LIBUR Nyepi, saya membuang jauh-jauh buku teks
tentang subak dan pertanian, yang selama ini saya tekuni. Bacaan saya alihkan
pada buku-buku Agama Hindu. Di rak buku, saya menemukan buku karya Pak Tjok Rai
Sudartha, tentang Kepemimpinan Hindu Asta Brata Sebuah nasihat kepemimpinan,
yang diamanatkan oleh Sri Rama kepada Pangeran Wibisana (bukan kepada Pangeran
Bharata). Hal itu dilakukan, beberapa saat menjelang Wibisana akan menduduki jabatan
sebagai Raja Alengka kini Ceylon (Sri Lanka).
Pada awalnya, Wibisana menolak menduduki singgasana
raja, karena masih merasa sangat sedih dengan kematian kakaknya, Rahwana, dan juga
Kumbhakarna. Tampaknya, tetap saja ia merasa sedih, meski sebelumnya ia diusir oleh
kakaknya, Rahwana, dari areal kerajaan. Sebagai manusia biasa, ia tetap
mencintai saudara-saudaranya, meski memiliki pandangan hidup yang berbeda. Namun
dengan nasihat-nasihat Sri Rama yang bijak dan syahdu. maka Wibisana akhirnya
berkenan menerirna jabatan Raja Alengka tersebut. Namun dengan tekad memimpin dengan
napas kepemimpinan sesuai nasihat Sri Rama, yang akhirnya terkenal dengan sebutan
Kepemimpinan Asta Brata.
Tampaknya sangat berbeda dengan zaman sekarang,
yang dikenal dengan Zaman Kaliyuga. Semua orang berebut menjadi pemimpin,
dengan segala cara. Bahkan dengan menghalalkan segala cara, seperti halnya
filsafat kepemimpinan Matchiavelli. Uang dihamburkan dalam pemilu dan pilkada,
untuk meraih kemenangan politik. Namun setelah berkuasa, mereka terjerembab
dalam nafsu korup, dan hidupnya berakhir dalam penjara. Lihatlah, berapa bupati
di Bali yang kariernya berakhir di dalam penjara. Entah berapa lagi eks bupati
di Bali, yang akhirnya akan harus masuk penjara. Saya tidak akan mengulas
esensi kepemimpinan Asta Brata
tersebut. Karena hal itu sudah menjadi wacana publik yang luas di Bali. Namun
saya tergelitik dengan tulisan Pak Tjok Rai Sudharta, yang menyatakan bahwa buku
epos Ramayana di Indonesia dikarang oleh Mpu Yogiswara, lk 1.000 tahun yang lalu.
Yakni menjelang berakhirnya zaman Kerthayuga. Kalau demikian, maka kelahiran
buku Epos Ramayana itu, nyaris bersamaan dengan kelahiran Sistem Subak di Bali.
Renungan saya adalah bahwa, karya-karya besar tampaknya terlahir pada era yang
suci atau era kebajikan. Nyaris tidak ada karya besar yang terlahir pada era
Kaliyuga. Sebuah era yang dipenuhi dengan aura Sadripu.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Dalam buku itu, Pak Tjok
Rai mengutip Sloka III, 55 dari buku Epos Rarnayana itu, yakni Dharma kalawan Artha mwang Kama ta ngaranika.
Maksud ungkapan itu, nyaris sama dengan ungkapan yang ada dalam buku Smerti
Sarasamuschaya pasal 59. Bahwa dalam kesibukan dalam menjalankan kebajikan (Dharma), secara sambil lalu kita masih
dipersilahkan untuk mencari harta-benda (Artha)
untuk bisa menikmati kesenangan (Kama)
sekadarnya.
Analog
Selanjutnya, analogi yang digunakan adalah binatang
sapi (yang dianggap suci) dalam Agama Hindu. Bahwa sapi itu, dalam menjalankan dharma sebagai pembajak maka secara
sambil lalu ia masih diperkenankan untuk meneguk seteguk air sawah, dan memakan
beberapa helai rumput di pematang sawah. Sapi tidak meminta berlebihan, namun ia
selalu tetap menjalankan dharma
kebajikannya yang utama, yakni membajak sawah. Tampaknya, nyaris seperti apa yang
dikatakan Ki Dalang Cenk Blonk bahwa dunia ini sekarang memang sudah terbalik,
yakni dari Era Kerthayuga menjadi Kaliyuga.
Sekarang yang diharapkan adalah bahwa, di antara manusia
yang selalu sibuk mencari harta benda dan kesenangan hidup, diharapkan berkenan
berbuat kebajikan alakadarnya. Tidak usah banyak-banyak. Kalau hal ini
dilaksanakan, maka tidak akan banyak pejabat kita yang korup dan masuk penjara.
Bayangkan, mereka yang korup adalah jaksa, pengacara, anggota DPR, ketua MK,
bupati, gubernur, ketua DPRD, pengusaha, dosen/professor yang menjadi pejabat
negara, dll. Masih adakah profesi yang tidak korup? Untunglah unsur TNI yang
merupakan bayangkara negara, dan kebanggaan bangsa, belum tersentuh oleh
praktik korup. Namun saya agak miris dan juga bangga menyaksikan oknum-oknum TNI
yang berpenampilan kere, tapi pada saatnya mereka harus terjun membela negara,
dengan taruhan jiwa. Kita harap nasib TNI dan juga Polri perlu terus ditingkatkan.
Seperti halnya nasib tentara Sri Rama yang mendapatkan perhatian penuh, dan
kemudian berhasil menggempur Alengka.
Sebagai “orang
subak” saya juga tercenung dengan nasib sawah dan subak kita. Subak dibuat
pada zaman Kerthayuga dengan pengorbanan darah dan air mata. Kemudian dibela
dan dipertahankan dengan tetesan darah dalam perang raja-raja di Bali. Tercatat
perang Badung melawan Mengwi pada Abad ke-19, diantaranya adalah untuk
memperebutkan eksistensi Tukad Mambal sebagai sumber air bagi persawahan di
kawasan kerajaan tsb. Kerajaan Badung meraih kemenangan. Cirinya hingga
sekarang tercermin di Merajan Puri Kesiman dikitari oleh telaga yang luas.
Telaga untuk menampung aliran air dari Tukad Mambal, dan kemudian dimanfaatkan
oleh persawahan yang ada di hilirnya. Persis sama perannya seperti telaga di
Pura Taman Ayun, yang dimanfaatkan airnya untuk persawahan yang ada di
hilirnya.
Tetapi sekarang sawah di Bali telah dijual dengan
berdarah-darah. Pajak PBB sangat mematikan. Kemudian, sebagai akibat tidak ada
perhatian pemerintah yang kuat terhadap sawah dan subak, maka air yang mengalir
semakin seret. Tidak ada lagi air yang mengalir ke telaga Merajan Puri Kesiman.
Karena banyak saluran air irigasi yang dipatok oleh patok-patok agraria oleh uknum
BPN. Kelian subak sama sekali tidak diajak bicara oleh pihak BPN dan Notaris
pembuat akte, dalam proses alih fungsi lahan sawah. Tampaknya memang benar,
oknum pejabat yang berkuasa sekarang, hanya mencari harta benda (Artha) dan kesenangan (Kama). Tidak ada niat untuk mencari kebajikan
(Dharma). Pada zaman Kerthayuga, system
subak dan epos Ramayana dibuat, tetapi pada zaman Kaliyuga, sistem subak
dihancurkan dari nilai epos Ramayana dicampakkan. Mari kita lihat, entah kapan proses
Prelina akan terjadi. Kita tunggu saja dengan sabar dan tenang. [Balipost – Minggu, 6 April 2014].
Wayan Windia
Penulis Guru Besar di Fak. Pertanian UNUD, dan Ketua Pusat
Penelitian Subak Universitas Udayana, Denpasar – Bali.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !