Pegayaman Suatu Malam, Oh Indahnya - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Pegayaman Suatu Malam, Oh Indahnya

Pegayaman Suatu Malam, Oh Indahnya

Written By GDE NOGATA on Kamis, 25 Juni 2015 | 00.45


KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Masjid di tengah Desa Pegayaman.
ILHAM KHOIRI
Setiap malam Ramadhan, Desa Pegayaman, Sukasada, Buleleng, Bali, bak pesantren yang meriah dengan kegiatan orang beribadah. Sejak sore, malam, hingga dini hari, umat Muslim di situ tak putus-putusnya mengerjakan ritual terkait puasa. Semuanya berlangsung bebas di tengah lingkungan umat Hindu.
Keramaian itu sudah mulai sejak sore hari. Seperti Sabtu (28/8) lalu, selepas shalat ashar, sekitar pukul 16.00 wita, puluhan warga berdatangan di jalan menanjak di Banjar Dangin Margi. Seperti para santri, sebagian orang mengenakan sarung dan kopiah.
Mereka bahu-membahu membeton jalan. Sambil menggulung sarung hingga lutut, mereka menggotong pasir dan batu, mengaduknya dengan semen, lantas menuangkannya pada cetakan kayu. Saat azan maghrib berkumandang, pekerjaan dihentikan.
”Hari biasa, kami bergotong royong pagi hari. Saat puasa begini, kami pilih sore saja. Jadi, setelah capek, bisa langsung berbuka,” kata Ketut Agus Asyghor Ali (49), Kepala Desa Pegayaman.

Memang, warga kemudian bergegas pulang dan berbuka di rumah masing-masing. Jika pas khataman tadarus Al Quran, mereka akan berbuka bersama di Masjid Jami’ Safinatussalam, masjid terbesar di desa itu. Ada juga belasan mushala yang tersebar di beberapa banjar.
Sekitar pukul 20.00, ibu-ibu berkumpul di mushala terdekat untuk berjamaah shalat tarawih. Tarawihnya 23 rakaat, sebagaimana umumnya kaum Ahlussunnah. Baru sekitar pukul 22.00, giliran laki-laki yang bergegas untuk tarawih di Masjid Jami’.
Pergantian waktu tarawih seperti ini sangat khas Pegayaman. ”Zaman dulu, jemaah tarawih laki-laki diakhirkan karena menunggu orang-orang yang rumahnya jauh. Juga untuk memastikan selalu ada orang yang berjaga di rumah. Sekarang, tradisi ini kami teruskan,” kata H Nyoman Muhammad Soleh (59), warga yang tinggal di depan Masjid Jami’.
Seusai tarawih, dilanjutkan dengan tadarus, yaitu membaca ayat-ayat Al Quran. Setiap malam, jemaah mendaras tiga juz. Harapannya, sepanjang puasa 30 hari, mereka bisa tiga kali khatam (baca 30 juz penuh).
Sekitar pukul 01.00 sampai 02.00, giliran para pemuda ambil bagian. Mereka memukul beduk dengan nada-nada khas. Istilahnya, ngubah. Ini semacam tanda perayaan menyambut puasa.
”Kami pukul beduk sampai waktu sahur tiba, sekitar pukul 03.00. Kami makan sahur, menunggu imsak, baru kemudian shalat subuh bersama,” kata Ketut Sohibul Ulum (19), pemuda Pegayaman.
Dari maghrib hingga subuh, kegiatan ibadah di Masjid Jami’ tak pernah berhenti. Azan maghrib, azan isya, tarawih, tadarus, beduk, tarhim, azan subuh, hingga shalat subuh, semuanya dilakukan secara bersama dan berurutan.
”Kalau puasa di sini, malam hari ramai seperti siang. Sebaliknya, siang hari sepi karena banyak yang beristirahat,” papar Nengah Salmiah (49), warga Pegayaman.
Kemeriahan ibadah selama puasa itu berlangsung normal saja, sebagaimana banyak ditemui di wilayah Jawa. Ayat Al Quran, bacaan shalat, shalawat, dan pujian kepada Tuhan mengalun keras lewat pengeras suara yang dipasang di menara masjid.
Setiap malam Ramadhan, suasana Pegayaman mirip pesantren saja. Kemeriahan itu bahkan seperti bisa mengusir dingin udara di perkampungan setinggi 400-700 meter di atas permukaan air laut itu.
Bebas
Bagaimana umat Islam di Pegayaman bisa bebas beribadah, bahkan disiarkan lewat pengeras suara di tengah lingkungan umat Hindu?
”Umat Hindu menghormati umat Islam yang berpuasa. Umat Islam juga tidak mengganggu ibadah kami. Jadi, semuanya bebas menjalankan ibadah masing-masing,” kata Komang Suryani (16), gadis dari Desa Gitgit, tetangga Pegayaman.
Kesadaran ini bukan sekadar mengulang pesan orangtuanya. Komang memperolehnya sejak bersekolah dan berteman dengan gadis dari Pegayaman.
Suara azan bahkan dimanfaatkan umat Hindu sebagai penanda bangun pagi. Masyarakat Bali biasa bangun subuh untuk memasak nasi, pergi bekerja, atau bersiap ke pura. ”Kalau azannya telat, kadang ada orang Hindu yang protes. Soalnya, mereka juga bisa terpengaruh telat bangun,” kata Wayan Muhammad Urwatul Wusqo (70), Ketua Pengurus Masjid Safinatussalam di Pegayaman.
Sebaliknya, ketika hari raya Nyepi, pengeras suara di masjid juga dipelankan atau dimatikan. Mereka azan dengan suara dari mulut saja. Sebagian lampu listrik di rumah-rumah juga dimatikan. ”Bukan karena takut, tetapi kami menghargai saudara Hindu yang sedang beribadah,” tambah Wayan.
Adaptasi
Selama puasa dan Lebaran, kita bisa menemukan proses adaptasi budaya lokal yang unik. Mereka mengenal tradisi membuat tape (penapean) tiga hari sebelum Lebaran (H-3), membuat jaja uli (penyajian) pada H-2, dan memotong hewan (penampahan) pada H-1. Ada juga sebutan Manis Lebaran, yaitu sehari setelah 1 Syawal, yang dimanfaatkan untuk bersantai atau jalan-jalan.
Sistem penyambutan dan istilah-istilah itu serupa dengan perayaan masyarakat Bali menjelang dan sesudah hari raya Galungan. ”Asalkan tidak bertentangan dengan Al Quran dan hadis, tradisi itu kami jaga sebagai kekayaan budaya,” tambah H Nengah Jamiul Kawamil (43), warga Banjar Dangin Margi.
Saat Lebaran, umat Hindu dan Muslim kerap bertukar makanan. Tentu saja, karena Islam melarang umatnya makan babi, yang ditukar biasanya hanya buah-buahan atau roti. Tradisi ini disebut ngejot.
Inilah kearifan masyarakat Muslim di pedalaman Bali yang berhasil membangun toleransi dan kerukunan antarumat beragama dengan begitu kukuh. Mereka bisa memisahkan dan meletakkan ibadah, akidah, dan kebudayaan pada proporsi masing-masing. Ibadah dan akidah dikerjakan sesuai syariat Islam. Ketika masuk ke wilayah budaya, mereka bisa bersikap lebih luwes dengan menyerap tradisi lokal.
Suasana puasa di Pegayaman memendarkan perdamaian yang tak sekadar basa-basi alias di permukaan saja. Perdamaian itu telah berurat kuat di tengah masyarakat selama ratusan tahun, jauh sebelum wacana toleransi beragama dihebohkan para elite di negeri ini. Alangkah indahnya.(KOMPAS” Minggu, 5 September 2010 | 03:24 WIB)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template