- "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » »

Written By GDE NOGATA on Selasa, 08 Mei 2018 | 01.08

UDAR RASA

Nasib Tanah Asal

Oleh : Jean Couteau

Kompas Minggu, 6 Mei 2018



Siapa bisa menduga bahwa pengembangan pariwisata kadang dibayar dengan nyawa. Siapa yang siap menerima bahwa pariwisata kadang bemuara pada destrukturasi sosial. Namun, itulah yang kerap terjadi!

Saya sebenarnya tidak terlalu kaget membaca berita peristiwa yang terjadi di Lamboya, Sumba Barat, beberapa waktu lalu, (25/04/2018), di mana seorang demonstran konon diterjang peluru polisi dan beberapa lainnya terluka. Itu terjadi pada waktu dilakukan pengukuran tanah untuk pengembangan proyek pariwisata.

Pariwisata memang sering berkembang atas dasar kesalahpahaman: investor senantiasa berkata pada masyarakat di tempat di mana dilakukan investasi: ”penduduk harus takluk pada hukum”, ”kami menciptakan kesempatan kerja”, dan ”kami adalah kunci dari pembangunan daerah”.

Ya, tetapi bagaimana jika konsep hak milik tanah tidak sesuai dengan tradisi masyarakat setempat? Bagaimana jika lapangan pekerjaan yang dibuka diduduki pendatang luar? Dan bagaimana jika ”pembangunan” yang dijanjikan bermuara pada destrukturisasi sistem sosio-politik setempat.
Lalu, bagaimana situasi sebenarnya di Sumba yang kini dilanda demam pariwisata di mana bandara dan jaringan jalan hotmix telah dan baru diselesaikan?

Empat kelompok terlihat beradu nasib di situ: kelompok pertama adalah elite tradisional. Umumnya mereka ingin mempertahankan keunggulan sosiopolitik sendiri di tengah perubahan. Untuk itu, mereka aktif dalam kegiatan politik desa/daerah serta berupaya mengunci komunikasi politik antara Sumba dan Jakarta. Namun, di sana ada masalah: biarpun kerap berbicara tentang pembangunan, tidak ada entrepreneur di antara mereka karena kultur entrepreneurship memang tidak ada. Jadi, mau tidak mau peran sosio-ekonomi utama mereka adalah sebagai makelar.

Kelompok kedua adalah masyarakat perdesaan: mereka sangat miskin bahkan sering tidak ada akses pada air. Taraf pendidikan dan pengetahuan tekniknya sangat rendah: tidak ada tradisi pertukangan. Mereka total buta terhadap mekanisme ekonomi modern.

Oleh karena itu, mereka tidak mungkin menjadi ”pemenangnya”. Kalau tidak menganggur, pekerjaan paling tinggi yang bisa mereka harapkan adalah buruh kasar atau pegawai bawahan. Hanya dua hal yang mampu mereka jual: tanah, melalui perantara makelar, serta eksotika budaya asli.
Kelompok ketiga terdiri atas kaum pemodal. Mereka akrab dengan mekanisme sirkulasi modal, di dalam dan di luar negeri. Mereka juga pintar mencium daya tarik pariwisata suatu tempat: pantai, gunung, dan ikon budaya, serta cukup lihai membeli atau mengontrak tanah terkait sebelum harga terlampau naik.

Pada awalnya, sekutu mereka adalah elite lokal yang menyediakan tanah bagi mereka. Mereka Tionghoa, bule atau Bali, dengan ciri etnoreligius terkait.

Kelompok keempat terdiri atas tenaga kerja migran. Umumnya mereka terdiri atas orang Jawa yang mempunyai keterampilan teknik dasar di dalam bidang konstruksi: tukang bangunan, montir, tukang kayu, listrik dan lain-lain. Mereka siap ditempatkan di mana pun di Nusantara dan di mana pun mampu mengalahkan pesaingnya. Mereka membawa serta budaya Jawa Islam yang khas.

Jika tidak ada tindakan korektif, agak mudah meramalkan apa yang bakal terjadi 20 tahun ke depan. Pada awalnya sirkulasi modal yang kian membesar akan menimbulkan kesan kemakmuran baru: rumah baru dibangun, sepeda motor dan mobil bertambah banyak. Namun, kemakmuran baru itu akan cepat tampak ilusif. Kuasa ekonomi dan kuasa politik akan bergeser secara berangsur dari kaum elite lokal ke kalangan pemodal ”luar”. Bersamaan dengan waktu, lapangan pekerjaan akan semakin dikuasai ”pendatangʺ, sementara penduduk lokal biasa kian dilucuti - mereka nyaris tanpa pekerjaan, akan merasa diri termarginalkan di negeri sendiri.

Situasi sebagaimana diramalkan di atas mutlak harus dihindari. Namun, jangan mimpi. Tidak mungkin menangkal masuknya pariwisata ke Sumba yang bagaimana pun juga merupakan satu-satunya jalan ke kemakmuran relatif. Namun, pemerintah hendaknya mengambil tindakan korektif yang diharapkan bakal meredam patologi sosial.

Pertama, harus menyertakan elite lokal di dalam gerak investasi pariwisata sebagai pemilik, co-pemilik, pemegang saham, dan lainnya. Aneka insentif khusus harus diciptakan untuk melahirkan entrepreneur lokal. Tujuannya agar kaum elite tidak merasa termarginalkan.

Kedua, harus mendidik ribuan anak muda di dalam teknik-teknik pertukangan. Perlu membangun politeknik yang baik dan lulusannya diberikan prioritas. Budaya mabuk dan pesta pora perlu dikurangi.

Ketiga, harus memaksa para investor mempekerjakan dan mendidik tenaga kerja lokal. Intinya jangan terulang kesalahan yang telah menimpa berbagai pulau/daerah lain di Indonesia di mana pembangunan terlalu sering tidak berarti kemakmuran, tetapi ketidakadilan, pelucutan hak atas tanah asal, serta ketegangan etnis dan religius.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template