“Paswara” Tahun 1900 dalam Pengangkatan Anak - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » “Paswara” Tahun 1900 dalam Pengangkatan Anak

“Paswara” Tahun 1900 dalam Pengangkatan Anak

Written By GDE NOGATA on Senin, 22 Juni 2015 | 20.16

Hukum Adat Bali
PENGANGKATAN anak menurut hukum adat Bali, agak berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum nasional. Perbedaannya tampak pada pelaksanaan upacara paperasan, hal yang tidak ada menurut hukum nasional.

Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali, mengacu kepada Peraturan (Paswara) tanggal 13 Oktober 1900 tentang Hukum Waris Berlaku bagi Penduduk Hindu Bali dari Kabupaten Buleleng, dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok (FA. Liefrinck) dengan permusyawarahan bersama-sama pedanda-pedanda dan punggawa-punggawa. Sesuai judulnya, paswara ini pada awalnya memang hanya berlaku di Buleleng, tetapi sejak tahun 1915 paswara ini juga diperlakukan untuk seluruh Bali Selatan. Pasal 11 Paswara tersebut, sepanjang “Pengangkatan Anak atau Sentana Peperasan”, menentukan sebagai berikut:

1)   Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun juga yang tidak mempunyai anak anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras sentana) maka mereka itu harus mendjatuhkan pilihannya atas seorang dan anggota keluarga sedarah yang terdekat dalam keturunan lelaki sampai derajat kedelapan.
2)   Orang boleh menyimpang dari peraturan ini dengan idjin sedjelas-djelasnja dan anggota-anggota keluarga jang lebdi dekat hubungan kekeluargaannja dengan anak jang ingin didjadikan sentana dibandingkan dengan mereka jang berhak melakukan pengangkatan itu, atau setelab mendapat idjin dan Pemerintah apabila Pemerintah berpendapat bahwa tjukup terdapat alasan untuk menjimpang dan peraturan seperti jang disebutkan dalam pasal ini ajat (1).
3)   Apabila tidak terdapat anggota-anggota keluarga jang sedarah sampai deradjat tersebut di atas, maka pilihannja adalah bebas dengan pengertian (akan tetapi), bahwa baik di dalam hal pertama maupun di dalam hal jang kedua seorang tidak boleh diangkat menjadi anak sentana dengan siapa orang itu telah pernah berperkara jang diselesaikan dengan pengangkatan sumpah.
4)   Bagi tiap-tiap transaksi tentang pengangkatan anak senatan harus dibuatkan surat di kantor Kepala Kabupaten (Controlir).
5)   Seorang anak senatan mempunjai hal-hal dan kewadjiban-kewadjiban terhadap mereka jang mengangkatnja sama sebagai anak kandung, akan tetapi ia kehilangan hak-haknja atas bagian harta peninggalan di rumah keluarganja sendiri.

Paswara yang dibuat lebih seratus tahun yang lalu itu, sampai sekarang masih berlaku dan ditaati oleh warga desa pakraman di Bali. Dalam praktik kehidupan di desa pakraman, paswara tersebut diimplementasikan sebagai berikut:

1.    Rembug keluarga kecil (suami istri), tentang rencana pengangkatan anak.
2.    Rembug keluarga yang lebih luas (saudara kandung), untuk minta persetujuan tentang rencana pengangkatan anak.
3.    Rembug dengan keluarga (orang tua) dan calon anak angkat, dengan tujuan yang sama. Apabila, ketiga tahap ini berhasil dilewati tanpa masalah, akan dilanjutkan ke tahap berikutnya.
4.    Pengumuman (pasobyahan) dalam rapat (paruman) banjar atau desa pakraman, untuk memastikan tidak ada warga lain yang keberatan. Sesudah itu, dilanjutkan dengan langkah berikutnya, berupa pelaksanaan upacara paperasan.
5.    Pengangkatan anak dapat dikatakan sah menurut hukum adat Bali, sesudah dilaksanakan upacara paperasan. Itu sebabnya anak angkat itu disebut pula dengan istilah sentana paperasan.
6.    Walaupun sudah sah dengan adanya upacara paperasan, untuk kepastian hukum di masa yang akan datang, sebaiknya dilanjutkan dengan penyelesaian administrasi (surat pengangkatan anak), berupa penetapan pengadilan. Sesudah seorang anak diangkat secara sah menurut hukum adat Bali, anak angkat tersebut mempunyai kedudukan yang persis sama dengan anak kandung. Baik kewajiban (swadharma) yang harus dilaksanakan, maupun hak-hak (swadikara) yang dapat dinikmati, termasuk halnya sebagai ahliwaris bagi orang tua angkatnya. Apabila atas dorongan nurani, ada pasangan suami istri yang “jatuh cinta” pada seorang anak, tetapi tidak ingin terganggu atau terbebani oleh masalah swadharma dan swadikara yang persis sama dengan anak kandung, anak tersebut tidak harus diangkat, tetapi cukup dipelihara atau diasuh saja. Prosesnya tentu lebih sederhana. Tidak perlu melewati pengumuman di banjar, dan upacara paperasan, melainkan cukup dengan persetujuan keluarga saja. Anak itu disebut anak upapira (anak asuh).


[Wayan P. Windia – Pakar Hukum Adat Bali]. Balipost Minggu, 10 Juli 2011.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template