Pandangan Penulis - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Pandangan Penulis

Pandangan Penulis

Written By GDE NOGATA on Minggu, 20 Mei 2018 | 23.52

Bagaimana Jika Parisada Memiliki Bisnis Untuk Menjalankan Program-Programnya



                                                                Oleh Agus S. Mantik

Ketika (alm) IB Sujana menjadi Menteri Energi, dia pernah didatangi oleh rombongan Pengurus Harian Parisada Pusat pada waktu itu yang minta saran dan bantuannya agar PHDI memiliki business yang memadai untuk menjalankan program programnya. Dengan santai Sujana memberi gagasan mengapa tidak membuat dupa saja ! Dengan berbuat demikian dia sesungguhnya menganjurkan suatu usaha yang captive didalam pengertian bahwasanya pasarnya memang sudah ada disana (estabelished market) dan sesungguhnya ini merupakan suatu perkembangan yang alamiah ; PHDI, umat Hindu dan dupa tentu saja semuanya terhubung dengan sendirinya (fit in). Para Pengurus ini sedikit tersinggung karena yang mereka bayangkan tentu saja suatu business yang besar, keren dan akan memberikan sumbangan yang cukup berarti kedalam kas Parisada. Bayangan mereka tentu saja setaraf dengan PT Mindo dan yang sejenisnya, yang menerima jatah minyak mentah (crude oil) sekian ribu barrel per-hari sehingga menjadikan keluarga Bambang Tri atau Ichal Bakri kaya raya seketika.

Mereka lupa bahwa IB Sujana tidak berhutang apa apa kepada PHDI dan sampainya dia didalam kedudukannya sebagai Menteri tidak ada hubungannya dengan Parisada. Didalam benak para Pengurus Harian ini tentu saja usaha dupa adalah usaha kacangan (small fry, chicken feed) yang tidak ada manfaatnya untuk dicoba atau mereka malu untuk memulainya. Mereka lupa bahwa salah satu prinsip ekonomi yang paling hakiki adalah bahwasanya usaha apapun yang dikelola dengan baik akan berpotensi menjadi usaha raksasa. Mereka mungkin belum pernah mendengar kisah mengenai Oui Tiong Ham di Semarang yang berdagang gambir sehingga menjadikannya orang yang paling kaya di Hindia Belanda dan salah seorang yang paling kaya di Asia (sebelum Perang Dunia II) ; seluruh gang dimana dia pernah tinggal diberi nama Gang Gambir karena seluruh lahan sepanjang gang sudah menjadi gudang gambir miliknya.Pertanyaan mengenai apakah sebuah majelis agama perlu ber-business untuk menyambung kelangsungan hidupnya dan baru sesudah itu berfikir mengenai program program apa saja yang bisa dilaksanakannya sudah menghantui para pengelolanya sepanjang waktu.

Hal ini juga menjadi bulan bulanan pemikiran dan usaha yang tiada habis habisnya di PHDI.
Sejak berdirinya dan didalam jaman yang lebih sederhana serta lebih mudah para pengelola majelis ini lupa bahwa organisasi yang bisa berdiri sendiri pertama-tama harus hidup dari iuran para anggotanya. Hal seperti ini sebenarnya sudah difirmankan didalam susastera seperti didalam Chandogya Upanisad dimana dikatakan bahwa yang mengerti adalah yang memerintah dirinya sendiri (swa-raj) ; yang tiada mengerti adalah jamak dan diperintah oleh orang lain (anya-raj). Svaraj atau svadyaya adalah azas pokok dan ini memaknai bahwa organisasi agama apapun namanya haruslah dihidupi oleh keseluruhan umat melalui pungutan iuran mereka. Bagaimana caranya, hal itu semuanya tergantung dari keadaan setempat.

Di dalam jumlah kecil organisasi agama mungkin bisa langsung menghubungi masing masing anggota mereka akan tetapi didalam ukuran yang sudah sangat besar tentu saja ada jalan jalan yang berbeda. Misalnya saja di Jerman ; pemerintah disana memastikan bahwa setiap penduduk menyumbangkan 10% dari pendapatan bersih mereka kepada gereja dan walaupun peraturan ini sifatnya sukarela, pemerintah menambahkan bahwa potongan sumbangan itu akan tetap dikenakan sampai orang yang bersangkutan sudah mengumumkan bahwa dia memang sudah melepaskan keyakinan agamanya ! Jadi sebelum itu potongan itu tetap dilaksanakan ! Jadi bisa dibayangkan mengapa gereja sebagai institusi demikian kayanya.

Hal ini bukan disebabkan karena banyak pastur buka usaha, nyatut atau KKN. Saya tahu sendiri pastur tidak pernah bawa uang lebih ; beberapa romo yang saya kenal baik, membawa bekal hanya cukup untuk biaya kendaraan umum saja padahal mereka pergi kesana kemari didalam berbagai kegiatan sosial/masyarakat.Kemudian uang menarik uang (money attracts money) ; ketika orang melihat bahwa apa yang dikerjakan oleh sebuah institusi agama berjalan dengan baik maka sumbangan (dharma dana) akan masuk dan hal ini berlaku didalam semua institusi agama/rohani/spiritual.

Saya ingat ceritera tentang hari hari permulaan dari Brahma Kumari (BK) di India. Sejak hari pertama ketika ordo ini lahir di Pakistan sekarang sampai ketika mereka pindah ke Maduban, sebuah wadi (oasis) ditengah gurun Rajastan, keseluruhan pembiayaan dilakukan oleh Baba (sebutan pendiri) yang sebelumnya adalah pedagang berlian. Hari perhari segala persediaan menipis sampai suatu saat Baba meminta agar para ‘putri-putri’-nya (kumari artinya anak perempuan/daughter) pulang kerumah masing masing. Tiada seorangpun yang pergi sebab mereka demikian tebal keimanan mereka kepada guru mereka yang sering mengatakan bahwa suatu saat gerakan yang mulia ini pastilah akan maju. Ketika hari tanpa masak tanpa makan itu tiba mereka tetap menjalankan kegiatan rutine mereka dan kejabaiban itu memang datang : siang itu telah datang kiriman dharma-dana melalui pos dan sejak itu BK tidak pernah lagi menengok kebelakang.Bagaimana dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia? Latar belakang pembentukan Parisada agak berlainan. Didalam gerak langkah kesadaran beragama sejak kurang lebih 80 tahun silam, cikal bakal Parisada dimulai bukan oleh gerakan pemuka agama, pemangku atau pedanda melainkan oleh orang orang biasa (walaka) yang memiliki kepedulian akan perkembangan keimanan Hindu.

Dan ketika majelis ini berdiri pada tahun 1959 dan didalam geraknya sesudah itu berbagai usaha business telah dilaksanakan karena kepedulian bahwa Parisada harus memiliki dana untuk menjalankan program programnya. Ternyata hampir seluruhnya tidak berhasil dan hal yang menyakitkan lagi adalah hampir semua usaha yang dijalankan kepemilikannya kemudian menjadi bermasalah. Keadaan seperti ini juga sebenarnya bukan contoh yang tidak memiliki preseden sebab tidak sedikit juga usaha business jaman perjuangan kemerdekaan pada akhirnya jatuh ketangan para pengelolanya. Orang Indonesia demikian juga orang Bali memiliki ingatan yang tidak begitu jauh ; mereka dengan cepat melupakan segala sesuatunya.Apakah tiada berhasilnya usaha ini karena tiadanya kompetensi? Tentu saja tidak. Didalam berbagai tulisan, saya sering mengatakan bahwa dua hal yang baik kalau dicampur belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Organisasi yang bersifat rohani dan dagang keduanya tentu sangat baik akan tetapi kalau keduanya dicampur maka hasilnya pastilah tidak baik. Lebih lebih lagi didalam Parisada. Tiada sedikit para (mantan) pejabat BUMN dan birokrat bergabung ddalamnya dan semuanya memiliki kepedulian yang besar akan keberhasilan PHDI.

Mereka ngayah, mengisi waktu mereka dengan berbagai kerja dan derma (ista-purta) akan tetaspi mereka bukanlah penyembah (bhakta) didalam pengertian bahwa mereka menyerahkan keseluruhan waktu mereka untuk bekerja demi Tuhan. Mereka bekerja seadanya dan ketika suatu usaha mulai berhasil tidak sedikit diantara mereka mulai ragu dan berubah fikiran. Mereka berfikir bahwa apa yang mereka sedang kerjakan adalah jerih payah mereka sehingga mereka berfikir mereka berhak untuk (paling sedikit) ikut memilikinya. Karena sekedar ngayah, mereka bukanlah orang yang takut kepada Tuhan (God fearing people, karena Parisada tokh bukan Tuhan) ; kepongor saja mereka tidak takut dan jadilah apa yang kita alami atas berbagai assets Parisada selama ini.Ada alasan yang lebih mendasar mengapa majelis agama biasanya tidak memiliki usaha langsung. Hal itu berhubungan dengan waktu.

Usaha apapun yang dijalankan diperlukan waktu penuh dan tidak sedikit pengusaha di manapun mereka berada (termasuk di Negara kita) yang bekerja 18-20 jam setiap hari selama seminggu untuk membesarkan usaha mereka. Contoh orang orang seperti Bill Gates (Microsoft) atau Jack Welch (mantan CEO General Electric) banyak di Negara kita. Saya punya adik sepupu yang pulang setiap hari tengah malam dan keesokan harinya pagi-pagi sekali sudah kembali ngantor. Beberapa keponakan saya dan juga putra teman teman saya yang sukses jam kerja mereka luar biasa panjangnya. Bakat dan kerja keras diperlukan dan yang penting juga adalah mereka menyediakan waktu mereka untuk itu. Didalam dunia business dengan persaingan yang begitu kerasnya ketiga hal diatas semuanya diperlukan. Hal ini bisa dibandingkan dengan berbagai usaha yang selama ini di-klaim sebagai milik PHDI. Semua usaha itu sifatnya biasa biasa saja (mediocre) dan andaikata usaha itu keliahatannya memiliki nilai (valuation) yang lebih tinggi hal itu sepenuhnya disebabkan oleh karena kenaikan harga tanah atau karena inflasi. Jadi tidak ada kontribusi pengelola yang bisa dibanggakan dan semuanya ini adalah karena mereka tidak menyediakan waktu sepenuhnya untuk membesarkan usaha.

Dicanangkannya Badan Dharma Dana Nasional (BDDN) untuk mulai bekeja adalah suatu perkembangan yang positive didalam PHDI ; hal ini merupakan suatu pengakuan yang sesungguhnya sudah terlambat bahwa majelis agama seyogyanya memungut iuran langsung kepada umatnya. Akan tetapi BDDN haruslah membatasi dirinya sampai kepada pengumpulan dharma dana itu sendiri (sesuai dengan amanat mahasabha). Sebab andaikata terkumpul uang kita sering tergiur untuk membangun usaha/business. Masalah yang saya kemukakan diatas akan muncul dan yang lebih serious lagi nantinya adalah masalah pengendalian (control). Memang sering disinggung masalah kesempatan kerja yang bisa diberikan kepada umat dll.,dll., akan tetapi haruslah diingat bahwa pembukaan usaha akan sangat berbahaya. Janganlah memakai contoh perusahaan PT Bali Inc., dimana dikatakan bahwa valuation perusahan itu sudah sepuluh kali nilai (real) bukunya. Saya ingat ucapan Pak Tjager ketika masih menjadi Menteri BUMN dimana beliau mengeluh karena valuation parusahaan telekom Indonsia jauh kalah dari Hongkong atau China. Beliau menyebut perbedaan antara China Telecom dengan PT Telkom.

Jelasnya sampai saat ini (karena masa depannya yang masih bagus) valuation seperti itu adalah umum (didalam industri teleokom) sedang tolok ukurnya adalah apabila valuation itu diatas normal saja itu artinya perusahaan yang bersangkutan sudah gagal.Marilah kita berkaca kepada berbagai sampradaya di pusatnya di India. Para pembaca pastilah melihat bagaimana banyaknya orang bule bersliweran mengurus segala sesuatunya. Mereka kebanyakan pakar didalam bidang mereka dan management pengelolaan maupun keuangan sering berada ditangan mereka. Dharma-dana yang masuk mereka kelola bukan dengan mendirikan perusahaan melainkan menempatkan dana tersebut didalam surat berharga perusahaan perusahaan yang mereka harapkan akan memberikan keuntungan ; mereka sesungguhnya memilik berbagai perusahaan global secara tidak langsung. Penyembah bule ini bekerja mati matian agar sampradaya sampradaya itu tetap selamat dan berkembang (ingat sampradaya ini kebanyakan memiliki kegiatan global). (Agus S. Mantik - Pemerhati Masalah Sosial dan Keagamaan, tinggal di Jakarta).

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template