Kompas - Cetak | 30 Juni 2015
Marhaban ya Ramadhan, selamat datang wahai Ramadhan! Bulan suci
penuh berkah yang semestinya diisi dengan memperbanyak tadarus, sedekah,
iktikaf, dan berbagai ibadah serta amal kebajikan. Disempurnakan dengan zakat
fitrah di akhir Ramadhan.
Kenyataannya banyak pihak yang menyiakan-nyiakan makna bulan suci ini. Bulan puasa malah diisi dengan begadang menonton pelawak semalam suntuk di layar televisi.
Pengusaha layak diakui
sebagai pihak yang paling sigap merancang dan menayangkan iklan, poster,
atau neon sign di televisi, plaza pertokoan, serta jembatan penyeberangan
dalam menyambut bulan puasa bagi umat Islam. Bukan sekadar ucapan, mereka juga
memutar musik dan lagu religius di toko dan food court alias pujasera. Ramadhan malah diisi dengan keriuhan,
kebisingan, dendang, dan rendang.
Para 'Aa' dan 'Mamah' jauh lebih sibuk melayani program
"siraman rohani" di layar TV atau acara buka bersama. Perusahaan
memacu target produksi memenuhi stok Lebaran. Karyawan bekerja lebih keras demi
bonus. Para buruh harap-harap cemas memikirkan THR yang kerap telat atau batal
dibayar majikan. Tukang ojek, tukang "ngobyek", hingga penganggur
dikejar gemuruh tuntutan Lebaran yang tak terelakkan.
Ketika problem ekonomi mengimpit, Lebaran malah menjadi momok yang
menakutkan. Banyak kalangan memaknai secara keliru bulan puasa.
Kepahitan sosial akibat
kebutuhan logistik yang melambung harganya mengharu-biru jiwa kaum marginal di
tengah kota hingga perkampungan terpencil. Lebih dari 11 bulan lainnya, pada
bulan khusus ini mereka tak sempat nyepi dalam batin karena uang mesti dikejar
lebih kencang.
Sementara itu, kelas menengah perkotaan punya ritual khas: buka
bersama di hotel yang diisi ceramah dai kondang dan ditutup dengan hidangan
lezat berlimpah. Lapar sesiang disudahi dengan kudapan manis dan kuliner
seronok: sangat pas sebagai penunjang renungan tentang sufi Abad Pertengahan
yang melantunkan cinta kepada Ilahi.
Tiada penghayatan nyata bahwa tasawuf adalah akhlak dan
pengendalian total hawa nafsu. Yang dinikmati semata-mata puisi mabuk cinta
hingga terbit kagum pada diri sendiri betapa mudah tumbuhnya rindu menyatu
dengan Ilahi. Sekejap mata, diri ini serasa setara wali.
Padahal, puasa bukan drama romantis. Alkisah, Fatimah putri Rasul
beserta suami dan kedua putranya tengah menanti waktu berbuka dengan
masing-masing sepotong roti dan semangkuk susu. Terdengar pintu diketuk oleh
seseorang yang mengaku lapar. Dengan serta-merta roti dan susu diserahkan
kepada pengemis itu. Mereka pun berbuka puasa hanya dengan air putih hingga
wajah kedua anak mereka memucat pada hari ketiga.
Hakikat puasa
Ramadhan memang fenomenal. Berbusa-busa ustaz mengingatkan
pentingnya itikaf di masjid. Tetapi Ramadhan malah dipenuhi ingar- bingar musik
dan lawakan di layar TV hingga subuh. Kisah Jalaluddin Rumi yang mengisi
malam-malamnya pada musim dingin dengan munajat hingga air mata dan janggutnya
membeku tak menyadarkan kita bahwa itu bukan fiksi dan untuk menapaki jalan
sang sufi kita wajib menjemput rasa sakit yang sama.
Beberapa tahun yang
silam saya pernah mengikuti perjalanan dua lelaki Jawa tradisional penghayat
kebatinan kejawen dalam dua kesempatan berbeda. Yang pertama di Jawa Timur;
yang kedua di Jawa Tengah. Dari mereka saya mengenal religi Jawa yang tua.
Keduanya satu pemahaman bahwa kontak spiritual dengan pengayom Tanah Jawa di
alam gaib tidak dapat dilakukan sepanjang Ramadhan. Sebab, pada bulan tersebut
para badan alus menarik diri untuk memusatkan cipta, rasa, dan karsa hanya kepada
Yang Maha Tunggal.
Umat Hindu Bali memaknai
hari raya Nyepi sebagai penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makrokosmos dan mikrokosmos) demi kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir batin, kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyam), kesucian (sivam), dan keharmonisan (sundaram). Sesuai hakikat itu, mereka melaksanakan tapa, brata, yoga, dan
semadi, yang intinya tak mengobarkan hawa nafsu, melakukan penyucian rohani,
mawas diri, dan tak mengumbar kesenangan: hanya memusatkan pikiran kepada Ida
Sang Hyang Widhi.
Seyogianya referensi itu mengisyaratkan agar kita mendalami
hakikat makna Ramadhan. Saya pernah mendapati seorang Muslim yang menghayati
ilmu karuhun di suatu perkampungan di Jawa Barat membuat ruang bawah tanah di
rumahnya. Fungsi kamar itu, menurut dia, sebagai sarana untuk mencapai puasa
yang sempurna. Puasa, seperti kita tahu, tak hanya menahan diri dari makanan
dan minuman, tetapi juga dari berbagai keinginan tak senonoh yang menyalahi
hukum Tuhan. Ruang khalwat bawah tanah untuk menempa diri juga digunakan oleh
Sunan Drajat, yang situsnya terdapat di Lamongan, Jawa Timur.
Tersesat dari tujuan
Alangkah mudah mencibir mereka yang memilih lapar selama tiga hari
berturut-turut karena bersedekah kepada fakir miskin. Seberapa lapang dada dan
toleransi kita kepada umat agama lain? Betapa enteng menebar sinisme terhadap
konsep religi yang dihayati nenek moyang di Nusantara, padahal kita tak tahu
hakikatnya. Begitu lekasnya kita menuduh Wali Sanga telah mencampuradukkan
ajaran Islam dengan berbagai khurafat tanpa mendalami substansi aspek-aspek
kemanusiaan kita sendiri.
Sinisme dan kecongkakan itu, tak lain, terbit dari kebodohan. Kita
menafikan kelemahan manusiawi, lantas melecehkan metode buat mengatasi
kelemahan itu. Kita berpikir seolah-olah agama diturunkan untuk malaikat, bukan
untuk manusia beserta segenap sisi kemanusiaan yang problematik.
Kita juga kadang-kadang berlebihan menanggapi kewajiban puasa.
Dengan arogan kita menuntut warung makan dan restoran tutup pada siang hari.
Kita lupa ada hak-hak orang lain yang dilanggar dengan kepongahan itu. Atas
nama puasa, kita hancurkan puasa kita.
Kita bekuk hak saudara kita untuk mencari nafkah dan hak orang
yang berbeda agama untuk makan di restoran pada siang hari. Sementara itu,
selama berpuasa hati dan pikiran kita sibuk dengan angan-angan kuliner. Puasa
pada siang hari, lalu memuaskan perut pada malam hari. Tanpa keteguhan di
perjalanan, kita pun tersesat dari tujuan. Tak ada yang pantas diharapkan dari
puasa yang demikian....
KURNIA JR
SASTRAWAN
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !