Subak, Epos Ramayana, dan Zaman Kaliyuga - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Subak, Epos Ramayana, dan Zaman Kaliyuga

Subak, Epos Ramayana, dan Zaman Kaliyuga

Written By GDE NOGATA on Senin, 22 Juni 2015 | 19.20


LIBUR Nyepi, saya membuang jauh-jauh buku teks tentang subak dan pertanian, yang selama ini saya tekuni. Bacaan saya alihkan pada buku-buku Agama Hindu. Di rak buku, saya menemukan buku karya Pak Tjok Rai Sudartha, tentang Kepemimpinan Hindu Asta Brata Sebuah nasihat kepemimpinan, yang diamanatkan oleh Sri Rama kepada Pangeran Wibisana (bukan kepada Pangeran Bharata). Hal itu dilakukan, beberapa saat menjelang Wibisana akan menduduki jabatan sebagai Raja Alengka kini Ceylon (Sri Lanka).

Pada awalnya, Wibisana menolak menduduki singgasana raja, karena masih merasa sangat sedih dengan kematian kakaknya, Rahwana, dan juga Kumbhakarna. Tampaknya, tetap saja ia merasa sedih, meski sebelumnya ia diusir oleh kakaknya, Rahwana, dari areal kerajaan. Sebagai manusia biasa, ia tetap mencintai saudara-saudaranya, meski memiliki pandangan hidup yang berbeda. Namun dengan nasihat-nasihat Sri Rama yang bijak dan syahdu. maka Wibisana akhirnya berkenan menerirna jabatan Raja Alengka tersebut. Namun dengan tekad memimpin dengan napas kepemimpinan sesuai nasihat Sri Rama, yang akhirnya terkenal dengan sebutan Kepemimpinan Asta Brata.

Tampaknya sangat berbeda dengan zaman sekarang, yang dikenal dengan Zaman Kaliyuga. Semua orang berebut menjadi pemimpin, dengan segala cara. Bahkan dengan menghalalkan segala cara, seperti halnya filsafat kepemimpinan Matchiavelli. Uang dihamburkan dalam pemilu dan pilkada, untuk meraih kemenangan politik. Namun setelah berkuasa, mereka terjerembab dalam nafsu korup, dan hidupnya berakhir dalam penjara. Lihatlah, berapa bupati di Bali yang kariernya berakhir di dalam penjara. Entah berapa lagi eks bupati di Bali, yang akhirnya akan harus masuk penjara. Saya tidak akan mengulas esensi kepemimpinan Asta Brata tersebut. Karena hal itu sudah menjadi wacana publik yang luas di Bali. Namun saya tergelitik dengan tulisan Pak Tjok Rai Sudharta, yang menyatakan bahwa buku epos Ramayana di Indonesia dikarang oleh Mpu Yogiswara, lk 1.000 tahun yang lalu. Yakni menjelang berakhirnya zaman Kerthayuga. Kalau demikian, maka kelahiran buku Epos Ramayana itu, nyaris bersamaan dengan kelahiran Sistem Subak di Bali. Renungan saya adalah bahwa, karya-karya besar tampaknya terlahir pada era yang suci atau era kebajikan. Nyaris tidak ada karya besar yang terlahir pada era Kaliyuga. Sebuah era yang dipenuhi dengan aura Sadripu.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Dalam buku itu, Pak Tjok Rai mengutip Sloka III, 55 dari buku Epos Rarnayana itu, yakni Dharma kalawan Artha mwang Kama ta ngaranika. Maksud ungkapan itu, nyaris sama dengan ungkapan yang ada dalam buku Smerti Sarasamuschaya pasal 59. Bahwa dalam kesibukan dalam menjalankan kebajikan (Dharma), secara sambil lalu kita masih dipersilahkan untuk mencari harta-benda (Artha) untuk bisa menikmati kesenangan (Kama) sekadarnya.



Analog
Selanjutnya, analogi yang digunakan adalah binatang sapi (yang dianggap suci) dalam Agama Hindu. Bahwa sapi itu, dalam menjalankan dharma sebagai pembajak maka secara sambil lalu ia masih diperkenankan untuk meneguk seteguk air sawah, dan memakan beberapa helai rumput di pematang sawah. Sapi tidak meminta berlebihan, namun ia selalu tetap menjalankan dharma kebajikannya yang utama, yakni membajak sawah. Tampaknya, nyaris seperti apa yang dikatakan Ki Dalang Cenk Blonk bahwa dunia ini sekarang memang sudah terbalik, yakni dari Era Kerthayuga menjadi Kaliyuga.

Sekarang yang diharapkan adalah bahwa, di antara manusia yang selalu sibuk mencari harta benda dan kesenangan hidup, diharapkan berkenan berbuat kebajikan alakadarnya. Tidak usah banyak-banyak. Kalau hal ini dilaksanakan, maka tidak akan banyak pejabat kita yang korup dan masuk penjara. Bayangkan, mereka yang korup adalah jaksa, pengacara, anggota DPR, ketua MK, bupati, gubernur, ketua DPRD, pengusaha, dosen/professor yang menjadi pejabat negara, dll. Masih adakah profesi yang tidak korup? Untunglah unsur TNI yang merupakan bayangkara negara, dan kebanggaan bangsa, belum tersentuh oleh praktik korup. Namun saya agak miris dan juga bangga menyaksikan oknum-oknum TNI yang berpenampilan kere, tapi pada saatnya mereka harus terjun membela negara, dengan taruhan jiwa. Kita harap nasib TNI dan juga Polri perlu terus ditingkatkan. Seperti halnya nasib tentara Sri Rama yang mendapatkan perhatian penuh, dan kemudian berhasil menggempur Alengka.

Sebagai “orang subak” saya juga tercenung dengan nasib sawah dan subak kita. Subak dibuat pada zaman Kerthayuga dengan pengorbanan darah dan air mata. Kemudian dibela dan dipertahankan dengan tetesan darah dalam perang raja-raja di Bali. Tercatat perang Badung melawan Mengwi pada Abad ke-19, diantaranya adalah untuk memperebutkan eksistensi Tukad Mambal sebagai sumber air bagi persawahan di kawasan kerajaan tsb. Kerajaan Badung meraih kemenangan. Cirinya hingga sekarang tercermin di Merajan Puri Kesiman dikitari oleh telaga yang luas. Telaga untuk menampung aliran air dari Tukad Mambal, dan kemudian dimanfaatkan oleh persawahan yang ada di hilirnya. Persis sama perannya seperti telaga di Pura Taman Ayun, yang dimanfaatkan airnya untuk persawahan yang ada di hilirnya.
Tetapi sekarang sawah di Bali telah dijual dengan berdarah-darah. Pajak PBB sangat mematikan. Kemudian, sebagai akibat tidak ada perhatian pemerintah yang kuat terhadap sawah dan subak, maka air yang mengalir semakin seret. Tidak ada lagi air yang mengalir ke telaga Merajan Puri Kesiman. Karena banyak saluran air irigasi yang dipatok oleh patok-patok agraria oleh uknum BPN. Kelian subak sama sekali tidak diajak bicara oleh pihak BPN dan Notaris pembuat akte, dalam proses alih fungsi lahan sawah. Tampaknya memang benar, oknum pejabat yang berkuasa sekarang, hanya mencari harta benda (Artha) dan kesenangan (Kama). Tidak ada niat untuk mencari kebajikan (Dharma). Pada zaman Kerthayuga, system subak dan epos Ramayana dibuat, tetapi pada zaman Kaliyuga, sistem subak dihancurkan dari nilai epos Ramayana dicampakkan. Mari kita lihat, entah kapan proses Prelina akan terjadi. Kita tunggu saja dengan sabar dan tenang. [Balipost – Minggu, 6 April 2014].

Wayan Windia

Penulis Guru Besar di Fak. Pertanian UNUD, dan Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Denpasar – Bali.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template