Sembah Puyung adalah doa yang pertama (pembuka) dalam rangkaian Panca Sembah (5 puja-doa) yang
bersifat “standar” dalam persembahyangan masyarakat Hindu-Bali.
Dalam Sembah Puyung kedua
telapak tangan dan jari-jari dicakup di atas kepala. Tangan kosong. Orang Bali
selama ini banyak yang keliru dan menyederhanakan: Disebut Sembah Puyung
karena tangan kosong tanpa sarana bunga. Puyung memang mengandung makna kosong
tapi sekaligus mencakup embang (sepi dan hening). Akibat ketakpahaman
akan makna istilah Sembah Puyung, mereka kadang mengganti istilah Sembah
Puyung menjadi: Sembah tanpa serana (sembah tanpa sarana). Maksudnya
tanpa memakai sarana bunga. Keluh mereka yang tak paham, “Masak kita sembah
kosong! Menyembah kosong?”
Orang lupa bahwa mantra Sembah
Puyung: “Om àtmà tattwàtmà sùddhamàm swàha”.
Atma adalah esensi puyung
(kekosongan/keheningan). Puji pada esensi keheningan diri (atma) yang
menjadi pembuka doa Panca Sembah, lalu penutup Panca Sembah adalah Ngaturang
Parama Shanti, berkulminasi pada shanti (kedamaian). Puyung dalam
kontek sebuah ungkapan terdalam dalam masyarakat Bali: “Puyung Maisi” (Kosong
berisi), atau dalam bentuk kalimat lain: Ngalih isin puyung (Menelisik
isi sepi); membuat jelas bahwa Puyung bukan bermakna kosong melompong. Puyung
adalah titik dimana berhentinya materi dan penampakan. Titik dimana kita diajak
menjadi lebih mendalam. Menghayati yang tak tampak. Baik di dalam dan di luar
diri.
Mencari (dan menghayati) isi
keheningan, atau ngalih isin puyung, telah tersemai dalam bahasa sehari-hari
masyarakat Bali, jauh sebelum Panca Sembah disosialisasikan di awal
kemerdekaan, dalam pengajaran agama di sekolah rakyat.
Puyung bukan kosong melompong. Dalam
ungkapan Tamtam dalam Geguritan Ginal-Ginul (atau lebih dikenal
sebagai Geguritan Tamtam), disebutkan: “Daging telas” (Isi dari
pada yang habis). Jelas ini senada dengan “isin-puyung”. Ada istilah
bagi mereka yang memahami “isi puyung” ini sebagai manusia yang “tatas”
(selesai alias tuntas) atau dia yang “meraga putus” (mencapai pencapaian
kelepasan/putus). Putus dengan material dan juga sekaligus melampau
konsepsi. Di sini seseorang dikatakan putus karena ia “melampaui jagat
materi” dan “melampaui jagat konsepsi”. Tidak lagi berada di areal hitam-putih.
Pada titik inilah kita, meminjam istilah seorang tetua yang sempat saya jumpai
di pesisir Utara Bali, “berhenti berpikir dengan otak dan dalil logika, tapi
berpikir dengan atma”.
Puyung beresensi atma, demikian
tersirat dalam Sembah Puyung. Sembah Puyung dengan demikian bukan sembah tanpa
sarana (kembang-puspa), bukan pula
memuja kosong-melompong, tapi sembah-sujud pada esensi embang (kosong-hening).
Sembah Puyung mengajak berhenti pada
materi, berangkat ke jagat yang melampauinya. Sembah Puyung bukannya tanpa
alasan filosofis menjadi pembuka pertama Panca Sembah (Lima Puja-Doa), ia
memang masuk dalam daftar urut “yang pertama” dalam esensi “ke-Bali-an” kita.
Dalam Puyung kita sejenak berhenti berpikir dengan otak yang terkotak-kotak,
melepas semua kecerdasan (dan kebodohan), berhenti berkonsepsi, dan dengan
tulus-bulat terjun ke lautan hening.
Jika kita bandingkan dengan karya kakawin,
Sembah Puyung adalah manggala (kidung pembuka-utama) dari rangkaian
Panca Sembah; diawali dengan menghayati esensi hening (àtmà tattwàtmà),
menuju puncak cita-cita tertinggi kemanusiaan kita: Damai (di hati), damai (di
bumi), damai (di surga). Shanti-Shanti-Shanti. Dari Puyung
(hening) menuju Shanti (kedamaian). ©SL
Mataram, 7 Oktober 2010
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !