan itu lagi.
Perempuan bersepeda itu raut mukanya selalu biasa
saja. Datar. Tanpa ekspresi dan tidak terlihat lelah. Kalau boleh dibilang,
tampaknya ia sangat menikmati pekerjaannya ini. Bahkan ketika barang yang ia
bawa tidak berkurang banyak alias tidak laku dibeli.
Aspal jalan serta debu adalah saksi bagaimana ia
berjuang demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
*****
Hari ini perempuan paruh baya itu menuntun sepedanya
pelan-pelan. Tidak ia naiki. Wajahnya lebih muram dari biasanya. Caping cokelat
yang menemani ia sehari-hari makin kusam warnanya, tetapi tidak dapat menutupi
kemuraman dirinya. Sepeda ia tuntun pelan-pelan seperti tanpa nyawa.
Angin yang kencang berhembus menambah kesan
kesedihan yang ditebarkan perempuan tegar itu. Mestinya hembusan angin yang
tidak biasa itu, bisa meluruhkan segala
sesuatu yang tidak menyenangkan. Nyatanya tak mampu juga. Bahkan perempuan itu
sedikit kepayahan mempertahankan posisi caping yang ikut berlari ke samping
kanan dan kiri, mengikuti hembusan angin kencang tadi.
Rok polos cokelat tua dengan sedikit corak
kembang-kembang yang ia kenakan hari ini juga sempat merepotkannya. Angin
mengibarkan rok yang tidak terlalu lebar tersebut bersamaan dengan caping di
kepalanya. Maka, demi tidak membuatnya lebih repot, perempuan itu berhenti di
pinggir trotoar jalan. Sepeda ia parkirkan di dekat situ. Ia usahakan tidak
mengganggu lalu lintas yang melintas di sekitarnya. Perempuan itu beristirahat
sejenak di samping sepedanya.
Ketika caping ia buka, terlihat rambut hitamnya
diikat ke atas. Begitu caping terbuka, ikatan rambutnya itu meluruh dan terurai
lepas. Ternyata, meski dengan segala beratnya ia menanggung hidup, perempuan
paruh baya ini masih bisa mengurus dirinya sendiri. Dibuktikan dengan rambut
hitamnya itu. Jenis rambut seperti itu adalah jenis rambut yang dipelihara
meski dengan cara tradisional biasa. Ia juga sempat mengikat kembali rambutnya.
Caping kembali ia kenakan.
Angin yang membuatnya berhenti sejenak ini, masih
terus berembus kencang. Langit mendung menandakan hujan yang bisa jadi akan
kembali datang. Semalam memang hujan mengguyur bumi membuat tanah basah tak tersisa.
Sisa genangan air hujan pun masih terlihat di jalanan ini terutama di tempat
yang sedikit berlubang. Kalau tidak hati-hati, bisa menimbulkan masalah.
“Hhh…” perempuan itu mendenguskan napasnya.
Sebentuk keresahan lain muncul di raut wajah tuanya
seiring awan hitam yang makin menutupi alam raya. Dalam ingatannya muncul
banyak hal yang mengharuskan ia berjuang seperti sekarang. Tentang masa lalunya
yang ditinggal suami hanya demi janda muda di kampung sebelah di saat anak
mereka masih kecil-kecil. Tentang asal-muasal ia bisa bekerja seperti sekarang
karena kebaikan Wak Haji yang memiliki kebun palawija dan memberi kesempatan
padanya untuk menjualkan ke kota. Tentang kebutuhan hidup yang makin menghimpit
termasuk keharusannya berhutang kepada seorang rentenir dan tentang usianya
yang kian menua, tetapi ia harus terus bekerja sendiri seperti sekarang, tidak
berubah sejak bertahun-tahun lalu.
Perempuan itu melepaskan capingnya lagi, namun
talinya sengaja ia ikatkan di bawah leher sehingga capingnya menggantung di
punggung belakang. Matanya menatap awan-awan yang kian berarak menghitam. Angin
kencang sudah sedikit berkurang. Kendaraan malah makin banyak yang berlalu
lalang.
Di antara awan-awan yang berarak menghitam itu,
tampak wajah ketiga anak kebanggaannya. Yang bungsu masih sekolah di bangku
akhir SMA. Yang kedua sedang kuliah D3 di sebuah lembaga bahasa. Dan, yang
pertama akan diwisuda seminggu lagi. Atas prestasi ketiga anaknya ini, membuat
perempuan itu kian bergairah, bersemangat, dan bangga karenanya, terutama apa
yang akan terjadi pada si sulung. Kerja keras selama ini membuahkan sebuah
hasil berupa prestasi berarti dalam balutan sebuah gelar sarjana ekonomi yang
akan disandang si sulung. Bahkan oleh karenanya, selepas wisuda nanti, si
sulungnya akan langsung bekerja di sebuah perusahaan besar di kota ini. Ada
kebanggaan berlipat-lipat menyeruak di dadanya.
Terbayang, seminggu lagi ia bisa menyaksikan sebuah
pesta wisuda yang selama ini tidak pernah ia ketahui. Jangankan tahu, bagaimana
bentuknya saja ia tidak tahu. Yang ia tahu, anak terkasihnya itu akan menjadi
bagian dari sebuah kegiatan sebagai tanda akan sahnya kelulusan sang anak dari
perguruan tinggi yang selama ini menjadi tempatnya menuntut ilmu.
Senyum tipis berkembang terlukis di wajah perempuan
sederhana itu.
Tidak sia-sia apa yang ia korbankan selama ini.
Dari pekerjaan yang ia lakoni tiap hari dalam sekian
tahun ini akan membuahkan kebanggaan yang membuat napasnya lebih terasa lega.
Tidak peduli karenanya ia harus banyak berkorban bahkan tak sempat memikirkan
lebih untuk dirinya sendiri. Perempuan itu benar-benar merasa bahagia mengingat
itu semua.
Tapi sebelum semua terjadi, hari ini ia harus
mencari duit untuk mencukupi syarat pembayaran wisuda anaknya yang harus
dibayarkan besok. Jika tidak dibayarkan besok maka buyarlah segala bayangnya
tadi. Si sulung tidak akan bisa mengikuti wisudaannya.
Mata perempuan itu beralih pada segala barang
dagangannya di sepeda usangnya. Barang-barang dagangannya itu sejak kemarin
hanya berkurang sedikit. Itu berarti hasil penjualannya hanya menghasilkan uang
yang tidak banyak, tidak cukup untuk menutupi kebutuhan wisuda si sulung.
Padahal uang yang dibutuhkan bukanlah jumlah yang kecil untuk ukuran dirinya.
Apakah ia harus berhutang lagi kepada sang rentenir?
Bukankah hutangnya sudah menumpuk di sana dan entah kapan bisa terbayarkan?
Hati perempuan itu kembali terkoyak-koyak.
Kebanggaan serta kebahagiaan yang sesaat memenuhi jiwa raganya layaknya sebuah
kertas, sedikit demi sedikit mulai terkoyak menjadi belahan kecil-kecil. Meski
mungkin bisa dipungut lagi dan disatukan seperti puzzle, tapi dengan kondisi
seperti sekarang, kerapuhan dan kelemahan hati, sekonyong-konyong menguasai
diri hingga mencapai kedalaman semangat serta perjuangannya untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Belum lama otak perempuan itu berpikir keras,
tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah mobil yang melintas cepat. Karena
kecepatannya, lubang di tengah jalan yang membuat genangan sisa hujan tadi
malam memuncrat tepat membasahi hampir keseluruhan barang dagangannya.
Sayur-mayur dan sedikit buah-buahan yang ia bawa menjadi basah dan agak kotor
karenanya.
Perempuan yang adalah ibu dari tiga anak tersebut
terkejut. Tapi, ia tak bisa apa-apa sebab mobil yang menyebabkan hal ini sudah
melaju kencang. Tinggal pandangannya saja memelas. Sedikit bingung dengan
segala kejadian yang begitu cepat.
Tak sampai lima menit ia merenungi kejadian itu,
dari atas kepalanya terasa ada air jatuh dari langit. Sontak ia mendongak ke
atas.
Astaga.
Sudah akan mulai hujan lagi.
Tanpa ba-bi-bu lagi, perempuan itu dengan tangkas
langsung membuka tas kecil yang ia bawa. Di sana ada sebuah plastik putih lebar
yang sudah ia modifikasi sedemikian rupa hingga menyerupai jas hujan. Sebelum
hujan lebih deras, ia kenakan plastik putih tersebut yang menutupi tubuh bagian
atasnya.
Mengingat waktu yang kian menghimpit maka perempuan
itu segera pula melepas standar sepedanya kemudian mengayuhnya, menuju ke pasar
tujuannya.
Ketika baru tiga empat ia kayuh sepedanya, hujan
deras tanpa ragu turun dari langit menuju tanah pertiwi. Banyak manusia yang
tidak sempat berlindung dari serangan
hujan tersebut, meminggir buat sekadar berteduh.
Tapi, tidak dengan perempuan itu.
Tak ada tanda-tanda ia akan kembali menepi.
Ia terus mengayuh sepeda usangnya. Walau jalannya
melambat, hujan deras tidak menghalangi niatnya. Dalam niatnya hari ini, ia
harus mencari duit lebih banyak. Untuk sebuah cita-cita, untuk sebuah masa
depan anak kebanggaan dan tercintanya.
Senyum tipis mengiring kayuhan sepedanya di sela
hujan yang tidak mau kompromi dengannya. Semangatnya kembali tumbuh.
Perempuan itu biasa dipanggil Yu Ngatemi.
Dan, aku adalah anak sulungnya…
*Penulis bernama lengkap Anastasia Ganjar Ayu
Setiansih adalah penikmat sastra, tinggal di Bandung
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !