“Matindih” dalam Pengangkatan Anak - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » “Matindih” dalam Pengangkatan Anak

“Matindih” dalam Pengangkatan Anak

Written By GDE NOGATA on Senin, 22 Juni 2015 | 20.17

{Hukum Adat Bali}
PENGANGKATAN anak menurut hukum adat Bali, mengacu kepada Peraturan (Paswara) Tanggal, 13 Oktober 1900 tentang Hukum Waris Berlaku bagi Penduduk Hindu Bali dan Kabupaten Buleleng, dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok (F.A.Liefrinck) dengan Permusyawarahan Bersama-sama Pedanda-pedanda dan Punggawa punggawa.

Paswara ini pada awalnya hanya berlaku di Buleleng, tetapi sejak tahun 1915, juga diperlakukan untuk seluruh Bali Selatan. Pasal 11 ayat (1) inenentukan sebagai berikut. “Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun djuga jang tidak mempunjai anak-anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras sentana) maka mereka itu harus mendjatuhkan pilihannja atas seorang dan anggota keluarga sedarah jang terdekat dalam keturunan lelaki sampai deradjat kedelapan”.

Dalam praktik kehidupan masyarakat adat di Bali (desa dalam Pengangkatan pakraman), pengangkatan anak juga perlu mendapat persetujuan seluruh warga desa pakraman melalni rapat (paruman) desa, dan barn dikatakan sah menurut hukum adat Bali setelah melaksanakan upacara paperasan. Memperhatikan ketentuan di atas, tampak ada beberapa poin penting yang patut diperhatikan apabila pasangan suami-istri ingin mengangkat anak, yaitu:

1)        Anak yang diangkat berasal dari anggota keluarga sedarah terdekat (kasta yang sama), dalam garis keturunan laki-laki.
2)        Perlu mendapat persetujuan keluarga dan desa pakraman.
3)        Anak yang diangkat beragama Hindu.

Kalau dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia atau sudut pandang masyarakat yang lain, persyaratan pengangkatan anak seperti digambarkan di atas, menimbulkan beberapa pertanyaan, sbb:

1.        Kenapa pengangkatan anak harus berasal dari keturunan keluarga laki-laki, bukankah hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia?
2.        Lebih dari itu, apa pentingnya desa pakraman ikut campur urusan pengangkatan anak oleh keluarga tertentu?
3.        Untuk apa memastikan agama calon anak angkat harus Hindu, bukankah masalah agama, masalah keyakinan itu adalah masalah pribadi seseorang?

Adanya persyaratan yang relatif ketat dalam pengangkatan anak menurut hukum adat Bali dibandingkan dengan ketentuan serupa berdasarkan hukum yang lainnya, terkait dengan swadharma dan spirit matindih. Seorang anak angkat yang diangkat anak sesuai dengan hukum adat Bali, memiliki kedudukan yang sama persis dengan kedudukan anak kandung. Hal ini berarti, anak angkat harus melaksanakan kewajiban (swadharma) terhadap keluarga dan masyarakat, dan mendapatkan hak (swadikara) yang sama dengan anak kandung.

Kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat (desa pakraman) yang harus dilaksanaka, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1)        Kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama Hindu (parhyangan).
2)        Kewajiban yang berhubungan dengan aktivitas kemanusiaan (pawongan) dan kewajiban memelihara lingkungan (palemahan) baik itu untuk kepentingan keluarga maupun masyarakat.

Kewajiban sosial spiritual ini pada dasarnya adalah untuk meneruskan penauran (membayar utang) yang dikenal dengan Tri Rna (tiga utang), yang terdiri atas:

1.        Dewa Rna atau utang jiwa kepada Tuhan.
2.        Pitra Rna atauutang kebidupan kepada leluhur (orangtua).
3.        Rsi Rna atau utang ilmu pengetahuan kepada orang-orang suci (termasuk guru).

Utang yang nyata (sekala), dibayar secara nyata dalam bentuk materi, sementara utang gaib (niskala), “dibayar” dengan melaksanakan upacara agama sesuai dengan ajaran agama Hindu.

Kasta dapat diartikan sebagai struktur masyarakat yang bertingkat berdasarkan keturunan (wangsa) seperti di Bali (sudra, wesya, kesatria dan brahmana), atau bisa juga diartikan sebagai profesi atau jabatan (buruh, pengusaha, prajurit, presiden). Idealnya pasangan suami-istri mengangkat anak yang berasal dari kasta yang sama. Apabila anak yang diangkat berasal dari kasta berbeda, cenderung menimbulkan rupa-rupa penyakit dalam keluarga dan masyarakat. Tindik, sutindih, matindih berarti sikap yang siap menerima (pageh) dalam suasana suka maupun duka. Sikap tindih. muncul karena adanya ikatan sekala (pekerjaan sama, asal sama, kepentingan sama), ikatan niskala (agama yang sama), serta adanya “ikatan” sekala-niskala (keturunan kasta yang sama).

Keluarga akan menolak pengangkatan anak yang tidak berasal dari keturunan (laki-laki) kasta dan agama yang sama, karena tidak yakin anak yang diangkat dapat melaksanakan swadharma keluarga dan matindih terhadap keluarga angkatnya. Masyarakat (desa pakraman) akan menolak pengangkatan anak yang tidak berasal dari agama yang sama, kanena tidak yakin anak yang diangkat itu dapat melaksanakan swadharma dan matindih terhadap desa pakraman.

• Wayan P. Windia [pakar Hukum adat Bali] Balipost Minggu, 17 Juli 2011.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template