ATIH SITI ROPIAH
Oleh: Cornelius Helmy
ATIH Siti Ropiah (41) nekat menceburkan
diri menjadi wirausaha sosial jamban di Kecamatan Cikatomas, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Bagi dia, memperkenalkan pola hidup sehat lebih
berharga ketimbang sekadar mencari rupiah.
Kloset jongkok di kamar mandi berdinding bilik
milik Iyus Yuspendi (51), warga Pakemitan II, Desa Pakemitan, Kecamatan
Cikatomas, itu terlihat mencolok. Di antara semen berwarna abu-abu, warna putih
kloset keramik menjadi satu-satunya benda yang berkilau. Bahkan, kloset itu
lebih bening ketimbang air dari Gunung Nagrog, yang ditampung dalam bak mandi
berukuran sekitar 3 meter x 4 meter.
Bagi Iyus, kloset yang dibuat dua tahun lalu
itu lebih dari sekadar benda berkilau. Kloset telah memberikan ketenangan bagi
Iyus dan keluarganya.
Sebelum ada kloset, dia selalu khawatir
terserang penyakit. Maklum, untuk buang hajat, dia dan keluarga hanya
mengandalkan kolam ikan di belakang rumahnya. Ketika ikan-ikan mas dan nila
tidak lagi mau memakan tinja, warna air kolam pun menjadi mudah keruh dan
berbau menyengat.
”Saya tidak punya cukup uang untuk membuat
kloset. Biayanya bisa mencapai sekitar Rp 1 juta,” kata Iyus, penjaga SD
Mekarjaya, Cikatomas.
Sampai kemudian dia bertemu dengan Atih,
sanitarian Puskesmas Cikatomas. Dengan alasan ingin hidup sehat, tawaran Atih
untuk membuat kloset duduk dan septic tank sedalam sekitar 1,5 meter
langsung dia terima.
Iyus semakin tertarik ketika mengetahui bahwa
biaya pembuatan kloset duduk dan septic tank itu hanya Rp 450.000.
Bahkan, dia bisa mencicil biaya itu dalam tiga kali pembayaran.
”Memang sempat ada pertanyaan dari tetangga
saya, kenapa harus keluar uang untuk membuat kloset? Saya jawab, karena kami
ingin hidup sehat,” cerita Iyus.
Ditolak
Sejak sekitar dua tahun lalu, Atih memang
getol menawarkan warga di daerahnya agar mau aktif dalam pembuatan jamban. Akan
tetapi, bukan keuntungan besar yang dia cari. Atih memilih mengejar pola hidup
sehat masyarakat lewat jamban dan septic tank di belakang rumah. Biaya
pembuatan jamban tersebut bisa lebih murah sekitar 50 persen ketimbang membuat
sendiri. Cicilan untuk pembuatan jamban itu pun bisa fleksibel, disesuaikan
dengan kemampuan konsumen. Semua itu masih setia dipegangnya.
Atih, sanitarian teladan Kabupaten Tasikmalaya
2008 ini, semakin mantap menjadi wirausaha jamban setelah mendapatkan pelatihan
Program Air Bersih dan Sanitasi tahun 2012. ”Meski sebenarnya jauh lebih besar
penghasilan menjual bunga plastik yang saya tekuni,” ujar Atih enteng saja.
Akan tetapi, ”pintu pertama” yang dibuka Iyus
ternyata tak lantas membuat usaha Atih menjadi lebih mudah. Beragam penolakan
dari warga, dia terima dengan lapang dada. ”WC mah tos garaduh, pan seeur
balong...,” kata Atih menirukan ucapan seorang ibu dalam bahasa Sunda. Dalam
bahasa Indonesia, celetukan itu lebih kurang artinya, ”Kalau WC sih sudah pada
punya, kan banyak kolam ikan....”
”Dipangyieunkeun gratis wae moal dipake,” ujar
ibu lainnya menegaskan. Artinya, kalaupun jamban itu dibuatkan secara gratis,
mereka tidak akan menggunakannya. Bahkan, salah seorang pamong desa juga tidak
menanggapi tawaran Atih dengan antusias. Dia ragu dengan alasan, benarkah
kloset adalah kebutuhan dasar masyarakat.
”Moal jadi matak,” kata salah seorang pamong
desa, yang menyiratkan usaha Atih tersebut akan berakhir sia-sia. Meski sempat
membuat kesal, kata-kata itu justru dijadikan Atih sebagai penyemangat. Dia
paham, tidak mudah menawarkan hal baru kepada masyarakat ketika kebiasaan buruk
sudah berlangsung sejak lama. Kebiasaan warga membuang hajat tanpa jamban
dipengaruhi banyak hal. Mulai dari sulitnya warga mendapatkan air bersih,
keinginan sekaligus memberi makan ikan, hingga keterbatasan biaya menjadi
kendala.
”Air sangat berharga dan sulit didapat warga
di Cikatomas. Warga harus berbagi air untuk keperluan makan-minum hingga
mengairi kolam ikan yang menjadi sumber mata pencarian utama,” kata Atih.
Beragam pendekatan pun dia lakukan. Misalnya,
Atih mendatangi lokasi pengajian di mana banyak ibu berkumpul. Promosi hidup
sehat lewat jamban juga dia lakukan dari rumah ke rumah dan kepada anggota
masyarakat yang berobat ke Puskesmas Cikatomas.
Fakta membuat jamban tidak harus selalu mahal
juga dia jadikan pemikat. Harga pembuatan jamban yang lebih murah dengan
cicilan ringan perlahan-lahan membuat masyarakat tertarik.
”Toko material kami ajak bekerja sama agar
biayanya menjadi lebih ringan. Saya bisa membeli semen hanya seperempat hingga
setengah zak sesuai kebutuhan. Pembayarannya juga bisa dicicil,” kata dia.
Ingin sehat
Usaha Atih tidak sia-sia. Kini, 28 rumah
tangga yang dihuni tiga-empat orang mau membuat jamban menggunakan jasanya.
Atih mengakui, jumlah itu masih jauh dari ideal. Namun, dia cukup bahagia
karena keinginan warga Cikatomas untuk hidup sehat mulai muncul. Perlahan-lahan
warga sadar bahwa membuang tinja di kolam, sawah, atau kebun bukan pilihan
bijaksana.
”Saat ini baru ada saya dan seorang teman di
kecamatan lain yang fokus menjalankan usaha sosial ini di Tasikmalaya. Namun, rekan
saya bilang, dia masih kesulitan memperkenalkan jamban kepada masyarakat. Harus
diakui ini bukan pekerjaan mudah, tetapi kemauan warga memberi saya semangat,”
ujar Atih.
Salah satunya kemauan Enung Karwati (40),
warga Pakemitan II lainnya, yang menjadi inspirasi. Meski rumah panggung Enung
hanya berdinding bilik bolong, dia mau menyisihkan penghasilannya sebesar Rp
20.000-Rp 30.000 per hari sebagai perajin bordir untuk membuat jamban.
”Saya bosan setiap kali mau buang air besar
harus ke sawah sekitar 500 meter dari rumah. Buang hajat di sungai juga mudah
membuat air kotor,” kata Enung yang ditinggal suaminya tanpa kabar untuk
merantau menambang emas di Maluku.
Bukan pekerjaan mudah pula bagi Enung untuk
mengumpulkan uang menebus biaya pembuatan jamban Rp 450.000. Ia perlu sekitar
lima bulan sebelum kloset leher angsa dan septic tank resmi menjadi
miliknya.
Kini, saat banyak rumah berdinding bata dan
warga punya penghasilan lebih besar, tetapi belum memiliki jamban, Enung bisa
berbangga diri. Dia jauh lebih cerdas saat paham arti hidup sehat.
”Dari penyuluhan yang diberikan Bu Atih, saya
paham jamban bisa mencegah kemungkinan banyak penyakit yang justru bisa
menghabiskan uang lebih banyak,” ujar Enung.
—————————————————————————
Atih Siti Ropiah
♦ Lahir: Kuningan, Jawa Barat, 24 Januari 1973
♦ Pendidikan:
- SD Sijati Cirebon, Jawa Barat, lulus 1985
- SMP 3 Cirebon, lulus 1988
- SMA 2 Cirebon, lulus 1991
- D-1 Sekolah Pembantu Penilik Hygiene, Cirebon, 1993
- D-3 Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Bandung,
2006
- S-1 Jurusan Kesehatan Masyarakat, Universitas Siliwangi,
Tasikmalaya, 2011
♦ Penghargaan:
- Sanitarian Teladan Kabupaten Tasikmalaya, 2008
- Sanitarian Teladan
Kedua Jawa Barat, 2008
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !