oleh : Zeventina
Octaviani
Dua
”bodyguard” mengantarku, satu bertugas merangkap supir. Badan mereka
besar-besar. Dari ototnya terlihat bahwa mereka adalah orang-orang terlatih
untuk menjagaku. Mereka mengantarku ke sebuah hotel mewah berbintang 5.
Kamar
462. Doakan aku selamat, ya...,” bisikku lirih. Salah satu dari bodyguard itu
menatapku. Sorot matanya sulit kumengerti. Aku tak tahu apa yang ada di dalam
hatinya, tetapi di balik wajah garangnya, kulihat kedamaian.
”Hati-hati,”
katanya singkat saat melepasku. Pistol tersembunyi di balik celananya yang
tertutup kantong besar. Aku tersenyum padanya sebelum berlalu. Rahadian.
Di
lift, kulihat bayang diriku. Tubuhku tirus terbalut rok mini dan atasan hitam
menerawang. Tubuh yang jiwanya seperti keluar dari jiwaku. Entah jiwa milik
siapa, sulit kukenali lagi.
Hari
ini di kamar 462, aku akan menari, membawakan tarian yang berjudul tarian
pengorbanan.
Di
Indramayu, setelah ibu sakit keras yang mengakibatkan tubuhnya mengeluarkan
bau-bauan tak sedap, aku sering mencari tikus untuk ditukar sejumlah uang. Aku
sudah berusaha melamar untuk bekerja ke sana-ke mari, namun begitu sulitnya
dengan ijazah SMA yang kumiliki.
Karena
banyak sekali tikus liar, maka pemda setempat memberikan sejumlah uang untuk
setiap tikus yang terbunuh. Aku bisa mengumpulkan uang untuk pengobatan ibu.
Teman
sebayaku banyak yang menjajakan tubuh ke para lelaki hidung belang. Mereka
bergerombol berdiri di pinggiran jalan setiap malam tiba. Dalam sekejap mereka
mendapatkan uang cukup banyak. Aku tak tertarik. Aku memilih berburu tikus,
lebih halal daripada menjajakan tubuh.
”Apa
pun yang terjadi, berjanjilah pada Ibu untuk tidak terseret ke lembah hitam.
Lebih baik miskin terhormat daripada kaya raya tetapi harus menjual diri.”
”Aku
berjanji, Bu.”
Kini,
aku terpaksa harus mengingkari janjiku. Walau seluruh manusia di muka bumi ini
mengutuk pun aku rela. Angina Pectoris yang di derita ibu, di tambah Herpes
Simplex Virus yang menyebabkan bisul bau dan bernanah di sekujur wajah ibu,
membutuhkan biaya besar untuk mengobatinya. Aku ingin ibu sembuh.
Lelaki
yang akan meniduriku kali ini adalah seorang bos dari Jepang. Perawakannya
pendek dengan perut tambun. Dia menyuruhku mandi. Setelah mandi, aku mulai
menari. Menarikan tarian yang sengaja kuciptakan untuk membuatnya ketagihan.
Tarian yang melibatkan seluruh panca indraku bekerja. Tarian penuh gelora.
Terkadang,
tangan kasarnya memperlakukanku tidak senonoh. Mencakar kulitku hingga terasa
pedih, namun semakin pedih, bayang wajah ibu semakin tergambar jelas. Semakin
pedih terasa, kecintaanku pada ibu semakin kuat.
***
Bapak
kandungku adalah seorang bupati. Dia yang seharusnya bertanggung jawab, malah
lari bersama wanita simpanannya, membawa semua harta yang kami miliki. Dia
hanya menyisakan rumah saja, yang telah lama kami jual. Kini kami menempati
rumah kontrakan yang kecil dan kumuh.
Bapak
menceraikan ibu di saat ibu butuh dukungan atas sakit yang dideritanya. Bapak
memanipulasi harta gono gini bersama pengacara sahabatnya. Permainan kotor yang
menyakitkan hatiku.
Luka
yang diderita ibu begitu sempurna. Jiwa dan raga. Aku marah pada Mbak Ning yang
menghalangiku menusuk bapak dengan pisau.
”Biarkan
bapak gila, kita tak usah terbawa gila.” kata Mbak Ning. Aku menangis di
pelukannya.
Dari
hasil melacur, rupiah demi rupiah kubayarkan ke rumah sakit. Dengan perasaan
bahagia membayangkan ibu akan segera sembuh, kutengok tidurnya yang pulas.
Wajah ibu mulai cerah. Bisul dan nanah di sekujur tubuhnya sedikit berkurang.
Mbak
Ning tengah bersenandung ketika aku datang. Dia begitu telaten merawat ibu.
Namun begitu melihatku, raut wajahnya berubah.
”Jangan
dekati ibu!” bisiknya ketus. Hatiku tergetar. Tak biasanya Mbak Ning bersikap
demikian kasar padaku.
Tak
ingin ibu paham apa yang terjadi, aku keluar diikuti Mbak Ning. Di kursi ruang
tunggu, kami duduk berhadapan.
”Jika
kau masih mau kuanggap sebagai adikku, berhentilah melacur!” katanya tegas. Aku
menciut. Tak mengira Mbak Ning akan tahu. Kepadanya, aku berbohong mengatakan
aku kerja di bank.
”Tuhan
akan membuka jalan dari setiap kesukaran. Tak perlu melacur pun, Mbak yakin ibu
bisa sembuh!” katanya. ”Mbak akan meminta keringanan rumah sakit dan mencoba
menghubungi mantan relasi bapak. Mbak yakin rekanan bapak yang dahulu sering
minta tolong mau membantu.”
Aku
tersenyum sinis. Aku telah lakukan itu. Tak seorang pun dari rekanan-rekanan
bapak yang mau membantu. Bahkan mereka melecehkan dan menghinaku.
”Percuma
Mbak. Aku sudah mencoba, tapi mereka balik menghinaku.” Mbak Ning menggeleng.
”Tetap akan kucoba. Tolong jaga ibu dan berjanjilah padaku untuk berhenti
melacur!”
Aku
mengangguk. Mbak Ning menghampiriku lalu memelukku. Dengan ketegaran luar
biasa, Mbak Ning meninggalkanku. Dalam hati aku berjanji untuk berhenti
melacur.
Dua
hari sudah, Mbak Ning menghilang. Dua hari itu pula, aku tak beranjak dari
rumah sakit menemani ibu. Suster mulai bicara tentang rupiah yang harus kubayar
untuk menebus obat ibu. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan untuk mengulur
waktu.
Malamnya,
saat ibu tertidur pulas dan aku tengah duduk di luar menatap bulan, seseorang
menghampiriku. Dari kelibas bayangnya, cara dia melangkah sampai detail
gerak-geriknya, aku hafal.
”Apa
kabar?” sapanya kaku. Walau lama berteman, kami jarang bicara.
”Baik.”
Jawabku.
”Kapan
kamu akan kembali?”
”Aku
tak akan kembali.”
”Mengapa?”
Jawabnya dingin.
”Dilarang
mbakku. Dia tak setuju aku melacur.”
Lalu
sunyi.
Dia
menatap langit. Tubuhnya yang tinggi menjulang menciptakan bayangan raksasa.
Sampai pagi, dia tetap berdiri mematung. Menungguiku yang duduk bertopang dagu
di bangku.
Pagi
hari, saat suster datang dan mulai bicara masalah keuangan, kudengar kabar itu.
Paimin, tetanggaku yang berjualan bakso di samping rumah, menyeruak masuk
dengan napas tersengal.
”Mbakmu
di PGD, cah ayu. PGD sini.”
”Eh,
kenapa? Ada apa dengan mbakku?”
Paimin
berlari, aku mengikuti. Di PGD kulihat Mbak Ning. Ususnya terburai keluar.
Seprai rumah sakit yang berwarna putih berubah merah pekat. Aku menggigil.
Tanganku gemetar sulit digerakkan.
”Dia
menjual organ tubuhnya secara ilegal. Saat kutemukan, kondisinya sudah parah.
Tak tertolong lagi.”
”Tak
tertolong? Tidak!!!” Bagaimana bisa mbakku yang sangat tegar dan tenang bisa
pergi dengan cara begitu?
”Dia
menitipkan ini padamu. Kutemukan di samping jasadnya.” Paimin menyerahkan
sebuah amplop coklat berisi segepok uang seratus ribuan, dengan sepucuk surat.
Sulit sekali membuka surat dengan tangan gemetar.
”Adikku
sayang, kujual organ tubuhku demi ibu. Semoga uang ini cukup sampai ibu sembuh.
Pesan terakhirku, apa pun terjadi, janganlah melacur, bekerjalah yang halal,
walau untuk itu kau harus kehilangan nyawamu.”
Mbakmu,
Ning.
Dunia
terasa gelap. Tubuhku lunglai. Tulang kakiku tak sanggup lagi menopang tubuhku.
Aku terjatuh di pelukan Rahadian....
Mbak
Ning kini hanya tinggal nama. Namun keharumannya terpatri di hatiku. Aku
bersumpah tak akan melacur lagi. Walau Mbak Ning sudah pergi, aku akan tepati
janjiku.
Setelah
pemakaman Mbak Ning, kondisi ibu turun drastis. Ibu tak mau makan. Dalam
tidurnya dia selalu menyebut nama Mbak Ning. Tak pernah sedetik pun
kutinggalkan ibuku. Aku menjaganya siang malam.
Rahadian,
entah kenapa, jadi sering menemaniku di rumah sakit. Dia terkadang membantu
mencucikan baju kotorku dan baju milik ibu.
Suatu
malam, ibu memanggilku. Aku duduk di samping tempat tidurnya.
”Nak,
kembalilah bekerja. Biarlah Ibu dijaga suster. Ibu tak mau melihatmu pucat pasi
begini. Ayolah, kau lanjutkan hidupmu.”
”Tidak,
Bu. Aku akan tetap di sini menemani Ibu sampai sembuh.”
”Jangan
hancurkan masa depanmu, Nak. Bagaimana kalau kau dipecat dari kantor gara-gara
sering alpa? Tinggalkanlah Ibu, kau butuh istirahat juga.”
Aku
mengangguk. Ibu begitu baik. Dengan berat, kuturuti permintaan ibu.
Hari
itu, untuk pertama kali setelah sekian lama, kujenguk rumahku. Aneh rasanya
tidur tanpa Mbak Ning dan ibu.
Paginya,
aku bergegas ke rumah sakit. Aku ingin memastikan ibu baik-baik saja. Sejak
semalam perasaanku tak enak. Selalu kepikiran ibu. Ketika sampai di kamar ibu,
kulihat ada police line. Begitu banyak orang berkumpul. Bergegas kudekati
kerumunan itu.
Ternyata
firasatku menjadi kenyataan. Ibu yang kukasihi bunuh diri dengan selendang
biru. Selendang laknat itu diikat ibu ke besi di atas tempat tidurnya. Mata ibu
melotot dengan lidah terjulur kaku.
Dengan
perasaan hancur, kuusap air yang menganak sungai di mataku. Hatiku sakit
sesakit neraka.
Kuambil
selendang biru yang dipegang polisi itu. Kucaci maki suster, dokter, dan semua
satpam rumah sakit yang tak bisa menjaga ibuku dengan baik. Kupukul dan
kutendangi tembok rumah sakit dan semua orang yang berkerumun di sana. Berharap
mereka bisa merasakan sakit yang kurasa.
Duniaku
gelap dan suram. Air mataku kering sudah. Aku benar-benar ingin menyusul mereka
ke surga.
Berbulan-bulan
sesudah kematian ibu, di rumah hanya ada aku. Kadang aku tertawa sendiri.
Menertawakan nasibku yang edan.
Kuingat
lagi kenangan hidupku bersama ibu dan Mbak Ning. Dulu kami sangat bahagia. Kurunut
lagi di mana letak kesalahan itu. Bapak. Ambisinya akan kehormatan, uang, dan
wanitalah penyebab semua ini. Aku mengutuk bapak. Gara-gara bapak aku
terjerumus ke lembah hitam. Andai sekarang bapak datang padaku, memohon ampun
sekalipun, aku tak sudi memaafkannya. Harga kehilanganku pada ibu dan Mbak Ning
terlalu mahal untuk ditukar kata maaf.
Tadinya,
aku berniat mengikat leherku dengan selendang atau kawat berduri. Atau aku
ingin dilindas traktor berisi beban jutaan kilo. Namun setiap kali datang keinginan
itu, suara Tuhan melintas.
Aku
adalah pelacur. Namun di saat-saat kritis itu, toh aku masih mengingat
nama-Nya. Dalam sedih, aku berdialog dengannya. Kadang, aku menangis
menceritakan nasibku pada-Nya. Aku memang pelacur tak tahu malu, karena masih
mengingat Tuhanku.
Dalam
saat terberatku, Rahadian rajin merawatku. Dia menjadi dekat denganku. Hampir
setiap hari, dia jambangi rumahku. Mengajakku ngobrol, menyiapkan makanan
untukku, menyiapkan air panas untuk mandiku. Sampai akhirnya, kuserahkan diriku
bulat-bulat padanya dengan kerelaan. Berbeda dengan saat aku menjadi pelacur.
Kepadanya, kuberikan kehangatan dan cinta, sesuatu yang sebelumnya belum pernah
kuberikan pada lelaki mana pun di dunia ini.
Karena
aku sudah sebatang kara, saat dia melamar, kuterima pinangannya. Kami pun
menikah secara sederhana.
Setahun
setelah pernikahan itu, anakku lahir. Kami menyambutnya dengan sukacita. Ibu
Rahadian dari Kalimantan datang. Melihat cucu pertamanya, kebahagiaan terpancar
jelas dari sinar matanya.
Bayiku
yang lucu digendongnya. Lalu dari tas yang dibawanya dari Kalimantan, dia
mengeluarkan selendang biru. Coraknya sama dengan corak selendang biru yang
dipakai ibu gantung diri! Sama persis!! “KOMPAS” - Minggu, 17 Oktober 2010.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !