Kompas - Sabtu, 31 Juli 2010 | 03:14 WIB
Oleh : Gede Prama
Tidak ada yang bisa menyamai Thich Nhat Hanh
dalam hal bercerita dengan memadukan kesederhanaan dan kedalaman. Itulah
kelebihannya.
Ini juga terasa ketika membaca kembali ceramah
beliau tahun 1996 yang berjudul Transcending Injustice. Mirip dengan cerita
Anthony de Mello tentang orang tua bijaksana yang difitnah menghamili gadis
desa, kemudian tercerahkan, dalam ceramah ini Thich Nhat Hanh bercerita tentang
seorang gadis cantik Kinh yang dari awal hingga akhir hidupnya penuh
ketidakadilan.
Seluas ruang
0rangtua Kinh berharap yang lahir lelaki,
ternyata perempuan. Dari sinilah ketidakadilan dimulai. Begitu remaja, Kinh
tidak punya pilihan lain terkecuali mengikuti tradisi masyarakat Vietnam Utara
ketika itu, yakni dinikahkan dengan pria yang disukai orangtua. Ini pun ia
jalani sebagai bakti ke orangtua.
Suatu waktu ketika Kinh sedang menambal
pakaian sobek, suaminya tertidur di pangkuannya. Melihat kumis suaminya tidak
rapi, diambilnya gunting. Tiba-tiba suaminya terbangun, kemudian berteriak
ketakutan. Ibu mertuanya datang, menuduh Kinh mau membunuh putranya.
Ujung-ujungnya, ia diceraikan. Ini ketidakadilan ketiga.
Sadar dalam-dalam bahwa tidak mungkin
menemukan kedamaian pada kehidupan duniawi yang penuh permusuhan dan
kecurigaan, wanita cantik ini kemudian pelan-pelan meninggalkan rumah, pergi ke
pusat meditasi yang jauh, menyamar menjadi laki-laki agar mudah diterima
menjadi murid meditasi.
Sebagaimana dialami banyak praktisi, meditasi
membuat seseorang menjadi lebih anggun karena terlatih menghiasi pikiran dengan
kesadaran, kesabaran, kedamaian. Jadilah Kinh yang aslinya sudah cantik
bertambah anggun. Ketidakadilan berikutnya dimulai dari sini, seorang gadis
anak orang kaya di sana jatuh cinta pada Kinh kemudian mengejar ke mana-mana.
Karena permintaannya terus ditolak, gadis anak
orang kaya ini mengobati frustrasinya dengan menjalin hubungan intim bersama
pelayannya, tetapi selalu membayangkan Kinh. Dan ketika gadis ini hamil, ia
menuduh Kinh yang menghamilinya. Tentu saja tuduhan ini dibantah. Kendati
demikian, tetap keluarga orang kaya ini ngotot menyerahkan bayinya kepada Kinh.
Sesungguhnya, gampang mengakhiri percekcokan
ini. Cukup Kinh membuka rahasianya sebagai wanita. Tetapi, sebagaimana praktisi
meditasi tingkat tinggi umumnya, yang dilatih untuk mengolah apa saja yang
terjadi menjadi meditasi, Kinh jalani setiap ketidakadilan dengan penuh
kesabaran. Bagi yang sudah mengalami, tahu, sebelum berlatih meditasi, hati
sesempit diri ini (ego), makanya mudah marah. Semakin besar ego, kian
menyakitkan ketidakadilan.
Ketidakadilan yang diolah meditasi kemudian
mengasah hati menjadi semakin luas. Tatkala hati sudah seluas ruang, terlihat
kehidupan ternyata sebuah jejaring keterhubungan yang berisi putaran sempurna.
Melawan putaran buahnya penderitaan, menyatu dengan putaran itulah pencerahan.
Makanya makhluk tercerahkan disebut unobscured suchness (batin telanjang apa
adanya sekaligus bebas dari penghalang emosi dan konsep).
Setelah menerima bayi yang dituduhkan sebagai
anaknya, tiada hari tanpa cacian terhadap Kinh. Ketika Kinh tua dan siap
meninggal, ia meninggalkan surat untuk membuka seluruh ceritanya. Tentu saja
masyarakat heboh, kemudian semua berbalik mendoakan Kinh. Ujung-ujungnya banyak
orang meyakini wanita korban banyak ketidakadilan ini ternyata mengalami
pencerahan. Bagi setiap praktisi meditasi mendalam, kisah ini amat
menggetarkan. Melalui cerita Kinh serta para suci terdahulu, terlukis indah,
ketidakadilan hanya bisa dilampaui oleh hati manusia yang seluas ruang.
Hulunya pencerahan
Serupa sendok di gelas kecil, sedikit saja ada
gerakan ia sudah berisik. Namun, begitu gelasnya pecah dan menyisakan ruang,
sekeras apa pun sendoknya digerakkan ia tidak menimbulkan suara. Hal sama terjadi
dengan banyak manusia yang ditimpa ketidakadilan. Ada yang putranya tertembak
mati dalam demonstrasi, ada yang suaminya tewas diracun di pesawat, ada yang
keluarganya wafat tertembak peluru aparat, ada yang kantornya dilempar bom
molotov, ada yang terbakar oleh kompor gas, ada yang disiksa di jalan karena
menjadi aktivis antikorupsi.
Namun, seberapa luas ruang kesadaran dan
kesabaran seseoranglah yang akan menentukan, apakah ketidakadilan menjadi hulu
sungai penderitaan, atau menjadi hulu sungai pencerahan. Namun, ketidaktahuan
dan kemarahan membuat banyak manusia menjadikan ketidakadilan sebagai hulunya
penderitaan. Jadi munculnya ketidakadilan kemudian membuat kehidupan berputar
kencang dari kebencian ke kebencian lain. Ujungnya mudah diterka, badan sakit-sakitan,
jarang bahagia, stres, ketika mati membawa serta kemarahan.
Sadar dengan risiko inilah, kemudian praktisi
meditasi mendalam berjalan di jalan setapak yang pernah dilewati Kinh. Tatkala
ketidakadilan datang, manusia seperti terkena panah. Melawan tidak saja tidak
menyembuhkan, malah mengundang panah baru yang membuat luka semakin melebar.
Mendengar penjelasan ini, seorang aktivis
protes, bila semua mengambil jalan ini, koruptor, penjahat akan merajalela?
Tentu saja tidak mungkin semua mengambil jalan ini, ia sama tidak mungkinnya
dengan berharap agar semua binatang selembut kelinci. Dunia binatang selalu
ditandai makhluk lembut, seperti kupu-kupu, sekaligus binatang buas seperti
harimau.
Catatannya, hati-hati karena di alam ada hukum
yang tidak bisa ditawar. Bila menyentuh air, basah dan jika memegang api,
akibatnya terbakar. Ia yang terus melawan ketidakadilan memang bisa disebut
pahlawan mengagumkan, tetapi akan terus dikejar hawa panas kemarahan. Mereka
yang melampaui ketidakadilan melalui kesempurnaan kesabaran bisa disebut
pecundang memalukan, tetapi karena hati sudah seluas ruang, ketidakadilan
berhenti jadi api penderitaan, berubah jadi air sejuk pencerahan. Kemudian
berselancar di atas gelombang kesedihan-kebahagiaan menggunakan papan selancar
kasih sayang.
Gede Prama Penulis Buku Sadness,
Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !