“Orang
Bali akan terpinggirkan di pulaunya sendiri”.
“Kita
akan tergusur oleh pendatang. Pulau Bali akan dipenuhi bangunan-bangunan wisata
dan ruko-ruko, sementara tempat tempat suci akan terhimpit di antara
pusat-pusat bisnis itu”.
“Kita
akan seperti orang Betawi, yang terpinggirkan dan tak punya tanah di pulau
kelahirannya sendiri”.
Kalimat-kalimat
tersebut, semakin sering kita dengar sebagai ungkapan “putusasa” orang Bali.
Ungkapan-ungkapan itu mengabtraksikan keresahan masyarakat Bali terhadap
kerusakan pulau yang dihuninya. Keresahan terhadap nasib bangunan-bangunan suci
atau pura yang memang kian terhimpit bangunan-bangunan yang didirikan untuk
kepentingan bisnis atau pariwisata. Keresahan masyarakat Denpasar terhadap kian
berjubelnya para pendatang dari pulau lain.
Salahkah
masyarakat yang resah? Kita tak bisa menyalahkan mereka. Keresahan ini akan
terasa wajar seandainya kita lebih jauh menelisik “sejarah keresahan” mereka.
Kapan
pura-pura mulai terbuka untuk orang asing?
Dalam
sejarah Bali, umumnya warga desa adat di seantero Bali sebelum era Belanda,
sangat mensakralkan dan menjaga kawasan pura-pura mereka. Ini bisa kita lihat
bagaimana kisah peneliti-peneliti Bali asal Belanda, seperti Stutterhim dan
juga Dr Goris yang begitu susah untuk meneliti pura-pura yang menyimpan
prasasti-prasasti. Pada awal-awalnya, masyarakat Bali tidak mengijinkan warga
desa lain masuk wilayah pura mereka tanpa alasan yang jelas. Apalagi buat orang
asing yang ingin membaca prasasti-prasasti mereka. Namun berkat “pendekatan”
para peneliti-peneliti Belanda waktu itu begitu kukuh, dengan keahlian mereka
terhadap budaya dan pembacaan prasasti, ditambah lagi kekuasaan Belanda yang
mencengkram Bali ketika itu, maka terbukalah pura-pura itu buat mereka. (Sisi
baiknya, terbukalah juga isi-isi puluhan prasasti-prasasti yang sangat
dikeramatkan itu).
Semenjak
itu, era Belanda, pura-pura di Bali mulai “dibuka” untuk orang asing. Dan,
tentu saat itu tidak semua orang bisa asing bisa masuk pura. Seorang pelukis
Eropa, Niewankamp, yang pertama masuk Bali tahun 1904, setelah beberapa kali
kembali datang ke Bali, dan beberapa kali mendatangi Pura Pucak Penulisan, di
kawasan Kintamani, tidak diijinkan masuk pura itu. Ia sempat diusir oleh
kelompok warga adat. Ia akhirnya diam-diam dengan masuk pura itu dan melukis
beberapa bagian bangunannya, tanpa pengetahuan warga adat.
Terbukanya
beberapa pura-pura Bali untuk dijadikan sight seeing atau objek kunjungan
wisatawan pada awal era pariwisata tak lepas dari polemik dan perdebatan warga
atau penyungsungnya. Kalau kini banyak pura-pura sudah masuk brosur-brosur agen
perjalanan wisata, “penjualan” seperti ini telah memakan banyak perseteruan
warganya. Apakah warga setuju membuka pura mereka untuk orang asing atau tidak?
Di beberapa tempat, ini menjadi sumber konflik yang laten memecah warga desa
adat. Pura Besakih yang kini menjadi objek favorit kunjungan para wisatawan,
apakah memang dari semula bisa dimasuki pengunjung-pengunjung yang tidak
sembahyang? Silahkan pembaca jawab sendiri.
Terhimpitnya
Pura-pura
Setelah
beberapa pura-pura mulai terbuka buat orang asing, yang hanya alasan sebagai
wisatawan dan tidak sembahyang bisa leluasa masuk pura-pura yang dulu
disakralkan, Bali semenjak era tahu 1970-an memasuki tahap persoalan lebih
gawat: terhimpitnya pura-pura. Beberapa Pura Segara di kawasan-kawasan wisata,
seperti di Sanur, Legian dan Kuta, kian terhimpit. Sekarang beberapa pura-pura
tersebut sulit dibedakan halamannya dengan halaman hotel atau resort yang
menghimpitnya. Beberapa pura-pura di pantai-pantai yang dipenuhi hotel-hotel
dan restoran, pura seolah-olah adalah pelengkap atau “taman bunga” dari
hotel-hotel yang berdiri tinggi menggangkang.
Ketika
BNR (Bali Nirwana Resort) beserta lapangan golfnya dibangun, baru saat itu
keresahan masyarakat Bali meletus jadi demo besar-besaran. Tapi, demo tinggal
demo, kafilah tetap berlalu. Pembangunan BNR jalan terus, pendemo menggerutu
sendiri, kehabisan tenaga, kemarahan masa atas terganggunya Kawasan Suci Pura
Tanah Lot, seperti bisul saja, meletus lalu “sembuh” sendirinya. Tak lama saja,
kemarahan masa terdiamkan sendiri.
Pura-pura Subak
kehilangan sawah
Di
wilayah perkotaan, semenjak pengembangan Kota Denpasar dan Bandung, dari
awalnya sudah mengorbankan Subak. Pusat pemerintahan (kantor gubernuran) di
Kawasan Renon, sebelumnya adalah lahan persawahan yang produktif. Kini, Pura
Subak di kawasan Renon itu tak punya “penyungsung”. Kalau sawah-sawah telah
jadi bangunan-bangunan dan perumahan, lalu Pura Subak apa fungsinya? Sudah
belasan Subak yang punah di Denpasar dan Badung. Banyak yang menunggu giliran
untuk “dieksekusi mati”. Artinya, telah banyak Pura Subak telah kehilangan fungsi.
Silahkan tanya orang-orang tua warga Denpasar dan Badung, berapa subak telah
lenyap? Lalu, mari kita bersama-sama berhitung berapa Pura Subak yang
“nganggur” (Akan digusurkah? Dijadikan ruko-ruko, KFC atau Dunkin Donat?)
Mungkin
kita semua bertanya: “kemana” Ida Betara-Betari kalau pura-pura Beliau
kehilangan sawahnya, kekeramatannya dan kehilangan fungsinya?
Menjual natah
pekarangan
Bukan
hanya wilayah perkotaan, di desa-desa seantero Bali, pendatang memang datang.
Pendatang punya hak untuk datang dan membeli tanah, bangunan, pekarangan (yang
tentunya ada sanggah dan tugu keluarga di dalamnya), sebab Pulau Bali adalah
bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mereka
(pendatang-pendatang itu) adalah warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka punya hak, seperti juga orang Bali punya hak merantau mencari
penghidupan ke Sulawesi, Sumatera, Jakarta, Surabaya, Flores, Papua, serta
pulau dan kota-kota di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tak
ada salahnya mereka, tak bisa juga disalahkan masyarakat Bali (Denpasar) yang
kian resah karena pendatang. Setiap tahun pertumbuhan penduduk Denpasar cukup
tinggi, sebesar 3,1 % pertahun. Ini terdiri dari 0,7 % secara alami
(kelahiran), dan 2,4 % karena migran (pendatang). Sekarang penduduk Denpasar
65% kelahiran Denpasar dan 35% pendatang. Tidak dapat disalahkan juga penduduk
pulau lain datang sebab Bali (sekali lagi) adalah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Mereka ingin juga “berebut gula” di Bali yang perkapitanya cukup
baik dibanding rata-rata wilayah Indonesia.
Artinya:
Masalah kependudukan di Denpasar adalah sangat serius. Ini sebuah potensi
konflik yang besar kalau tidak ditangani secara arif. Kalau penanganannya tak
arif, justru penanganan yang berlebihan dan petugas-petugas yang sebelumnya
digaji dan dibentuk untuk mengatasi persoalan ini mempercepat dan memicu
meledaknya konflik. Kita dituntun untuk kembali meninjau peraturan yang telah
membuat “sewot” pendatang, sekaligus kita perlu kembali menertibkan
petugas-petugas penertib yang tak sopan. Perlu pelibatan banyak pemikiran.
Dan
masalah kependudukan ini, akan menjadi sebuah persoalan besar kalau
ditarik-tarik menjadi persoalan agama dan etnis. Peristiwa pengeksekusian
Sanggah keluarga di natah Nyoman Netri (yang belakangan ini sempat dipolemikkan
di koran ini), yang kemungkinan sudah dibeli secara sah oleh warga yang
kebetulan bukan warga Bali itu. Jangan sampai persoalan ini ditarik-tarik
menjadi persoalan antar warga pendatang (non-Hindu) dengan persoalan warga adat
(Hindu). Ini persoalan penjualan natah pekarangan/ halaman rumah keluarga
dengan pembelinya. Masalah pembongkaran sanggah tersebut dapat bisa dipecahkan
dengan mendengar petuah para Sadhaka dan Sulinggih serta pengelingsir desa
Adat. Bukan dengan pengerahan massa. Bukan dengan meletikkan atau menyulut
sentiment umat.
Penjualan
tanah natah ini bukan hal yang baru di Denpasar. Berkali terjadi. Bedanya,
sekarang menjadi kasus dan diberitakan media. Puluhan, mungkin ratusan natah
karang dan rumah umat Hindu telah beralih tangan (dijual) ke umat lain. Kalau
umat lain telah membeli tanah pekarangan kita yang ada penumun karang atau
tugunya, apakah umat lain yang membeli itu kita wajibkan untuk merawatnya atau
mertenin? Kita wajibkan mereka mebanten pada tugu itu? Buat umat lain, sanggah
dan tugu tentu “tidak punya fungsi”. Seperti juga warga Bali yang membeli rumah
warga Muslim di Jakarta yang ada musholla (ruang sholat) keluarganya. Apakah
kita (warga Hindu) yang membeli rumah itu akan memfungsikan musholanya tetap sebagai
musholla?
Setelah
peristiwa ini, sebaiknya pemuka adat dan agama, serta kita semua, harus duduk
bersama membicarakan hal ini. Mencarikan jalan tengahnya. Walaupun kita tidak
berharap warga Bali menjual karang natahnya, setidaknya kalau mereka terjepit
atau terpaksa menjual rumahnya, mereka tahu mau kemana mereka minta petunjuk
agar tidak terulang peristiwa Nyoman Netri.
Persoalan Tanah
adalah “Persoalan Tuhan”
Sebagai
warga Bali, dengan melihat sejarah “terbukanya” pura-pura buat orang asing dan
selanjutnya dijadikannya pura-pura sebagai objek wisata, terhimpitnya banyak
pura-pura di tengah ruko-ruko, mal-mal, hotel-hotel dan resort wisata, punahnya
subak-subak beserta Pura Subak-nya di perkotaan-perkotaan Pulau Bali, dan
terjadinya fenomena masyarakat urban berupa beralih tangan (dijualnya) karang
natah umat Hindu ke umat lain, kita dituntut lebih bijak mengurusi persoalan
palemahan gumi Bali kita.
Buat
kita orang Bali, persoalan natah dan tanah adalah “persoalan Tuhan”. Kasus
pembongkaran sanggah Nyoman Netri memperkuat kenyataan ini. Di tanah dan natah
masyarakat Bali, tegak berdiri ribuan tugu dan Sanggah. Lebih besar lagi,
berdiri Pura-pura Puseh, sunggsungan warga desa adat. Semua pura-pura Sad
Kayangan dan pura-pura (parahyangan-parahyangan) lainnya bergantung dari
“keutuhan” tanah Bali. Persoalan pelemahan (tanah) adalah persoalan parahyangan
(tatanan religiusitas).
Kalau
kita menyadari bahwa semua umat Hindu Bali keutuhan lahir-bathinnya tergantung
parahyangannya, kita dituntut bersikap arif terhadap persoalan tanah dan
palemahan di mana parayangan kita berpijak. Kalau kita tidak secara serius
memahami dan menyikapi dengan arif persoalan-persoalan yang terkait dengan
tanah dan natah kita, dimasa depan benturan terbesar yang terjadi di tengah masyarakat
Bali akan muncul dari tanah dan natah. Ini adalah cikal-bakal pecahnya umat
Hindu sendiri, telah terlihat dari pecahnya keluarga-keluarga karena sengketa
tanah dan natah. Kemalangan kita akan makin bertambah, kalau kita mencari
kambing hitam, menjadikan warga perantauan (warga Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari pulau-pulau lain yang merantau ke Bali) menjadi sasaran
kemarahan kita.
Dari
waktu ke waktu, semakin menumpuk persoalan di pulau yang kita cintai bersama
ini. Karenanya, kita mesti lebih banyak merenung: Tidakkah kita sendiri yang
teledor?
by SL© on August 5, 2010
Oleh Sugi Lanus
Denpasar,
Januari 2003.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !