Minggu, 6 Juni 2010 |
06:18 WIB
Oleh : Ersta Andantino
Sudah dua minggu ini Farida panik mencari seorang pembantu rumah
tangga. Sebab seminggu lagi dia harus masuk kantor. Sebuah perusahaan
periklanan telah menerima lamaran kerjanya tiga minggu lalu dengan gaji seperti
yang dia minta.
Sebuah harapan yang terwujud ketika rumah tangganya harus segera
mendapat tambahan pemasukan keuangan. Ekonomi rumah tangganya harus segera
disokong. Mengingat Alya, anaknya, empat bulan lagi sudah harus masuk sekolah
dasar. Sedang mengandalkan gaji Gunadi, suaminya, menurut perhitungan mereka
berdua tak cukup.
Sesungguhnya memang sudah menjadi perjanjian sebelum menikah,
rumah tangga mereka akan ditopang oleh dua tiang pemasukan keuangan. Jadi
Gunadi tak keberatan bila Farida bekerja. Mereka sadar, bekerja tak sekadar
sebagai aktualisasi hidup, tapi yang lebih penting adalah pemenuhan kebutuhan
dan ekonomi rumah tangga. Mereka tahu, zaman terus berkembang dan kebutuhan ke
depan semakin beraneka macam.
Sudah sejak tahun lalu Farida rajin mengirim lamaran-lamaran ke
perusahaan-perusahaan. Beberapa kali juga sudah mendapat panggilan tes dan
wawancara. Namun gagal. Kini, sebuah perusahaan periklanan menerimanya sebagai
karyawan. Bergembiralah ia.
Persoalan yang muncul kemudian, seperti yang sudah diduga
sebelumnya, mereka membutuhkan seorang pembantu rumah tangga untuk menemani
Alya di rumah. Seseorang yang dapat dipercaya untuk menangani kebutuhan Alya,
sementara Farida tak di rumah.
Seorang pembantu dengan kriteria; telaten dengan seorang anak
kecil dan mengerjakan pekerjaan standar, seperti mengepel dan menyetrika. Tak
usah mencuci karena sudah diwakili oleh sebuah mesin. Tak bisa masak, tak apa.
Toh, sekarang pun mereka telah berlangganan makanan katering dan rencananya akan
tetap begitu.
Telah mereka cari berbagai informasi tentang bagaimana mendapatkan
seorang pembantu rumah tangga. Berbagai kemungkinan telah dijajaki. Dari
mendapatkan pembantu lewat agen-agen penyalur hingga menelepon teman dan
kerabat apabila mempunyai pembantu lebih atau teman dari pembantu yang telah
bekerja.
Gunadi dan Farida sendiri sesungguhnya lebih suka memilih lewat
jalur kekerabatan dan pertemanan. Lebih nyaman saja menurut mereka. Karena
dipastikan sudah mengenal hubungan satu sama lain. Karena kesibukan di
kantornya, Gunadi menyerahkan sepenuhnya urusan ini pada Farida. Maka kini
Faridalah yang pusing tujuh keliling.
Namun hingga tinggal dua minggu lagi Farida bekerja, pembantu
rumah tangga yang mereka inginkan belum juga didapat. Beberapa hari yang lalu
Gunadi sudah mengajak Farida berdiskusi bilamana mereka mengambil pembantu
lewat agen penyalur saja. Namun Farida masih belum setuju. Farida masih
menunggu kabar dari ibunya di Solo yang katanya akan mencarikan dari sana.
Gunadi tak dapat menolak pertimbangan Farida. Karena menurutnya, kalau
mertuanya yang mendapatkan pembantu, tentu itu lebih baik. Pasti jaminan mutu.
Paling tidak, pengalaman mertuanya lebih dapat diandalkan dalam menilai
seseorang. Masih terngiang di telinga ketika ibu mertuanya bertelepon
dengannya.
”Sudah, ibu saja yang cari dari sini. Nanti ibu seleksi. Kasian
Alya kalau dapet pembantu yang ra karuan. Biar ibu saja yang cari di sini.”
Tapi sudah seminggu lebih belum juga ada kabar dari ibu mertuanya.
Tulululululut..., telepon rumah berbunyi ketika Farida dan Gunadi
baru saja menyelesaikan makan malamnya. Farida yang sedang membereskan meja
makan segera menghentikan pekerjaannya dan berjalan beberapa langkah ke
belakang. Telepon itu menempel di dinding tak jauh dari tempatnya tadi berdiri.
”Assalamualaikum,” sapanya.
”Waalaikum salam,” jawab suara lembut di seberang sana. Ibunya.
”Da, ibu sudah dapat orangnya,” katanya kemudian.
Pasti ini tentang pembantu, pikir Farida. Inilah kabar yang dia
tunggu dari ibunya. ”Iya Bu, bagaimana?”
”Kamu pasti ndak nyangka, siapa yang mau ibu tawarkan sama kamu,”
”Siapa?”
”Wong ibu aja kaget kok... tiba-tiba saja dia datang ke sini. Ya,
mungkin ini jodohmu, Da.”
”Iya, siapa Bu?”
”Masih ingat ndak, siapa yang menolongmu waktu kamu kecemplung
kali dulu?”
Emmmmm...” Farida memeras otaknya untuk melayangkan ingatan
kembali ke masa kecilnya. Ya. Waktu kecil dulu, mungkin lebih besar sedikit
dari Alya, dia pernah tercebur di sebuah kali kecil. Kali untuk pengairan
persawahan yang kebetulan sedang berarus deras sehabis hujan. ”Mbak Supriatun?”
Tanyanya kemudian ketika ingatan itu telah tergambar.
Terdengar tawa ibunya di seberang sana. ”Bener,” katanya setelah
tawanya mereda. ”Kok, ya tiba-tiba dia mbejedul, nongol di rumah. Mau cari
kerja katanya.”
”Lalu, ibu tawarin?”
”Ya iya. Dan dia langsung mau. Kamu sendiri gimana?”
Farida terdiam. Dia mencoba mengingat sosok Mbak Supriatun. Setua
apakah dia sekarang. Tak ada yang diingatnya dari perempuan yang pernah bekerja
ikut ibunya itu. Karena cukup banyak perempuan yang pernah bekerja di sana. Ah,
tak ada yang diingatnya.
”Aku lupa Bu, setua apa dia sekarang?”
”Ya lumayan lah. Dulu mungkin beda umurnya sama kamu sekitar lima
belas tahunan atau lebih. Lha, itung aja sekarang kira-kira berapa.”
Farida menaksir, mungkin usia Mbak Supriatun sudah empat puluhan.
Masih kuatkah ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga? Tanyanya dalam hati.
”Ya sudah. Terima saja dulu. Kamu kan sebentar lagi masuk bekerja.
Kasihan Alya. Ibu pikir Supriatun ini bisa kok. Dia itu sudah punya cucu satu
lho. Dia dulu kan kawin muda. Beberapa tahun setelah pulang ke desanya dia
menikah. Jadi sudah pasti terbiasa dengan anak-anak. Lagi pula bekerja di
rumahmu kan nggak terlalu berat.”
”Nanti aku bicara sama Mas Gunadi, Bu. Biar dia juga tau dan ikut
memutuskan.”
”Ya... ya... saran ibu sih sebaiknya terima saja ya. Kasihan
Supriatunnya juga. Dia butuh uang dan sudah mau bekerja di Jakarta.”
Setelah bertelepon dengan ibunya, Farida mendiskusikan kabar itu
dengan Gunadi. Juga cerita-cerita tentang jasa Supriatun yang telah
menyelamatkan nyawanya ketika tercebur kali irigasi persawahan. Dan beberapa
cerita tentang siapa Supriatun yang dia sendiri tak yakin benar mengingatnya.
Gunadi pun langsung setuju.
Empat hari setelah memberi kabar persetujuan, Supriatun langsung
ke Jakarta dengan kereta api sendirian. Farida, Gunadi dan Alya menjemputnya di
Stasiun Gambir. Sudah tergambar jelas di benak mereka berdua akan kesungguhan
niat bekerja. Supriatun. Melihat betapa berani perempuan itu pergi sendiri ke
Jakarta. Hal yang belum pernah dilakukannya.
Jarak berpuluh tahun tentu telah mengubur sebagian ingatan.
Apalagi setiap saat dunia berubah. Juga manusia, penghuninya. Setali tiga uang
dengan Farida. Dia betul-betul tak tahu, bagaimana sosok Supriatun sekarang.
Namun, ibunya sudah mengingatkan akan sebuah tahi lalat besar di kening kiri
perempuan itu. Farida sedikit mengingatnya. Namun, itulah petunjuk sosok
Supriatun. Petunjuk lain dari ibunya adalah di mana Supriatun duduk di gerbong
kereta juga menjadi andalan.
Dan pertemuan pun berlangsung. Supriatun mengenal sosok Farida
lebih dulu. Perempuan itu melambai-lambaikan tangan ketika turun dari gerbong
kereta. Dengan bersamaan pula ingatan-ingatan Farida keluar berhamburan.
Supriatun datang seperti membawa serta kenangan masa kecilnya. Farida memeluk
tubuh mungil Supriatun.
”Njenengan tidak berubah Mbak. Masih suka memelihara rambut
panjang,” kata Supriatun lalu tersenyum.
”Walah... kok saya malah lupa wajah Mbak Atun. Lagi pula Mbak Atun
kok masih ingat saja sih...” balas Farida.
”Ah... di desa itu orangnya sedikit jadi gampang mengingatnya.
Sementara di kota banyak ketemu orang. Pasti gampang lupa,”
Mereka tertawa berbarengan.
Selanjutnya Farida memperkenalkan Gunadi dan Alya.
”Ih... cantik seperti ibunya. Mirip Mbak juga di waktu kecil,”
kata Supriatun demi melihat Alya.
Supriatun, perempuan berusia 48 tahun, itu pun bekerja dan tinggal
di keluarga Gunadi. Keluarga dari anak perempuan majikannya yang pernah
diasuhnya dulu. Bagi dirinya, ini seperti mengulang masa lalu. Bedanya, hanya
pada zamannya.
Ya, zamannya. Dulu dia mengasuh Farida di halaman depan. Bawah
pohon asam. Atau jalan-jalan ke sawah. Sampai terjadi kecelakaan Farida
terpeleset, tercebur kali irigasi. Beruntung Supriatun pemberani dan pandai
berenang. Farida yang sudah terseret arus ditariknya ke tepian. Lalu dibantu
naik oleh seorang penggembala kerbau.
Zamannya kini dia mengasuh anak dari anak majikannya dulu, Alya,
di dalam rumah. Di bawah embusan mesin penyejuk udara. Dengan beraneka mainan
warna-warni dan buku-buku cerita. Sayang, Supriatun tak dapat membaca. Bila
Alya memintanya mendongeng dari buku-buku itu, Supriatun hanya menebak-nebak
dari gambarnya. Atau dia dongengkan saja dari cerita-cerita yang pernah dikenalnya,
”Utek-utek ugel”, ”Kancil dan Sabuk Nabi Sulaiman”, ”Kisah Kambing dan
Harimau”.
Tentu saja ada perasaan asing menyelimutinya. Supriatun merasa
tercebur ke dunia yang lain dari dunianya di desa. Meski Ndoro Putri, Ibu
Farida, sudah membekalinya dengan berbagai pengetahuan kehidupan di kota, tak
urung dia tetap merasa aneh. Tapi sudah menjadi tekadnya. Karena ini adalah
kemauannya setelah suaminya di-PHK dari pabrik tebu yang tak jauh dari desa.
Tak ada lagi sumber keuangan keluarga. Dua anaknya masih SMA dan butuh biaya.
Meski satu anak tertua sudah berkeluarga dan memberikan satu cucu, mereka tentu
masih terlalu repot mengurusi rumah tangganya sendiri. Apalagi diharapkan
mengurusinya. Kini, sambil menunggu sang suami mendapatkan pekerjaan kembali,
dia memutuskan untuk pergi bekerja.
Di rumah keluarga Gunadi, dia tak boleh memasak. Karena keluarga
itu sudah berlangganan makanan katering. Makanan yang diantar oleh seorang
pemuda seumuran anaknya yang terkecil dengan sepeda motor yang dirancang untuk
membawa banyak rantang makanan. Supriatun ingat sepeda anak laki-lakinya yang
boncengannya dipasangi dua buah keranjang untuk mengangkut rumput makanan
ternak.
Makanan katering tak disukai oleh Supriatun. Menurutnya, makanan
itu kurang bumbu. Terlalu banyak vetsin yang sering kali membuatnya mual.
Diam-diam, hampir setiap hari, Supriatun hanya makan berlauk sambal demi
menghindari lauk, sayur, atau makanan lain yang bagi lidahnya terasa terlalu
gurih. Atau hanya ditambah sekerat tempe, tahu. Meski makanan itu berasa vetsin
juga.
Telah sebulan lebih Supriatun tinggal di keluarga Gunadi. Telah
sekian lama pula dia dapat menilai kehidupan rumah tangga Gunadi dan Farida.
Tebersit dalam pikirannya; ternyata kehidupan berkeluarga di desa dan di kota
sangat jauh berbeda. Dia teringat sinetron-sinetron dan berita-berita artis
yang ditonton di layar TV-nya. Ternyata dunia seperti itu hampir benar adanya.
Beberapa hari terakhir ini dia melihat Gunadi dan Farida
bertengkar. Sumpah serapah dan kata ”cerai, cerai, cerai” berhamburan ke udara.
Kalau sudah begitu, dia, tanpa disuruh, segera menyelamatkan Alya. Agar tak
melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Menurutnya, orang tua tak baik
bertengkar di depan anak. Supriatun mengajaknya bermain sepeda di jalan aspal
depan rumah. Namun bila suara pertengkaran itu merembes keluar, membuat
beberapa orang yang lewat di depan rumah mereka menengok lalu melempar wajah
tanya kepada Supriatun, perempuan itu tak dapat menahan senyum kecutnya.
Meski baru dua bulan, dari pertengkaran-pertengkaran itu Supriatun
dapat membaca masalah-masalah yang sering kali dipersoalkan. Di antaranya
adalah teguran Gunadi kepada Farida akan berkurangnya perhatian terhadap Alya,
lalu keberatan Farida akan kesibukan Gunadi yang kian menjadi setelah Supriatun
datang. Laki-laki itu semakin kerap beberapa hari tak pulang dengan alasan
bisnis ke luar kota. Dan berdua mereka akhirnya saling menyalahkan.
Supriatun sepenuhnya sadar, kehadirannya di keluarga ini sangat
menjadi tumpuan. Sendirian dia menangani Alya, mengantar jemput ke sekolah TK
yang hanya tak sampai seratus meter dari rumah, mengurus akuarium, dan taman
depan, menangani pekerjaan rumah tangga di luar mencuci dan memasak.
Namun, sekuat-kuat hati Supriatun, jebol pula pertahanan
perasaannya. Suatu malam dia menangis sedih. Meratapi hidup keluarga Farida dan
Gunadi. Terbayang dalam pikirannya sebuah perceraian yang seperti dia tonton di
berita-berita artis. Perceraian yang kata-katanya selalu mencuat di setiap
pertengkaran Farida dan Gunadi. Perceraian, yang dalam pikirannya, tentu
membuat semua sengsara, Alya, anak kecil itu tentu menjadi korban. Lalu
bagaimana dengan Ndoro Putri di Solo? Pasti akan timbul pertanyaan pada
dirinya. Tak urung dia pun akan terlibat. Dia takut pula dipersalahkan.
Perempuan desa itu kini mulai tak tahan dengan keadaan keluarga
Gunadi dan Farida. Tebersit di hati Supriatun untuk berhenti bekerja saja dari
keluarga itu. Kembali ke desa menjalani kehidupan apa adanya. Mencari pekerjaan
di desa seadanya.
Suatu hari tangis Supriatun didengar oleh Farida yang pulang
menjelang tengah malam. Farida terkejut dan agak takut mendengar tangisan lirih
di kala malam hendak mencapai puncaknya itu. Mengendap-endap dia di dekat kamar
perempuan desa itu. Mencari asal suara tangisan itu. Ternyata benar seperti
dugaannya. Itu suara tangis Supriatun. Farida mendekati pintu dan mengetuknya.
”Mbak... Mbak... Mbak Atun kenapa?” Tanya Farida.
”Eh... anu... sebentar...” jawab Supriatun dengan suara lirih dan
tergopoh-gopoh. Masih terdengar isakan di sana.
Tak lama pintu dibuka. Dan tampaklah muka sembap perempuan desa
itu. Air matanya masih menggenang di pelupuknya. Supriatun memaksakan
tersenyum. Lalu dia menghambur ke tubuh Farida. Memeluknya.
Farida sejenak terkejut dan kemudian mendekap tubuh Supriatun.
”Mbak Atun kenapa menangis?” Tanya Farida.
”Saya sedih, saya ndak kuat kerja di sini,”
”Lho... sedihnya kenapa? Nggak kuatnya kenapa?” Tanya Farida yang
mulai diserang kebingungan kalau-kalau Supriatun benar-benar tak tahan karena
kangen anak dan suaminya.
”Saya sedih... karena Mbak Farida dan Mas Gunadi bertengkar terus.
Saya ndak kuat Mbak.... Saya mau pulang saja,” kata Supriatun sambil menangis
kembali. Tersedu-sedu.
Farida melepaskan pelukannya. Begitu pula Supriatun. Dalam jarak
yang amat dekat mereka bersitatap. Mata Farida juga mulai berkaca-kaca.
Beberapa menit mereka terdiam. Seperti ada bahasa yang susah disampaikan.
Namun akhirnya, Farida, memecah keheningan sejenak itu, ”Mbak
Atun... maafkan saya. Saya memahami kesedihan Mbak. Maafkan kami. Kami sendiri
sedang menyesuaikan diri dengan kondisi kami sekarang ini. Tapi tolong Mbak...
Mbak Atun jangan pulang. Saya sepertinya akan membutuhkan Mbak Atun dalam
jangka waktu yang agak lama. Dua hari yang lalu saya mendapat kabar dari dokter
kandungan. Saya sudah isi lagi. Sudah hampir satu bulan. Saya janji, nggak akan
bertengkar lagi...”
Wajah mereka saling berhadapan. Mata mereka saling menyelami
perasaan dalam hati lawan bicaranya. Raut muka Supriatun tampak mulai berubah
berbinar, mensyukuri apa yang telah didapat oleh Farida. Kemudian tersenyum dan
pelan-pelan mengangguk. Farida pun tersenyum. Dalam keheningan mereka kembali
berpeluk.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !