Oleh Sugi Lanus
HIDUP seperti bermain bola. Kita kejar
beramai-ramai. Kita perebutkan. Kita tendang. Lalu, kembali kita kejar, dan
seterusnya. Demikian sebuah pengandaian hidup dalam Geguritan Darmapada. Karya
sastra geguritan, yang tahun penulisannya belum terjejaki itu, saya baca di
sebuah perpustakaan lontar di Denpasar, sekitar sepuluh tahun silam.
Karena geguritan itu cukup unik -barangkali satu-satunya karya sastra tradisional yang memakai metafor bola dalam sebuah pada-nya — tiap kali musim bola (baca: kejuaraan dunia sepak bola), yang datang seperti tahun kabisat empat tahun sekali, saya langsung teringat geguritan itu. Lebih lanjut geguritan itu memberi sebuah pertanyaan: Kenapa kita mengejar bundaran yang isinya kosong (puyung)?
Kosong. Demikian kuat kata itu. Betulkah hidup
kita yang diandaikan sedang mengejar kosong? Bukankah sepak bola tidak terletak
pada bola yang kosong, tapi terletak pada permainan, kekompakkan, keterampilan,
strategi, kesabaran dan daya tahan? Kalau hal-hal tersebut lebih penting dari
”bola kosong”, apakah sebuah ”turnamen kehidupan” bisa menjadi ada tanpa
kehadiran bola yang dalamnya puyung itu?
Bola menggelinding di atas rumput hijau. Pada
saat kejuaraan dunia sepak bola, gelindingan bola itu. Seperti para penonton
bola yang ”rela” bergoyang-goyang, mengecat rambut dan memulas muka dengan
warna-warni, sedia begadang hingga pagi, demikian pula jalannya kehidupan:
Kekosongan ”bola kehidupan” itu membuat kita rela melakukan berbagai hal.
Geguritan itupula menyebutkan banyak hal aneh diperbuat orang karena tertipu
”kosong”. Sekian banyak orang menjadi nekad menjalani kehidupan, berani korupsi
dan bahkan melenyapkan kengerian sendiri untuk membunuh sesama.
Dalam kearifan yang terwariskan dalam ungkapan
manusia Bali, tatujon idupe ngalih isin puyung, tujuan hidup untuk
mencari-mendalami isi kosong. Dari ungkapan ini kita mendapati bahwa:
Kosong itu adalah lapisan terluar dari sebuah esensi kehidupan. Seperti telur,
ia barulah kulit atau cangkang telur belaka.
Tim-tim bola punya cara tersendiri untuk
menunjukkan ”aliran”-nya. Ada yang lebih mengutamakan kecepatan, kekuatan,
bahkan kekerasan. Ada pula yang mengutamakan keindahan dalam permainannya.
Sebuah tim mempunyai jalan dan strategi sendiri untuk memenangkan pertandingan.
Apakah dengan demikian, kehidupan adalah sebuah pertandingan yang harus
dimenangkan? Ataukah bagaimana cara kita menjalani turnamen itu?
Masih tersisa kenangan, ketika itu Ghana kalah
dari Brasil, untuk menuju babak seperempat final World Cup 2006, orang-orang
Ghana di negerinya terdiam. Tetapi, sesaat kemudian, mereka bernyanyi dan
bergoyang, mereka tetap berpesta di jalan-jalan di negerinya. Tentunya mereka
bukan merayakan kekalahan, tapi sebuah ”kemenangan”. Ini sebuah
catatan dalam peradaban bola: Mereka sedang menunjukkan pada kita bahwa
keberhasilan Ghana untuk bisa masuk ke turnamen kejuaraan dunia itu saja adalah
hal yang harus dirayakan. Negara itu bukan lagi sebuah negara yang hanya jadi
penonton. Mereka telah bisa turut andil.
Turut andil adalah inti dari swadharma.
Begitulah, orang Bali menegaskan berkali-kali, bukan hanya dalam Geguritan
Darmapada, bahwa yang sangat penting bagi manusia adalah tahu akan
Swadharma-nya. Tahu swadharma adalah tahu akan panggilan dirinya sebagai
manusia. Menjadi tersadar untuk terlibat, ikut turut andil dalam kehidupan.
Putu Wijaya, seorang penulis kelahiran Bali, punya ungkapan menarik, agar kita
menjalani hidup ini tidak hanya sekadar ”penumpang gelap”. Semangat
untuk tidak sekadar jadi ”penumpang gelap” ini adalah panggilan
swadharma. Orang Bali menekankan kepada semua orang harus mengikuti panggilan
dharmanya (baca: kewajibannya) masing-masing. Barangkali, itu sebabnya
banjar-banjar di Bali sedemikian ketat mewajibkan warganya untuk hadir dalam
kegiatan-kegiatan banjar, turut andil, bukan sekadar menonton, tapi berkarya.
Sayang, terkadang panggilan banjar tersebut diterima sebagai ”wahyu yang jatuh
dari langit”, yang tak boleh dikaji ulang, tak boleh di-reinterpretasi.
Kehidupan banjar pun akan menjadi kering, pertemuan-pertemuan tidak punya daya
aktualitas. Aktivitas di sekitarnya pun cenderung berjalan dalam sebuah
simulasi (simulacrum) yang menjemukan.
Kata swadharma menuntut pencapaian seseorang.
Tidak masalah seorang terlahir dalam keluarga apapun, sepanjang ia mampu
menjawab dan memenuhi panggilan swadharma-nya, ia adalah orang terhormat.
Pemenuhan diri akan panggilan dari dalam diri kita, dan penuh sukacita
menjalaninya, menjadi pintu untuk memasuki arti swadharma. Swadharma bukan
sekadar didapatkan dari keluarga tempat kita dilahirkan. Swadharma adalah
panggilan bathin untuk ambil bagian dalam kehidupan ini. Dengan demikian,
swadharma adalah penemuan perseorangan, bukan faktor genetika atau
trah. Ini persoalan pencapaian seseorang kalau ia menekuninya dengan
kesungguhan.
Semangat untuk memberi peran pada sebuah
”turnamen kehidupan” menjadi penting, walhasil, memang mengejar bola kosong
bukanlah inti dari peri kehidupan. Seperti ritual-ritual di Bali, yang dicibir
sebagai roles without meaning (aturan-aturan tanpa makna). Bukan makna
artifisial ritualnya yang perlu kita pertentangkan, tapi hakikat keterlibatan
kita yang patut dihayati, termasuk keterlibatan untuk menafsirnya ulang, dan
merevitalisasi semangat yang digelorakan di dalamnya. Bahkan, keterlibatan
untuk mempersoalkan dan menolaknya pun juga terkadang dibutuhkan. Ritual-ritual,
kalaupun kita sepakat menyebutnya sebagai aturan-aturan tanpa makna, maka dalam
aturan-aturan itulah ada ruang-ruang kosong untuk menghayati ”kekosongan”, yang
dalam ungkapan Bali disebut sebagai Sanghyang Embang. Seperti mengejar bola
yang kosong, bukan bola kosong itu yang harus dipertentangkan dan
dipertanyakan, tapi semuanya terletak pada: Bagaimana kita menjalani permainan
bagaimana kita menghayati ”kekosongan” itu. Geguritan Darmapada memberi kita
cara lain melihat bola. Bola, dalam geguritan tersebut, adalah sebuah metafor
yng menggelinding; terbuka untuk ditafsir dan dikomentari. Setidaknya ada tiga
hal yang perlu digarisbawahi dari ”pembacaan” Geguritan Darmapada; puyung,
swadharma, Sanghyang Embang. Kekosongan (puyung) yang diwakili bola yang
mengelinding, yang bisa dijawab dengan keterlibatan dan penghayatan peran
(swadharma), sehingga kehidupan seseorang berpuncak pada pencapaian hakikat
keheningan (Sanghyang Embang).*Pernah dimuat dalam BALIPOST Minggu
Paing, 31 Desember 2006.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !