Kehidupan
Spiritual
Mawar Kusuma
Harian Kompas Cetak | Minggu, 30 Agustus 2015
Bagi umat Hindu Bali,
air merupakan sumber kehidupan yang wajib dipelihara. Begitu pula Danau Batur
dan Gunung Batur yang dipercaya sebagai istana Dewi Danu, dewi pelindung
pertanian. Tak heran, Danau Batur dipagari banyak pura dengan dupa
persembahyangan yang tak henti untuk kemakmuran Bali.
KOMPAS/RIZA FATHONIPura Jati yang menjorok ke Danau Batur di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, menjadi salah satu tujuan wisata turis asing di Desa Batur.
”I rika Sang
Gnijaya mawarah-warah ring wong Bali kabeh: mangke angenemu mretha. Aywa sira
lupa, nunas mretha ring hulundanu, apan manira ngamrethanin wong Bali kabeh,
tan paran mapinunas mretha ring parahyangan ira ring hulundanu ngawe gemuh
ikangrat... (Di sini, Sang Gnijaya bersabda kepada rakyat Bali: sekarang
kalian mendapatkan air sumber kehidupan. Jangan lupa mohon amertha di
Hulundanu, sebab akulah yang menghidupi masyarakat Bali semua. Barang siapa
memohon amertha kepadaku niscaya akan memperoleh kemakmuran...).”
Kutipan kalimat dari
prasasti tua itu dipajang di papan besar di bagian muka Pura Hulundanu Batur di
tepi Danau Batur di Desa Pakraman Songan, Bangli. Pura Hulundanu Batur merupakan
stana (kediaman) Dewi Danu yang dibangun tahun 380 Saka atau 458 Masehi
oleh adiknya, Sang Hyang Gnijaya, yang beristana di Gunung Lempuyang dan Sang
Hyang Putrajaya yang bermukim di Besakih, Gunung Agung.
Mereka bertiga adalah
putra Sang Hyang Pasupati yang diberi gelar Sang Hyang Tri Purusha. Bathara
Pasupati, yang tinggal di Gunung Semeru, memerintahkan anaknya itu untuk
menjaga kemakmuran Bali. Selain di Pura Hulundanu Batur, pemujaan bagi Dewi
Danu juga dilaksanakan di Pura Ulun Danu Batur yang terletak di tepi Jalan Raya
Kintamani.
Oleh karena kesaktian
Dewi Danu, umat Hindu Bali hingga kini tetap setia mengaturkan sesaji ke Gunung
Batur agar terhindar dari bencana terkait pertanian. Gunung Batur dalam Lontar
Sesana Bali dipercaya sebagai puncak Gunung Mahameru yang dipindahkan untuk
menjadi stana Dewi Danu. Danau Batur juga dipercaya sebagai
pengejawantahan Dewi Danu.
Meski tiada perayaan
upacara besar, seperti piodalan yang digelar tiap Purnama Kapat setiap tahun
atau karya Manca Walikrama setiap 10 tahun, Pura Hulundanu tak pernah sepi dari
umat yang bersembahyang. Pura ini pusat Pura Subak (tempat suci yang melindungi
pertanian).
Umat melakukan
pemujaan seperti mendak tirta atau mengambil air suci dengan sujang dari batang
bambu yang dihias. Air suci menjadi sarana penting untuk melaksanakan ritual
lanjutan di wilayah subak atau irigasi pertanian masing-masing.
Jumat (14/8),
beberapa pasang suami-istri tampak berdoa untuk amertha atau kehidupan.
Mereka lebih dulu melukat atau membersihkan diri di Pura Segara
Hulundanu di tepi timur laut Danau Batur. Untuk menjaga kesucian tirta di Pura
Segara Hulundanu, warga sekitar dilarang mandi hingga batas 100 meter dari
gerbang pura. Setelah penyucian diri, barulah mereka berdoa di Pura Hulundanu
Batur dengan dipimpin Jero Mangku Gede Hulun Danu Batur (51).
Harmonisasi alam
Seusai memimpin
persembahyangan, Jero Mangku melepas alas kaki dan naik ke pelataran pura
bagian atas. Di pelataran itu terdapat palinggih (tempat suci) Padma
Tiga yang berusia sama dengan Pura Hulundanu Batur yang terbuat dari paras
tanah liat yang merupakan stana Sang Hyang Tri Purusa. Tepat di samping
Padma Tiga, berdiri meru tumpang sebelas dengan arca pewayangan Dewi Danu yang
memegang kendi air suci dan merupakan lambang kesuburan.
Dewi Danu membawa
cakra pula, yang identik dengan Dewa Wisnu. Pura Hulundanu memang didedikasikan
untuk Dewa Wisnu, manifestasi Tuhan sebagai sumber kemakmuran. Ia lambang
kesuburan. Kosong, tetapi berisi penuh. Tidak ada pangkal, tidak ada ujung,
tidak ada batas. Itulah Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Pusat amertha.
Jika berhubungan dengan amertha, seharusnya bersembahyang ke Hulundanu.
Berita
Terkait
Isyarat Air Danau BaturCetak | 30 Agustus 2015
Keselarasan dengan
alam juga tampak dari kehidupan spiritual warga ketika menggelar upacara piodalan.
Terletak di bukit di tepi Danau Batur, piodalan di Pura Dalem Buahan,
Senin (17/8), juga memakai tirta penyucian serta tirta berkah dari Danau Batur
untuk proses penyucian diri.
Isi sesaji banten
atau persembahan bagi leluhur tak lepas dari keintiman dengan Danau Batur,
yaitu masakan olahan ikan. Menurut Kepala Desa Buahan Wayan Suardi, ikan bagi
leluhur lebih baik jika berupa ikan lokal Danau Batur, seperti ikan deleg
(gabus) atau ikan tawes. Persembahan daging ayam dilarang.
Di antara tumpukan
banten rarapan, yang antara lain berisi pakaian, rokok, pasta gigi, dan
minuman kemasan, Ketut Wana (40) menaruh masakan dua ikan Danau Batur yang
diolah dengan bumbu kelapa di bagian paling atas dari persembahan. ”Ikan ini
untuk leluhur. Perlakuannya sama seperti saat mereka belum meninggal,” ujarnya.
Sejak siang hari
sebelum piodalan dimulai, para pria sibuk memikul banten teganan yang
ditujukan bagi Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. Para
perempuan juga mengusung banten rarapan dan ajengan di atas
kepala. Setiap warga yang datang ke pura mendaftarkan diri untuk cacah jiwa
dengan membayarkan uang kepeng sejumlah anggota keluarga.
Piodalan diawali
dengan penyucian semua arca yang menjadi simbol Hyang Widhi. Suara kerumunan
warga yang saling bicara segera terhenti ketika genta berbunyi dan upacara
sembahyang yang diikuti lebih dari 1.800 warga Desa Buahan ini dimulai dengan
upacara bakti pepawonan. Persembahan bagi Dewa Siwa berupa bebek pun
diaturkan dengan dipimpin 16 pedulun desa.
Gunung-danau
Setelah upacara
piodalan, warga memasuki upacara nyepi desa. Selama 32 hari, tak ada prosesi
seperti pernikahan atau pembunuhan binatang yang boleh digelar. Dulu, wilayah
desa selama proses nyepi tak boleh dimasuki orang luar. ”Dulu, kalau orang
lewat sini, kena denda. Kalau sekarang harus elastis dengan keadaan. Sudah
jalan umum,” kata Nyoman Tara, Penengen (Bendahara) Desa Adat Buahan.
Lewat
persembahyangan, Penyarikan (Juru Tulis) Desa Buahan I Wayan Pukel menyatakan,
warga juga berterima kasih kepada Dewi Danu. Warga Desa Buahan juga mengambil
air suci untuk subak dari Pura Ulun Danu di Kintamani yang diampu oleh 45 subak
di Bali.
Dari sisi spiritual,
jelas budayawan Bali, Prof Dr I Made Bandem, terdapat konsep dikotomi dualistik
antara gunung dan laut. Gunung selalu dianggap berada di posisi utara,
sebaliknya laut atau danau berada di selatan. ”Gunung adalah simbol suci.
Sakral. Gunung dianggap hulu atau kepala. Tempat dewa turun ke dunia ini.
Tempat tertinggi adalah gunung,” tutur Bandem.
Walaupun gunung dan
laut memiliki kekuatan suci yang sama, laut dianggap sebagai tempat sekuler
dalam konsep keseimbangan. Apalagi, air pun sejatinya juga berasal dari gunung
yang keluar sebagai mata air dan mengalir ke danau hingga samudra. ”Air bagi
masyarakat tidak lepas dari kehidupan beragama. Api dan air menjadi sumber
energi spritual,” ujarnya.
Dalam tatanan
kosmologi Bali, laut—dalam hal ini Danau Batur—dan gunung menempati posisi
sangat penting sebagai pasangan yang saling melengkapi.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !