{Hukum Adat Bali}
PENGANGKATAN
anak menurut hukum adat Bali, mengacu kepada Peraturan (Paswara) Tanggal, 13
Oktober 1900 tentang Hukum Waris Berlaku bagi Penduduk Hindu Bali dan Kabupaten
Buleleng, dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok (F.A.Liefrinck) dengan
Permusyawarahan Bersama-sama Pedanda-pedanda dan Punggawa punggawa.
Paswara ini pada awalnya hanya berlaku di Buleleng,
tetapi sejak tahun 1915, juga diperlakukan untuk seluruh Bali Selatan. Pasal 11
ayat (1) inenentukan sebagai berikut. “Apabila orang-orang tergolong dalam
kasta manapun djuga jang tidak mempunjai anak-anak lelaki, berkehendak
mengangkat seorang anak (memeras sentana) maka mereka itu harus mendjatuhkan
pilihannja atas seorang dan anggota keluarga sedarah jang terdekat dalam
keturunan lelaki sampai deradjat kedelapan”.
Dalam praktik kehidupan masyarakat adat di Bali
(desa dalam Pengangkatan pakraman), pengangkatan anak juga perlu mendapat
persetujuan seluruh warga desa pakraman melalni rapat (paruman) desa, dan barn
dikatakan sah menurut hukum adat Bali setelah melaksanakan upacara paperasan. Memperhatikan
ketentuan di atas, tampak ada beberapa poin penting yang patut diperhatikan
apabila pasangan suami-istri ingin mengangkat anak, yaitu:
1)
Anak yang diangkat berasal dari anggota
keluarga sedarah terdekat (kasta yang sama), dalam garis keturunan laki-laki.
2)
Perlu mendapat persetujuan keluarga dan
desa pakraman.
3)
Anak yang diangkat beragama Hindu.
Kalau dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia atau
sudut pandang masyarakat yang lain, persyaratan pengangkatan anak seperti digambarkan
di atas, menimbulkan beberapa pertanyaan, sbb:
1.
Kenapa pengangkatan anak harus berasal
dari keturunan keluarga laki-laki, bukankah hal itu bertentangan dengan hak asasi
manusia?
2.
Lebih dari itu, apa pentingnya desa
pakraman ikut campur urusan pengangkatan anak oleh keluarga tertentu?
3.
Untuk apa memastikan agama calon anak
angkat harus Hindu, bukankah masalah agama, masalah keyakinan itu adalah
masalah pribadi seseorang?
Adanya persyaratan yang relatif ketat dalam
pengangkatan anak menurut hukum adat Bali dibandingkan dengan ketentuan serupa
berdasarkan hukum yang lainnya, terkait dengan swadharma dan spirit matindih.
Seorang anak angkat yang diangkat anak sesuai dengan hukum adat Bali, memiliki
kedudukan yang sama persis dengan kedudukan anak kandung. Hal ini berarti, anak
angkat harus melaksanakan kewajiban (swadharma) terhadap keluarga dan
masyarakat, dan mendapatkan hak (swadikara) yang sama dengan anak kandung.
Kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat (desa
pakraman) yang harus dilaksanaka, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1)
Kewajiban yang berkaitan dengan
aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama Hindu (parhyangan).
2)
Kewajiban yang berhubungan dengan
aktivitas kemanusiaan (pawongan) dan kewajiban memelihara lingkungan
(palemahan) baik itu untuk kepentingan keluarga maupun masyarakat.
Kewajiban sosial spiritual ini pada dasarnya adalah
untuk meneruskan penauran (membayar utang) yang dikenal dengan Tri Rna (tiga
utang), yang terdiri atas:
1.
Dewa Rna atau utang jiwa kepada Tuhan.
2.
Pitra Rna atauutang kebidupan kepada
leluhur (orangtua).
3.
Rsi Rna atau utang ilmu pengetahuan
kepada orang-orang suci (termasuk guru).
Utang yang nyata (sekala), dibayar secara nyata dalam bentuk materi, sementara utang
gaib (niskala), “dibayar” dengan
melaksanakan upacara agama sesuai dengan ajaran agama Hindu.
Kasta dapat diartikan sebagai struktur masyarakat
yang bertingkat berdasarkan keturunan (wangsa)
seperti di Bali (sudra, wesya, kesatria
dan brahmana), atau bisa juga
diartikan sebagai profesi atau jabatan (buruh, pengusaha, prajurit, presiden).
Idealnya pasangan suami-istri mengangkat anak yang berasal dari kasta yang
sama. Apabila anak yang diangkat berasal dari kasta berbeda, cenderung
menimbulkan rupa-rupa penyakit dalam keluarga dan masyarakat. Tindik, sutindih,
matindih berarti sikap yang siap menerima (pageh)
dalam suasana suka maupun duka. Sikap tindih. muncul karena adanya ikatan sekala (pekerjaan sama, asal sama,
kepentingan sama), ikatan niskala
(agama yang sama), serta adanya “ikatan” sekala-niskala (keturunan kasta yang
sama).
Keluarga akan menolak pengangkatan anak yang tidak
berasal dari keturunan (laki-laki) kasta dan agama yang sama, karena tidak
yakin anak yang diangkat dapat melaksanakan swadharma
keluarga dan matindih terhadap keluarga angkatnya. Masyarakat (desa pakraman) akan menolak pengangkatan
anak yang tidak berasal dari agama yang sama, kanena tidak yakin anak yang
diangkat itu dapat melaksanakan swadharma
dan matindih terhadap desa pakraman.
• Wayan P. Windia [pakar Hukum adat Bali] Balipost
Minggu, 17 Juli 2011.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !