SESAAT setelah badan jasmani mati, Atma melakukan perjalanan jauh. Cerita perjalanan Atma ada di banyak tempat, dalam berbagai kebudayaan, dan bermacam kepercayaan. Yang sama dari tiap cerita itu, Atma dikabarkan sengsara, kesepian, dan ketakutan. Walaupun perjalanan itu penuh penderitaan, tidak ada cerita Atma menunda perjalanan. Apalagi membatalkan. Sepertinya tidak ada pilihan lain bagi Atma kecuali melakukan perjalanan itu. Ia tak mungkin bertahan tinggal dalam tubuh yang segera akan membusuk. Bagian tubuh yang berasal dari tanah kembali menjadi tanah. Yang berasal dan air kembali menjadi air. Maka Atma mencari rumah baru. Pilihan ada dua, hanya dua menurut cerita : Surga atau Neraka.
Atma seseorang yang di dunia
berkarma baik diyakini masuk Surga. Sebaliknya, yang berkarma buruk,
dipastikan masuk neraka. Kepastian ini sebatas keyakinan. Karena mustahil
membuktikannya. Baik Surga maupun neraka konon letaknya jauh di sana, entah di
mana. Di mulut tukang cerita lihai, anak-anak sampai menangis mendengar kisah
kesengsaraan Atma. Di tangan tukang cerita yang kurang berbakat cerita itu jadi
rusak Sebaliknya, tukang cerita humoris membuat orang terpingkal-pingkal
mendengar perilaku Atma yang ternyata juga bisa lucu.
Banyak orang tidak mempercayai
kebenaran cerita seperti itu. Tetapi orang yang meyakini kebenarannya, jauh
lebih banyak lagi. Namanya juga keyakinan, pasti susah dibuktikan. Sekarang
cerita perjalanan dalam bentuk buku. Sudah banyak pula diterjemahkan, dari satu
bahasa ke bahasa lain. Sehingga menceritakan atau mendengarkan cerita Atma
tidak lagi menakutkan seperti dulu sebelum listrik masuk desa. Sekarang banyak
orang mendengarnya sambil makan kacang, minum bir dan goyang-goyang kaki. Tak
jarang mereka tarpingkal-pingkal, karena yang sakral dari atma diceritakan
dengan vulgar.
Disini, di Pulau Bali ini, orang
mengenal cerita perjalanan Atma lebih banyak lewat pendengaran. Jadi, bukan
karena membaca. Kenyataan ini berhubungan dengan lebih donminannya kebiasaan
ngobrol daripada kebiasaan menulis dan membaca. Dalam salah satu fragmen kisah
perjalanan Atma, diceritakan Atma menyeberangi sebuah jembatan oleng (titi
ugal-agil). Dibawah jembatan oleng itu ada jurang menganga. Dari dasar
jurang terdengar jeritan Atma yang terjatuh minta tolong.
Ratapan itu didengar oleh Atma
yang sedang menyeberang. Makin ciut nyali Atma itu. Beberapa Atma
nampak tertancap diruncing batu cadas yang seakan taringnya jurang. Beberapa
lainnya tersangkut bergelantungan di ranting pohon pinggir jurang,
dipatuk-patuk ular berbisa. Mereka adalah Atma yang gagal menyeberangkan
dirinya. Karena berat membawa beban karma buruk selama hidup di dunia. Mereka
terjatuh dan menjadi penghuni jurang. Disiksa bermacam binatang buas dan hawa
dingin panas bergantian. Hanya karma baik menyebabkan Atma sukses melewati
jembatan oleng itu. Atma yang berhasil, setelah melewati jembatan itu, konon
akan menemukan jalan bercabang dua.
Cabang
pertama berupa jalan bersih, aman, lestari, indah. Itu
konon jalan menuju neraka. Sebaliknya cabang kedua, penuh duri,
susah, penuh godaan, berbahaya. Konon itu jalan menuju surga. Diceritakan pada
umumnya Atma bingung memilih jalan. Karena itu, keluarga yang masih hidup
disarankan menasihati orang yang mati.
Di hadapan jenasah, yang hidup
dilatih berpesan, agar Atma berani memilih jalan yang sulit Nasihatnya, jangan
sekali-sekali tergoda oleh kemudahan sebuah jalan. Jalan yang mulus dan
lancar-lancar saja sering menipu. Keluarga yang ditinggalkan ingin agar Atma
orang yang mati langsung menuju surga. Karena surga sudah pasti lebih bagus
daripada neraka Pengetahuan mereka tentang surga didapat dari bergaul dengan
tradisi. Jadi, bukan pengalaman langsung. Karena sangat absurd, bila seseorang
harus mati dulu hanya untuk tahu surga maupun neraka.
Tetapi di dalam dunia cerita,
yang pasti berbeda dengan kenyataan, ada manusia super bisa jalan-jalan ke
surga maupun neraka, tanpa harus mati terlebih dahulu. Contoh paling sering
disebut-sebut, kisah perjalanan Dharmawangsa setelah istrinya (Drupadi) dan
semua adiknya (Pandawa) mati. Setelah perang Bhatayuddha yang mahadahsyat,
tinggal ia bersama seekor anjing. Bersama anjing setia itu ia naik ke surga
barbadan manusia. Dalam pementasan wayang, tentu ia naik ke surga berbadan
wayang. Ternyata adik dan istrinya tidak ada disana. Mereka sudah dimasukkan ke
neraka karena kesalahan masing-masing. Ia pun lantas mengunjungi mereka ke
neraka. Karena ia manusia suci, ke mana pergi kesucian mengikuti. Kesucian
menjadi kekuatan menawan yang tinggi. Neraka kemudian ia ubah menjadi surga Dan
berhasil. Itulah salah satu contoh manusia yang bisa pergi ke surga ketika
masih berbadan kasar.
Masih ada contoh manusia super
masuk Surga tanpa mati terlebih dahulu, seperti dalam cerita rakyat
Bali-Lombok, Cupak-Grantang. Bukan karena kesucian ia naik ke Surga, tetapi
dengan menyatukan empat saudara mistis kelahirannya. Cerita ini banyak
penggemarnya di luar tembok istana’.
Dahulu Tradisi dibedakan atas
tradisi di dalam tembok istana dan tradisi di luar tembok istana. Bila
Dharmawangsa datang dari negeri nun jauh di sana, Cupak datang dari dekat-dekat
sini. Tampang mereka sangat bertolak belakang. Dharmawangsa berwajah Dewa.
Cupak berwajah preman, rambutnya gondrong acak-acakan, tidak pernah disisir dan
diminyaki. Matanya selalu marah karena sering mabuk. Cara berpakaiannya pun
tidak umum. Keduanya mewakili kelompok dan paham tidak sama. Yang satunya elite
yang satunya lagi jelata Yang satunya Shiwa, satunya lagi Bhairawa Cerita Cupak
memang tidak dikelompokkan dalam epos atau mitos, tetapi cerita rakyat.
Dalam dunia cerita, bukan hanya
manusia super mengunjungi Surga. Raksasa pun diceritakan memasuki surga dengan masih
mengenakan badan kasar. Pelukisan badan kasar raksasa memang sangat kasar.
Perilakunya kasar. Bicaranya kasar. Makanannyapun yang kasar-kasar. Sangat
bertolak belakang dengan para Dewa yang berbadan halus, berbahasa sopan,
berperilaku adab, makanannya sari-sari, menghormati kaum lemah seperti
bidadari, dan wanita surga. Bila Atma manusia datang untuk menjadi abdi di
surga, raksasa datang untuk menggempur istana Dewa. Dalam banyak cerita,
raksasa selalu bemafsu merebut kekuasaan dari tangan Dewa. Dewa yang tidak sudi
mengotori tangan beliau dengan darah dan kekerasan, meminjam tangan manusia
sakti yang beliau temukan di hutan pertapaan lewat utusan bidadari penggoda. Manusia
pilihan Dewa pasti berhasil menyelamatkan surga. Karena tuntutan moral cerita.
Raksasa harus kalah. Manusia harus berperang di jalan Dharma. Dan Dewa harus
suci plus dihormati Tidak ada Dewa tidak suci. Manusia yang menolak berperang
dihinakan dan dinistakan. Raksasa yang kalah perang dimatikan. Tetapi bagaimana
cara raksasa datang ke Surga semasih berbadan kasar? Jawabannya tidak dapat
diketahui dari dalam cerita. Mereka datang saja ke surga, seakan rumah mereka
tidak jauh dari sana.
Surga dan neraka sekadar contoh
dualisme yang paling sering disebut-sebut. Bila surga neraka tempat sesudah
mati, lantas bumi tempat kita hidup sekarang ini apa? Tradisi menyebutnya “tempat
dimana ada kematian”(mertyupada). Yang mematikan adalah Waktu (Kàla).
Manusia lahir sebagai bayi di tempat di mana ada kematian. Itu masuk akal.
Karena tiap yang lahir langsung terkena vonis mati oleh kehidupan. Hari dan
tanggal eksekusi dirahasiakan. Hidup tidak lantas berarti menim Melainkan
meneanibekal mati Begitu tradisi mengajarkan. Karma baik adalah bekal yang akan
menolong perjalanan Atma. Di sinilah agama menghadirkan dirinya sebagai pemandu
hidup. Pada zaman seperti sekarang, agama tidak sendirian memandu hidup
manusia. Muncul pemandu tandingan merebut kapling agama, seperti ideologi
negara, ideologi pasar, dan sebagainya.Di banyak tempat, agama sebagai pemandu
hidup telah ditinggalkan. Di lebih banyak tempat di dunia ini, agama sebagai
pemandu makin dikukuhkan. Karena bumi di maknai tempat di mana ada kematian (mertyu
pada), konsekwensinya pemandu (agama) pun pada saatnya nanti akan mati.
Karena hanya di dunia di mana ada kematian ada kelahiran, maka konskwensinya
akan muncul pemandu baru yang tidak harus agama. Lalu apa?
Karena kita akan mati, bumi ini
tidak ubahnya sebuah titik persinggahan sementara. Sebuah titik yang sangat
besar untuk mampu dijelajahi manusia seorang diri. Hidup seratus tahun akan
terasa sangat membosankan bagi orang yang hanya mencari bekal hidup. Bagi yang
mencari bekal mati, satu umur manusia konon terlalu pendek. Mungkin karena itu,
pameo “aku ingin hidup seribu tahun lagi” lebih dikenal daripada puisi
yang memuat kalimat itu. Bagi yang letih berkarma karena konteks sudah tidak
mendukung, sering mengambil pilihan memaksa. Waktu mengakhiri pencariannya.
Bunuh diri !
Dalam banyak cerita, bumi
ditempatkan di bawah. Dewa atau bidadari yang pergi ke bumi secara sukarela
maupun terpaksa, disebutkan turun ke bumi. Mereka berjalan melewati langit dan
menerobos awan. Arjuna pun disebutkan kembali turun ke bumi, setelah
menyelesaikan tugas menyelamatkan surga dari serangan raksasa, dan tentunya
setelah usai menikmati limpahan anugerah sebagai pahlawan.
Penganut
paham Samkhyadarsana, satu da enam aliran filsafat Hindu, menempatkan bumi pada
urutan paling bawah pada sistem tattwa yang mereka pakai memahami realita. Di
atas bumi ada banyak realita yang tidak akan dibicarakan di sini. Bumi disebut
realita paling bawah karena semua realita yang ada di atasnya bertemu dibumi.
Dalam realita bumi inilah surga dan neraka diciptakan. Surga dan neraka adalah
satu dari beberapa penemuan besar manusia bumi. Penemuan lebih besar adalah
agama. Penemuan paling besar, sudah tentu. Tuhan.IBM. Dharma Palguna.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !