Oleh :
Ida Bagus Pudja
Ada dua alasan untuk kembali mengedepankan masalah Tri Sandya.
Pertama, masih banyak umat Hindu yang belum memahami arti dan manfaat ber-Tri
Sandya. Kedua, ketetapan Maha Sabha VI tahun 1991 menugaskan kepada pengurus
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk menyebarluaskan teks Tri Sandya
yang telah disempurnakan itu.
Tri Sandya berasal dari kata Tri
dan Sandya, Tri berarti tiga. Sandya
berasal dari urat kata sam dan dhi. Sam berarti berkumpul, baik,
sempurna, dan dhi berarti pikiran.
Jadi Sandya berarti memusatkan
pikiran kepada Tuhan. Sandya dapat pula
diartikan berkonsentrasi secara sungguh-sungguh dan sempurna kepada Tuhan.
Untuk memusatkan pikiran kepada
Tuhan tugas kita adalah mengendalikan kewajiban. Dan, agar proses pengendalian
ini berhasil, kita harus mengatasi hambatan yang ditimbulkan oleh Tri Guna (sattwa, rajas,
tamas). Kita harus sekuat mungkin bertahan dari tarikan dan desakan
alami Tri Guna dengan jalan berserah kepada-Nya. Inilah kewajiban kita yang
pertama dalam perjuangan mendekatkan diri dengan Tuhan.
Harus diyakini bahwa Tuhan adalah
Mahasempuma. Maka untuk mencapaiNya kita harus mendasari diri dengan
kepercayaan yang sempurna pula. Bila tidak, maka kekuatan yang mengikat kita
dengan Tuhan tidak dapat berkembang. Kita harus memiliki bhakti (cinta
kasih) kepada Tuhan secara sungguh-sungguh agar kita dianugrahi asih-Nya.
Keragu-raguan, hanyalah akan merusak azas hubungan asih dan bhakti serta
menjauhkan kita dari Tuhan.
Mendekat atau duduk dekat dengan
Tuhan disebut upasana atau upasthana.
Tetapi jangan keliru, sebab duduk dekat atau berdekatan saja tidak cukup. Katak duduk dekat dengan bunga teratai tetapi tak bisa menikmati
manisnya madu bunga teratai. Hanya
merasa dekat saja tak ada gunanya, apabila tidak ada bhakti menyertainya. Sama
halnya saat bersembahyang, boleh saja kita duduk dekat sekali dengan Padmasana.
Akan tetapi apabila tak ada rasa bhakti yang mendalam, kedekatan phisik itu
tidak berarti apa-apa bagi kemajuan hidup rohani kita. Jadi bersamaan dengan
dekatnya phisik harus disertai dengan dekatnya bathin kita kepada Tuhan,
Untuk lebih mengerti makna dekat
dan bhakti pada Tuhan menarik untuk disimak
contoh pembanding dalam kehidupan sehari-hari berikut.
Kalau kita bergerak ke arah matahari, maka bayangan akan berada di
belakang dan mengikuti kita. Tetapi kalau kita bergerak sebaliknya maka
bayangan akan jatuh di depan kita. Begitulah halnya apabila kita menghadap
Tuhan, segala kegelapan alam akan ada di belakang mengikuti kita. Tetapi kalau
kita membelakangi Tuhan maka kegelapan, kebodohan, yang menuntun jalan hidup
kita.
Hal penting yang dapat kita
simpulkan dari dari contoh-contoh di
atas adalah bahwa dalam setiap keadaan suatu sifat bisa bergeser dan digantikan
oleh sifat yang lain. Begitulah kalau kita dekat dan bhakti kepada Tuhan, sifat
buruk yang ada pada diri kita akan hapus dan berganti dengan sifat-sifat
ketuhanan.
Dalam Bhagavadgita (BG), II.45 Krishna mengajarkan kepada Arjuna agar membebaskan diri
dari Tri Guna, juga dari dualisme dengan memusatkan pikiran kepada kesucian dan
melepaskan diri dari ikatan duniawi sehingga bisa bersatu dengan Atman.
Disitu dengan tegas tersirat
bahwa kita harus membebaskan diri dari pengarnh sattwa,
rajas, tamas dan pengaruh sifat ganda yaitu susah dan senang, puji dan
maki dengan cara memusatkan pikiran kepada kesucian (Tuhan).
Saat-saat
Untuk Mendekat dan Berbhakti
Sudah merupakan hukum alam bahwa,
pagi hari adalah periode sifat sattwik,
tengah hari adalah sifat rajasik,
dan sore hari atau senja merupakan periode tamasik.
Waktu fajar menyingsing (abang
wetan) pikiran dibangunkan dari kegelapan tidur, pikiran dibebaskan dari
keresahan dan kemurungan sehingga pikiran
menjadi tenang dan jernih. ltulah sebabnya kita diperintahkan agar melakukan Pratah Sandya atau doa Sandya yang dilakukan pada dini hari. Sementara hari
bertambah siang kita dirasuki oleh raja
guna yakni sifat aktif, ambisi,
lincah penuh usaha, dan kita memasuki lapangan kegiatan atau kerja keras.
Sebelum makan siang kita diberi petunjuk agar bersembahyang lagi kepada Tuhan
dan mempersembahkan pekerjaan beserta hasilnya yang kita peroleh dari pekerjaan
itu. Setelah itu baru boleh makan dengan bersyukur atas karunia-Nya. Inilah
yang dimaksudkan dengan madhyannikam atau pemujaan pada tengah hari. Dengan melakukan madyannikam ini raja guna dapat dikendalikan.
Sifat ketiga yang menguasai
manusia adalah tamas. Ketika matahari terbenam kita bergegas pulang makan,
kemudian mengantuk dan tidur. Makan dan tidur adalah kebiasaan para pemalas dan
penganggur. Ketika tamas yaitu, sifat terburuk di antara ketiga sifat itu hendak
menguasai kita, maka cara terbaik untuk menghindari lilitannya adalah dengan
cara bersembahyang, berkumpul dengan sesama bhakta dengan mengagungkan Tuhan,
dan membaca buku yang mengagungkan kebesaran-Nya. Ini merupakan sembahyang pada
petang hari yang disebut Sandya
Vandanam yang juga sudah ditentukan.
Karena itu pikiran dan perasaan yang
bangkit dari kekosongan pada waktu tidur harus dilatih dan dibina dengan
semestinya. Kita harus berusaha belajar merasakan bahwa kebahagiaan setelah
bersembahyang dan rasa suka cita yang diperoleh ketika kita mengalahkan
pandangan dan pikiran dari dunia luar. Hal ini jauh lebih agung dan lebih
lestari jika dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh dengan jalan tidur
seperti yang biasa dilakukan.
Para Rsi mengatakan bahwa orang yang
sepanjang hidupnya menjalankan Sandya tiga kali sehari dengan tekun ia akan menjadi manusia utama.
la selalu berjaya. Ia akan mencapai kebebasan semasih hidup. Ia akan mencapai Jivan Mukti.
"Dia yang mengabdi kepada-Ku sujud dengan kebaktian yoga, ia naik ke atas melampaui guna, ia
wajar bersatu dengan Brah·man". Begitu sabda Krishna
kepada Arjuna dalam BG. XlV. 26.
Pengaruh
Tri Guna Terhadap Jiwa
Tri Guna yang lahir dari prakerti selalu membelenggu atma.
Sifat sattwa yang mulia memberikan cahaya, serta kesehatan
membelenggu atma dengan ikatan kebahagiaan dan ilmu pengetahuan (BG. XIV 6).
Sifat rajas yang bernafsu, menjadi sumber kehausan dan keinginan
akan hidup membelenggu atma dengan ikatan kerja (BG.XIV 7).
Sifat tamas yang terlahir dari ketidaktahuan membelenggu penghuni
badan (atma) dengan ketololan, kemalasan dan kepalsuan (BG. XIV 8).
Sifat sattwa mengikat seseorang dengan kebahagiaan, rajas dengan kegiatan (kerja bernafsu) dan tamas mengikuti
budi pekerti yang mengikatnya dengan kebingungan (BG. XIV 9).
Ketiga sifat ini ada pada tiap
manusia hanya saja tingkatannya berbeda satu dengan yang lain. Setiap orang
tidak dapat melepaskan diri dari Tri Guna tersebut, biasanya salah satu
dari sifat itu menonjol melebihi yang lain. Bagaimana kalau sattwa berkuasa? Bagaimana kalau
manusia dikuasai oleh rajas? Dan bagaimana pula kalau
sifat tamas menguasai manusia?
Jawabannya, apabila sattwa berkuasa cahaya ilmu pengetahuan menembusi semua pintu
gerbang badan (BG. XlV. 11).
Apabila rajas berkuasa maka orang menjadi serakah, giat dalam usaha,
gelisah, hawa nafsu merajalela (BG.XIV. 12).
Apabila tamas menguasai manusia maka kegelapan, kelesuan, ketololan,
dan kekacauan pikiran timbul (BG. XIV 13).
Dari ketiganya, sifat sattwa-lah yang terbaik. Tetapi lebih tinggi dari sifat baik itu
adalah jika kita dapat melampaui Tri Guna menjadi Guna
Tita (orang sadhu).
Nah, melakukan Tri Sandya tidak lain maksudnya adalah
untuk memperkecil pengaruh Tri Guna itu kepada jiwa kita. Yang perlu diperhatikan adalah
agar Sandya itu jangan dianggap sebagai upacara rutin.
Sandya harus dilakukan dengan memahami artinya dan memusatkan
pikiran pada maknanya yang terpendam. Apalagi dalam mantram Tri
Sandya itu terkandung ibu dari segala mantra, yaitu Gayatri.
Menurut Abinach Chandra
Bose dalam bukunya Panggilan Weda, “Suatu sebab mengapa Gayatri dipandang doa yang mewakili semuanya di dalam Weda ialah
karena Gayatri adalah doa untuk daya kekuatan yang dapat dimiliki orang ialah
“dhi” yaitu kecerdasan yang tinggi yang memberikan padanya pengetahuan, materi
dan kemampuan mengatasi hal-hal keduniawian. Sebagai halnya mata bagi badan,
demikian “dhi” atau kecerdasan untuk pikiran”.
Manu menekankan hal ini secara khusus. la mengata-kan Gayatri merupakan nafas kehidupan
para Brahmin. Ini adalah kebenaran.
Apakah yang lebih berguna
untuk kemajuan spiritual kita selain bersembahyang atau bermeditasi kepada
Tuhan yang menerangi dan memelihara akal budi manusia? Adalah yang lebih
bermanfaat dari doa yang memohon agar pikiran kita diselamatkan dari kecendrungan
dosa?
Bagi manusia tidak ada perisai
yang lebih ampuh daripada mengembangkan sifat-sifat yang baik. Gayatri
menganugrahkan kekuatan batin untuk membantu mengembangkan tenaga tersebut,
maka doa ini harus dilakukan dengan cermat pada saat yang tepat. Untuk
pertumbuhan tubuh, makanan yang murni dan sattwik sangat diperlukan. Demikian
pula kecemerlangan matahari harus didapatkan dan diserap untuk memperkuat
cahaya batin manusia dalam bentuk imajinasi yang kreatif. Bila kekuatanj jiwa
bertambah. daya pengertian dan pertimbanganpun menjadi lebih aktif terarah pada
jalur-jalur yang bermanfaat. Bila kekuatan berkurang maka daya pengertian dan
pertimbangan melemah dan membuat kita kecewa. Jadi apabila tenaga matahari diserap
pada waktu yang tepat, ia akan seperti benih yang ditanam pada musim yang tepat
dan hasil panennya pun terjamin. Teknik proses ini telah ditetapkan oleh para
Rsi zaman dahulu demi kebaikan semua peminat spiritual. Kalau kita mau
mempelajari dan mempraktekkan pesan para Rsi tentu kita akzr kebenaran jalan
yang ditempuh para Rsi melalui pengalaman kita sendiri. Karena itu marilah kita
mengaktifkan untuk ber-Tri
Sandya agar kita dapat menyeberangi kehidupan dengan selamat.***
ADITYA
Nomor 9, November - Desember 1994
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !