Rumah Semua Orang - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Rumah Semua Orang

Rumah Semua Orang

Written By GDE NOGATA on Minggu, 06 Mei 2018 | 04.22

AKU & RUMAHKU

Rumah Semua Orang

Oleh : Megandika Wicaksono & Mawar Kusuma

Harian Kompas, 6 Agustus 2017


KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Salah satu ruang tamu di rumah Sinta Nuriyah, istri almarhum presiden RI ketiga KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (23/6).

Kenangan terhadap mendiang Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masih kental terpelihara di rumah pribadi yang juga dikenal dengan sebutan Rumah Ciganjur. Memasuki tiap sudut rumah yang kini dihuni oleh Sinta Nuriyah bersama putri bungsunya, Inayah Wulandari Wahid, mau tidak mau perbincangan selalu mengarah pada kenangan akan kehadiran Gus Dur di rumah itu.


KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Halaman yang luas di kediaman Ibu Sinta Nuriyah istri almarhum Presiden ketiga KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (23/6).

Setelah melapor ke pos penjagaan yang dijaga pasukan pengaman presiden (paspampres), halaman luas dengan lantai paving block segera menyita pemandangan. Terletak tak jauh dari Masjid Jami Al Munawaroh, rumah tersebut dilingkupi banyak pohon bunga dan buah-buahan yang ditanam Ibu Sinta. Suasana adem di halaman terbawa ketika memasuki pintu gebyok kayu jati dan duduk di ruang tamu. Ruang tamu menjadi bagian penting dari rumah ini karena Gus Dur selalu terbuka menyambut tamunya di rumah.


KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Teras kediaman Ibu Sinta Nuriyah istri almarhum Presiden ketiga KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (23/6).

Ruang tamu semakin terasa nyaman karena angin bertiup sepoi-sepoi dari jendela-jendela besar yang dibiarkan terbuka lebar. Di rumah ini, ada tiga ruang tamu yang tidak terpisah dinding. Ruang tamu pertama adalah ruang tempat Gus Dur biasanya menjamu tamu-tamunya. Ruang tamu kedua yang berada dalam satu ruangan biasanya digunakan oleh para ajudan atau paspampres untuk duduk menunggu.


KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Taman di samping kiri kediaman Ibu Sinta Nuriyah istri almarhum Presiden ketiga KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (23/6).

Tempat ini menjadi tempat favorit putri Gus Dur Inayah Wahid saat di rumah.
Terpisah oleh gebyok kayu berukir kaligrafi, ruang tamu ketiga lebih menjorok ke dalam, dekat dengan ruang tengah yang merupakan ruangan khusus bagi Sinta ketika menerima kunjungan. Sentuhan perempuan sangat terasa di ruang tamu Sinta yang dihiasi lampu chandelier. Pada tiap meja di setiap ruang tamu diletakkan tanaman anggrek hidup dengan bunganya yang bermekaran warna ungu dan putih.


KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pedang dari Timur Tengah menghiasi ruang tamu.
Hobi selonjoran


KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO
Keluarga besar Gus Dur berfoto bersama saat Idul Fitri.

Gus Dur selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar sejak subuh. Sebelum matahari bersinar, ia sudah menerima tamu-tamu dari beragam kalangan sosial. Setiap pagi, sofa di ruang tamu itu digeser ke pinggir ruangan agar bisa menampung lebih banyak orang. Gus Dur cenderung lebih suka berbincang dan berdiskusi dengan konsep lesehan di karpet ruang tamu.

Di karpet yang sama yang saat ini masih menghuni ruang tamu itu, Gus Dur paling suka merebahkan badannya atau duduk selonjoran. “Bapak hobi selonjoran di karpet ini. Bapak menemui tamu, ya, di atas karpet. Enggak ada bangku. Suka nongkrong di sini. Sebelum subuh duduk di situ. Bapak suka dengerin pengajian sebelum subuh yang terdengar dari masjid,” kata Inayah.

Hobi selonjoran Gus Dur itu pula yang sempat menginspirasi pematung, seperti Dolorosa Sinaga, untuk membuat patung replika Gus Dur. Patung yang menyerupai patung Buddha itu masih disimpan sebagai suvenir di Rumah Ciganjur. Ada pula patung Gus Dur lainnya yang dibuat oleh mahasiswa seni asal Jepang yang saking beratnya harus diangkat lima orang.

Banyaknya orang yang mencintai Gus Dur tergambar jelas dari banyaknya souvenir yang menghiasi ruang tamu. Di dalam kotak kaca, terdapat pedang dari Pemerintah Kuwait, guci-guci dari Pemerintah Tiongkok, hingga suvenir batu dan kursi yang saking banyaknya sampai tak terdeteksi lagi siapa si pemberinya.

Dinding rumah dihiasi dengan banyak lukisan kaligrafi. Beberapa kiai yang tak ingin rumah Gus Dur menjadi sunyi setelah kepergiannya, juga menghadiahi beberapa burung yang disimpan di sangkar di taman samping rumah. Dulu, Gus Dur juga memelihara burung beo yang pintar menyanyi “Indonesia Raya” dan “Garuda Pancasila”. Burung itu mati sesaat setelah Gus Dur wafat.

Meskipun tak sebanyak dulu, hingga kini, tamu-tamu masih banyak bertandang ke kediaman Gus Dur seperti pada momentum Lebaran. “Saya bersyukur, orang yang mencintai Bapak masih tetap datang kemari. Bapak masih ada di hati mereka. Datang ke sini, mereka seolah-olah masih ada Bapak. Suasana tetap ramai. Pluralisme dan kerukunan bangsa pun masih tetap terjaga melalui rumah ini,” kata Sinta ketika ditemui pada Idul Fitri lalu.

Jualan kacang
Ruang favorit bagi keluarga Gus Dur adalah ruang tengah yang juga ruang keluarga. Seusai shalat Idul Fitri di Masjid Jami Al Munawaroh, keluarga besar Gus Dur, termasuk empat putrinya, menantu, dan sembilan cucu lebih banyak berkumpul di ruang tengah tersebut. Teriakan dan celotehan khas anak-anak yang sesekali diselingi dengan campuran bahasa Inggris memeriahkan suasana rumah sebelum banyak tamu berdatangan.

Sekitar pukul 08.30, keluarga presiden keempat RI itu bersiap untuk sungkem. Inayah beserta kakak-kakaknya, yaitu Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, dan Anita Hayatunnufus, berteriak memanggil cucu-cucu.

“Lebaran sekarang sedih. Dulu bangkunya ada dua pas sungkeman. Sekarang hanya satu. Beberapa Lebaran, Bapak hobi ngekos di RSCM (Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo). Malam Lebaran, kita ‘menculik’ Bapak pulang, lalu ketawa-ketawa. Enggak ada Bapak, kerasa banget,” tambah Inayah.
Keluarga Gus Dur menempati Rumah Ciganjur sejak 1990-an. “Dulu bentuknya enggak kayak gini. Saya ingat pas Bapak diangkat jadi Presiden terus tiba-tiba masyarakat datang. Ada ibu-ibu datang. Saya ngenes, ibu-ibu itu ngomonggini ama anaknya: yah rumah presiden jelek amat. Ngenes banget. Sedih banget. Tapi itu malah menjelaskan integritas Bapak. Dari sebelum ataupun setelah jadi Presiden beliau enggak pernah berubah, sama-sama bokeknya sebelum dan sesudah,” kata Inayah sembari tertawa.

Sebelum pindah ke rumah itu, keluarga Gus Dur beberapa kali pindah rumah kontrakan. “Dari dulu, kami ngontrak. Ketika masih Ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Bapak paling nulis sebagai sampingan. Sebelumnya juga cuma guru. Bapak kalau mau berangkat kerja juga sambil naruh dagangan kacang bawang dan es mambo. Momen masa kecil saya yang saya ingat adalah tiap malam membantu mbungkusin kacang pakai lilin,” tambah Inayah.

Inayah menjadi satu-satunya putri Gus Dur yang lahir di Jakarta, sedangkan ketiga kakaknya masih sempat tinggal di Jawa Timur sebelum pindah ke Jakarta. Momentum perpindahan ke Jakarta adalah ketika Gus Dur menjabat di PBNU. Sebagai putra tertua dari KH Wahid Hasyim, Gus Dur juga pernah mengelola Pondok Pesantren Ciganjur yang terletak tak jauh dari Rumah Ciganjur di bawah naungan Yayasan Wahid Hasyim.

Rumah Ciganjur juga memegang peran besar pada era Reformasi ketika digelar Dialog Ciganjur pada 1998. Pada masa kerusuhan, rumah ini sekaligus menjadi salah satu rumah pelarian para mahasiswa serta beberapa kelompok masyarakat yang terancam.

“Gus Dur selalu bilang ini rumah semua orang,” kata Inayah. Di rumah setiap orang itulah kenangan Gus Dur masih terasa dan membuat orang rindu kehadiran tokoh pluralisme seperti dirinya.****

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template