KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Masjid di tengah Desa
Pegayaman.
ILHAM KHOIRI
Setiap malam Ramadhan, Desa Pegayaman,
Sukasada, Buleleng, Bali, bak pesantren yang meriah dengan kegiatan orang
beribadah. Sejak sore, malam, hingga dini hari, umat Muslim di situ tak
putus-putusnya mengerjakan ritual terkait puasa. Semuanya berlangsung bebas di
tengah lingkungan umat Hindu.
Keramaian itu sudah mulai sejak sore hari.
Seperti Sabtu (28/8) lalu, selepas shalat ashar, sekitar pukul 16.00 wita,
puluhan warga berdatangan di jalan menanjak di Banjar Dangin Margi. Seperti
para santri, sebagian orang mengenakan sarung dan kopiah.
Mereka bahu-membahu membeton jalan. Sambil
menggulung sarung hingga lutut, mereka menggotong pasir dan batu, mengaduknya
dengan semen, lantas menuangkannya pada cetakan kayu. Saat azan maghrib
berkumandang, pekerjaan dihentikan.
”Hari biasa, kami bergotong royong pagi hari.
Saat puasa begini, kami pilih sore saja. Jadi, setelah capek, bisa langsung
berbuka,” kata Ketut Agus Asyghor Ali (49), Kepala Desa Pegayaman.
Memang, warga kemudian bergegas pulang dan berbuka di rumah masing-masing. Jika pas khataman tadarus Al Quran, mereka akan berbuka bersama di Masjid Jami’ Safinatussalam, masjid terbesar di desa itu. Ada juga belasan mushala yang tersebar di beberapa banjar.
Sekitar pukul 20.00, ibu-ibu berkumpul di
mushala terdekat untuk berjamaah shalat tarawih. Tarawihnya 23 rakaat,
sebagaimana umumnya kaum Ahlussunnah. Baru sekitar pukul 22.00, giliran
laki-laki yang bergegas untuk tarawih di Masjid Jami’.
Pergantian waktu tarawih seperti ini sangat
khas Pegayaman. ”Zaman dulu, jemaah tarawih laki-laki diakhirkan karena
menunggu orang-orang yang rumahnya jauh. Juga untuk memastikan selalu ada orang
yang berjaga di rumah. Sekarang, tradisi ini kami teruskan,” kata H Nyoman
Muhammad Soleh (59), warga yang tinggal di depan Masjid Jami’.
Seusai tarawih, dilanjutkan dengan tadarus,
yaitu membaca ayat-ayat Al Quran. Setiap malam, jemaah mendaras tiga juz.
Harapannya, sepanjang puasa 30 hari, mereka bisa tiga kali khatam (baca 30 juz
penuh).
Sekitar pukul 01.00 sampai 02.00, giliran para
pemuda ambil bagian. Mereka memukul beduk dengan nada-nada khas. Istilahnya,
ngubah. Ini semacam tanda perayaan menyambut puasa.
”Kami pukul beduk sampai waktu sahur tiba,
sekitar pukul 03.00. Kami makan sahur, menunggu imsak, baru kemudian shalat
subuh bersama,” kata Ketut Sohibul Ulum (19), pemuda Pegayaman.
Dari maghrib hingga subuh, kegiatan ibadah di
Masjid Jami’ tak pernah berhenti. Azan maghrib, azan isya, tarawih, tadarus,
beduk, tarhim, azan subuh, hingga shalat subuh, semuanya dilakukan secara bersama
dan berurutan.
”Kalau puasa di sini, malam hari ramai seperti
siang. Sebaliknya, siang hari sepi karena banyak yang beristirahat,” papar
Nengah Salmiah (49), warga Pegayaman.
Kemeriahan ibadah selama puasa itu berlangsung
normal saja, sebagaimana banyak ditemui di wilayah Jawa. Ayat Al Quran, bacaan
shalat, shalawat, dan pujian kepada Tuhan mengalun keras lewat pengeras suara
yang dipasang di menara masjid.
Setiap malam Ramadhan, suasana Pegayaman mirip
pesantren saja. Kemeriahan itu bahkan seperti bisa mengusir dingin udara di
perkampungan setinggi 400-700 meter di atas permukaan air laut itu.
Bebas
Bagaimana umat Islam di Pegayaman bisa bebas
beribadah, bahkan disiarkan lewat pengeras suara di tengah lingkungan umat
Hindu?
”Umat Hindu menghormati umat Islam yang
berpuasa. Umat Islam juga tidak mengganggu ibadah kami. Jadi, semuanya bebas
menjalankan ibadah masing-masing,” kata Komang Suryani (16), gadis dari Desa
Gitgit, tetangga Pegayaman.
Kesadaran ini bukan sekadar mengulang pesan
orangtuanya. Komang memperolehnya sejak bersekolah dan berteman dengan gadis
dari Pegayaman.
Suara azan bahkan dimanfaatkan umat Hindu
sebagai penanda bangun pagi. Masyarakat Bali biasa bangun subuh untuk memasak
nasi, pergi bekerja, atau bersiap ke pura. ”Kalau azannya telat, kadang ada
orang Hindu yang protes. Soalnya, mereka juga bisa terpengaruh telat bangun,”
kata Wayan Muhammad Urwatul Wusqo (70), Ketua Pengurus Masjid Safinatussalam di
Pegayaman.
Sebaliknya, ketika hari raya Nyepi, pengeras
suara di masjid juga dipelankan atau dimatikan. Mereka azan dengan suara dari
mulut saja. Sebagian lampu listrik di rumah-rumah juga dimatikan. ”Bukan karena
takut, tetapi kami menghargai saudara Hindu yang sedang beribadah,” tambah
Wayan.
Adaptasi
Selama puasa dan Lebaran, kita bisa menemukan
proses adaptasi budaya lokal yang unik. Mereka mengenal tradisi membuat tape
(penapean) tiga hari sebelum Lebaran (H-3), membuat jaja uli (penyajian) pada
H-2, dan memotong hewan (penampahan) pada H-1. Ada juga sebutan Manis Lebaran,
yaitu sehari setelah 1 Syawal, yang dimanfaatkan untuk bersantai atau
jalan-jalan.
Sistem penyambutan dan istilah-istilah itu
serupa dengan perayaan masyarakat Bali menjelang dan sesudah hari raya
Galungan. ”Asalkan tidak bertentangan dengan Al Quran dan hadis, tradisi itu
kami jaga sebagai kekayaan budaya,” tambah H Nengah Jamiul Kawamil (43), warga
Banjar Dangin Margi.
Saat Lebaran, umat Hindu dan Muslim kerap
bertukar makanan. Tentu saja, karena Islam melarang umatnya makan babi, yang
ditukar biasanya hanya buah-buahan atau roti. Tradisi ini disebut ngejot.
Inilah kearifan masyarakat Muslim di pedalaman
Bali yang berhasil membangun toleransi dan kerukunan antarumat beragama dengan
begitu kukuh. Mereka bisa memisahkan dan meletakkan ibadah, akidah, dan
kebudayaan pada proporsi masing-masing. Ibadah dan akidah dikerjakan sesuai
syariat Islam. Ketika masuk ke wilayah budaya, mereka bisa bersikap lebih luwes
dengan menyerap tradisi lokal.
Suasana puasa di Pegayaman memendarkan
perdamaian yang tak sekadar basa-basi alias di permukaan saja. Perdamaian itu
telah berurat kuat di tengah masyarakat selama ratusan tahun, jauh sebelum
wacana toleransi beragama dihebohkan para elite di negeri ini. Alangkah
indahnya.(“KOMPAS” Minggu, 5 September 2010 | 03:24 WIB)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !