Setiap
orang Bali, walaupun ia terlahir sebagai laki-laki, pasti pernah matanding atau
majejahitan. Metanding adalah kegiatan untuk menyanding-nyandingkan atau menata
berbagai bahan sesaji sehingga menjadi sebuah keutuhan sebuah banten (sesaji).
Sementara majejahitan merupakan bagian dari matanding, yaitu menjahit janur
dirangkai dengan berbagai bunga dan daun-daunan tertentu. Mejejahitan
menghasilkan canang (merangkai janur dan warna-warni bunga dan daun). Canang
dan berbagai hasil majejahitan dipersatukan dalam matanding menjadi banten.
Walaupun jarang yang aktif, biasanya anak laki-laki dilibatkan juga dalam
memetik bunga, memanjat kelapa, mencari janur, atau berbagai perlengkapan dalam
tahap persiapan.
Bagi
para ibu dan anak perempuan Bali, membuat untaian keindahan (majejahitan dan
metanding) adalah “mata pelajaran pokok” dalam kehidupannya. Laki-laki
mendampingi untuk mempersiapkan bahan-bahannya. Setiap hari diwajibkan untuk
membuat canang atau tangkih untuk persembahan pagi atau sore. Canang adalah perpaduan
berbagai unsur-unsur keindahan. Berbagai jenis dan warna bunga, janur, dupa,
beras, dstnya. Mereka dirangkai, dijahit, ditata atau ditanding menjadi sebuah
kesatuan yang kita sebut canang. Kata canang mengandung arti persembahan.
Persembahan atau canang kita adalah keindahan. Keindahan bentuknya dan tentunya
juga keindahan hati pembuatnya.
Biasanya
canang atau metanding (menata sesaji) dilakukan di atas meja. Atau tikar. Yang
beruntung punya bale (bangunan khusus untuk menata/metanding) mereka membuatnya
disana. Janur dituas. Lalu dijahit dengan ketelitian yang tinggi. Berbagai
bentuk kurva dan persegi. Di sini orang Bali diperkenalkan pada dimensi dan bentuk.
Janur yang dijahit ini menjadi semacam penyangga bagi bunga-bunga yang
dirangkai di atasnya. Dilengkapi berbagai kelengkapan tambahan sesuai kebiasaan
atau tata cara keluarga atau desa bersangkutan.
Pewarisan keterampilan ini turun dari generasi ke generasi. Dari nenek ke ibu. Dari ibu ke anak. Demikian seterusnya. Ini berjalan dengan sangat terjaga selama berabad-abad. Dalam suka cita pewarisan ini selalu ada yang terbaharui. Setiap generasi punya seleranya untuk menambahkan yang diwarisi. Ini menyerupai pewarisan sebuah bangunan pura. Walaupun pelinggih atau altar dipertahankan berjumlah tetap dari generasi ke generasi, kalau kita perhatikan, saat terjadi renovasi, ukiran yang menghias altar atau material bangunan selalu mengalami perubahan. Semacam improvisasi dari setiap generasi pewarisnya. Demikian juga dengan banten-banten kita. Dahulu tidak ada banten dengan buah apel New Zealand, tapi karena buah itu dinilai menarik warnanya dan enak, generasi belakangan gemar memakainya. Kadang unsur kertas berwarna emas dan warna-warni juga menjadi bagian canang atau sampian (hiasan gantung-gantungan). Padahal dulu jarang kita temui kalau kertas menjadi bagian dari canang. Sisi lain muncul, ada kecenderungan fashion dan trend dalam beberapa bagian ritual.
Karena
dalam pewarisan ini tidak tertulis, tidak ada dogma, tidak ada yang paling
benar, setiap generasi punya kesempatan melakukan improvisasi secara
terus-menerus asal unsur-unsur pokok tetap terjaga. Dalam pewarisan banten dan
mejejahitan terwariskan juga prinsip desa-kala-patra.
Sebuah banten atau sesaji disesuaikan dengan kelenturan interpretasi masyarakat
pada wilayah tertentu (desa), pada
kurun waktu tertentu (kala) dan
situasi/keadaan tertentu (patra).
Pokok ajaran ini adalah keleluasaan untuk melakukan re-interpretasi dan improvisasi
secara terus menerus, menjadikan tradisi sebagai warisan yang lentur, fleksibel, dan menjawab kebutuhan
jamannya, dengan terus berpegang pada esensinya yang terdalam, penghalusan
kemanusian kita secara terus-menerus.
Bunga
menjadi unsur pokok dalam canang. Warna-warnanya dan berbagai jenis bunga
menjadi bagian penting dalam merangkai keindahan itu. Dan tanpa disadari,
pewarisan keterampilan mejajahitan dan matanding ini adalah sebuah pewarisan
seni hidup, seni merangkai keindahan, mengapresiasi estetika.
Sedari
kecil seorang anak Bali akan dikenalkan dengan bunga dengan sangat intens. Hampir di setiap halaman rumah
orang Bali setidaknya ada sebatang atau dua batang pohon bunga. Dengan
kesadaran ketika menanam, “Pang ada anggon
ngae canang”. Biar ada dipakai membuat persembahan. Bunga adalah salah satu
bagian terpenting dari persembahan. Saking pentingnya bunga dalam
persembahyangan, dalam bahasa Bali, sembahyang/berdoa kadang disebut muspa (memuja dengan sarana bunga/puspa).
Puspa (bunga) adalah kata benda. Dan
menjadi kata kerja: muspa. Muspa
(aktivitas yang terkait dengan bunga) secara lebih luas sesungguhnya dimulai
dengan menanam bunga. Menyiram bunga. Lalu memetik bunga untuk kepentingan
ritual, dan merangkainya (metanding dan mejejahitan). Berdoa atau memuja dengan
bunga di sebuah tempat persembahyangan adalah titik kulminasi dari aktivitas
muspa.
Matanding
dan majejahitan, yang juga bagian integral dari muspa (dalam arti luas), adalah
pengayaan diri terhadap keindahan. Metanding dan mejejahitan adalah semacam
universitas terbuka dalam rakyat Bali yang memberi kuliah apresiasi estetik.
Dalam matanding dan mejejahitan perempuan-perempuan Bali belajar dan mewariskan
apresiasi mereka terhadap estetika, terhadap unsur-unsur alam yang menjadi
bagian tak terpisah dari sebuah banten atau canang. Sehingga, kelanjutannya,
ketika banten dan canang digelar di tempat persembahyangan, kegiatan itu
semacam festival merangkai bunga. Janur dan bunga menghiasi seluruh pura. Tanpa
terasa, setiap odalan/pujawali (hari persembahan), manusia Bali sesungguhnya mengadakan
sebuah festival keindahan.
Bukan
hanya sesaji yang mesti ditata dan harus indah, tapi yang membawanya juga harus
bersih dan berhias mempercantik diri. Anak-anak perempuan bersanggul dan pupur
cantik. Laki-laki tidak mau ketinggalan. Bapak dan ibu serta kakek-nenek juga
mesti bersih. Sekalipun tidak berpakaian baru atau tidak punya uang di saku,
hari persembahan mereka harus mandi. Berhias dan berusaha tampil elegan dengan
busana adat yang mereka miliki. Lalu ramai-ramai bergegas ke pura. Di sana,
mereka menabuh gamelan atau menyanyikan kakawin atau kidung-kidung yadnya
(lagu-lagu pujian). Semua harus menjadi indah. Dan terpenting, hatipun
diusahakan tidak tercemar. Luar-dalam diharapkan menyuguhkan keindahan itu.
Bergegas ke pura sama artinya bergegas menata hati. Membersihkan hati agar
berkilau indah.
Anak-anak
kecil, di dalam proses matanding dan majejahitan, juga dalam odalan, diajari
mengapresiasi warna bunga dan daun-daun. Dalam merangkai bunga dalam pembuatan
canang, ibu-ibu mengajari bagaimana agar bunga yang berbagai jenis itu tampak
meriah dalam perpaduan dengan warna bunga yang tersedia. Agar proposional.
Terjamin keseimbangan warna sesaji, cerminan warna hati pembuatnya. Mencampur
satu warna bunga yang merah dengan putih atau kuning, contohnya, ini semacam
aktivitas mencampur warna cat untuk mengasilkan lukisan yang indah. Unsur warna
bunga dalam pembuatan canang menjadi pertimbangan penting. Demikian juga harum
bunga. Bunga sandat dan cempaka menjadi bunga pilihan agar canang berbau wangi.
Dipadukan dengan harum dupa dan kukus arum. Harum bunga menjadi penting, ini
semacam pelajaran aroma terapi yang kini sedang diganderungi kelas menengah.
Orang-orang Bali telah mempraktekkan dalam keseharian mereka dari berabad-abad
silam.
Pada
akhirnya orang Bali, setelah dewasa, diajak merenungi, memahami kedalaman makna
sebuah bunga. Dari benih yang terkandung. Kelopak dan putik sari. Bagaimana
menuainya. Bagaimana memeliharanya. Menatanya dalam halaman. Ada aturan
tertentu dalam menanam bunga tertentu di halaman sebuah rumah. Ini juga semacam
dasar-dasar seni berkebun yang ditanamkan sedari awal. Anak-anak juga diajari
orang tuanya cara memetik keindahan itu. Diajari bagaimana memetik bunga
sehingga terjaga keberlanjutan bunga-bunganya. Tidak sembarang tarik. Tapi
penuh kelembutan. Tidak merusak daun-daun atau bunga-bunga yang masih muda.
Kalau bunga-bunga terlalu tinggi, kita diajari memakai joan bunga (penjolok
khusus untuk memetik bunga). Anak-anak pedesaanlah yang beruntung mendapat
pelajaran seperti ini. Di musim-musim tertentu, anak-anak bergerombol dengan teman-temannya memetik
bunga, berebutan, bercanda, dan berbagi.
Saat
sembahyang dengan bunga, seseorang diajari merasakan keindahan bunga itu dengan
kedalaman hati. Dengan keheningan dan kelembutan dijari-jari. Harum dan
keunikan bentuknya.
Mejejahitan
adalah training bagi jari-jemari orang Bali. Agar terampil untuk menuas dengan
pisau, menjahit dengan semat/biting (dari bambu). Keterampilan ini adalah
keterampilan untuk melihat, menjaga dan menata detail benda-benda. Aktivitas
ini bertumpu pada ketelitian untuk menjaga keutuhan bahan-bahan alami, agar
janur tidak robek, agar semat tidak patah. Di bidang lain, ketelitian orang Bali
untuk menghasilkan kerajinan atau cenderamata dan karya tangan yang mereka
ekspor atau jual di pasar-pasar seni tidak terpisah dari training yang
terwarisikan dari generasi-generasi ini. Sebuah kemahiran untuk memperhatikan
detail dan kesabaran dalam berkarya.
Majejahitan
dan metanding menjadi aktivitas di balik semua ritual atau upacara-upacara
keagamaan yang diselenggarakan rakyat Bali. Dan ini menjadi bagian teramat
penting dari sebuah prosesi ritual. Semua perhatian dan konsentrasi seorang
yang sedang menjahit canang atau banten difokuskan untuk mencipta keindahan.
Terfokus pada kelembutan, ketenangan nafas,
kesabaran. Keheningan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar untuk
menghasilkan karya keindahan. Karena karya keindahan ini untuk persembahan
kepada Hyang Maha Tunggal, bhakti (cinta pada Tuhan) menghidupi tarikan nafas
mereka yang sedang majajahitan. Keheningan, kesabaran, bhakti, semua diarahkan
untuk keindahan. Bukankah ini esensi praktek yoga? by SL on August 14, 2010
oleh Sugi Lanus
Karang
Jasi, Cakranegara, 14 Nopember 2005.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !