Oleh : Gede
Prama
Masalah,
masalah, masalah, itulah keseharian manusia di bumi ini. Presiden AS Barack
Obama sudah dua kali batal datang ke Indonesia. Ini menunjukkan rumitnya
kehidupan di sana. Dulu, krisis utang hanya menjadi cerita negara berkembang,
sekarang Yunani mengalami krisis utang.
Negeri
ini serupa. Reformasi yang diharapkan menyudahi banyak masalah malah menambah
masalah. Dari tarik-menarik kepentingan yang rumit di tingkat atas sampai
terbakarnya banyak orang oleh kompor gas di tingkat akar rumput.
Digabung
menjadi satu, kerumitan hidup manusia meningkat di mana-mana. Mungkin karena
rumitnya, Sheila McNamee dan kawan-kawan (1992) memberi judul karyanya Therapy
as Social Construction.
Jalan
keluar komprehensif tak pernah datang dari satu pihak saja. Kita perlu
mengonstruksinya bersama-sama. Sayangnya, upaya ini yang sulit dilakukan.
Lem perekat
Dibandingkan
dulu, nafsu manusia untuk selalu untung kini demikian besar. Jadilah masyarakat
seperti permainan tarik tambang. Tempat-tempat manusia berkumpul yang dulu
sejuk dengan saling memberi, sekarang dipenuhi pemburu keuntungan.
Seorang
sahabat yang rajin meditasi di sejumlah tempat menceritakan, kian banyak
manusia datang ke sebuah tempat, kian panas hawanya. Di Barat malah lebih
menyentuh hati, tempat ibadah sebagian tidak saja kehabisan pengunjung, malah
dijual.
Salah
satu sisi kehidupan masyarakat tradisional yang layak diteladani adalah
kegembiraan mereka dalam memberi. Itu sebabnya, Marcel Mauss (1990) memberi
judul karyanya The Gift: The Form and Reason for Exchange in Archaicsocieties.
Dalam
karya antropologi indah ini terlihat lem perekat yang menyatukan masyarakat
tradisional adalah sukacita dalam memberi. Lebih dari itu, mereka berjumpa
kedamaian dalam pemberian.
Banyak
sekali sisi-sisi kehidupan kekinian di mana manusia bisa memberi. Dari berbagi
senyuman, mendengarkan keluhan, memberi kesempatan dulu bagi orang yang
buru-buru, memberi tempat duduk kepada orang tua di tempat publik, memegang
pintu bila di belakang ada orang, menghormati pemimpin, menyayangi anak-anak
panti asuhan atau orang tua di panti jompo, sampai mengalah sama anak-anak di
rumah.
Syukur-syukur
bisa ikut membimbing masyarakat menuju kebajikan.
Dan
bagi siapa saja yang sudah terbiasa memberi akan mengerti, ketika memberi
sejatinya manusia tidak hanya membantu, melainkan juga membangunkan sifat-sifat
baik dalam diri. Bunda Theresa contoh yang teramat bercahaya.
Sementara
manusia kebanyakan teramat sibuk memenuhi keuntungan diri sendiri, ia
memperuntukkan seluruh hidupnya untuk orang lain. Dan terlihat jelas, tidak
saja warga Kalkuta yang sempat dibantu yang menikmati hasilnya, hidup Bunda
Theresa jadi monumen pemberian yang masih bercahaya sampai ribuan tahun ke
depan.
Tidak
banyak manusia terlahir sebercahaya Bunda Theresa, diberi kesempatan dikenal
dunia. Namun, kita orang biasa bisa membuat perbedaan melalui tindakan kecil
yang tak dikenal.
Dari
mematikan keran air yang lupa dimatikan; mendonorkan darah; membersihkan kloset
umum yang ditinggalkan petugasnya; memungut sampah yang dibuang sembarangan;
menolak penggunaan tas plastik; mengurangi penggunaan sabun, sampo, dan tisu;
memberi makan burung atau anjing liar; sampai memindahkan batu di jalan yang
membahayakan pengendara lain.
Seorang
guru yang rajin melakukan hal-hal seperti ini berpesan: ”Lihatlah alam. Dari
bukit sejuk sampai bintang bercahaya di langit. Tidak ada hal lain yang
dilakukan mereka terkecuali memberi. Hasilnya, tidak terdengar ada bukit yang
bertengkar, tidak terdengar ada bintang yang mengeluh. Ujung-ujungnya, mereka
damai.”
Ini memberi
inspirasi tambahan, memberikan ternyata mendamaikan!
Keterhubungan
Lebih
dari sekadar mendamaikan, pemberian mudah membuat manusia terhubung. Ia yang
lama menyatu dalam keterhubungan, suatu waktu merasakan, ternyata semua makhluk
terlahir agar kita tercerahkan.
Dalam
salah satu dialog kosmis, ada yang berbisik: ”Ketika para makhluk menyakiti,
sesungguhnya sedang mengajarkan kesabaran. Tatkala bersedih, sebenarnya sedang
membangkitkan energi kasih sayang di dalam sini. Saat mereka berbahagia,
menjadi ujian seberapa bahagia manusia bisa melihat orang lain bahagia.
Manakala para makhluk melayani, manusia sedang melihat cermin kebaikan
hatinya”.
Cermati
alam sebagai wakil keterhubungan, ia menyediakan bahan-bahan pencerahan
berlimpah. Pepohonan terus berbagi oksigen.
Hasilnya,
sejuk dan teduh. Danau menyediakan diri sebagai tempat banyak makhluk
bertumbuh. Ujung-ujungnya, terlalu banyak kehidupan yang merasakan kesejukan di
danau.
Dalam
terang pemahaman seperti ini, bisa dimaklumi ahli neurosains, Francisco Varela,
menemukan istilah the biology of compassion. Kasih sayang juga menyembuhkan.
Ini mirip dengan penelitian yang menyimpulkan manusia yang memiliki binatang
peliharaan yang disayangi di rumah memiliki risiko terkena serangan jantung
lebih kecil dibandingkan yang tidak. Ini memberi inspirasi, memberi juga
menyembuhkan.
Dalam
kebijaksanaan Timur, ruang digunakan sebagai simbol pencerahan. Batin
tercerahkan, demikian pesan tetua, serupa ruang. Air tak bisa membuatnya basah,
api tidak bisa membuatnya terbakar.
Ruang
adalah simbol kasih sayang tak terbatas karena memberi tempat kepada apa saja
dan siapa saja bertumbuh. Langkah terpenting, membuat batin tercerahkan seperti
ruang adalah rajin memberikan karena memberi itu mendamaikan sekaligus
menyembuhkan.
Gede
Prama Penulis buku ”Sadness, Happiness,
Blissfulness: Transforming Suffering Into the Ultimate Healing”. [KOMPAS - Sabtu,
28 Agustus 2010 | 04:51 WIB].
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !