Rumah Adalah Kita - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Rumah Adalah Kita

Rumah Adalah Kita

Written By GDE NOGATA on Senin, 21 Mei 2018 | 00.04

AKU DAN RUMAHKU

Rumah adalah Kita

Oleh : Abdullah Fikri Ashri & Nawa Tunggal

Harian Kompas – Minggu, 17 September 2017



KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Pangeran Djatikusumah (85), sesepuh Masyarakat Adat Karuhun Urang atau dikenal juga sebagai masyarakat Sunda Wiwitan beserta salah satu putrinya, Dewi Kanti Setianingsih, di ruang Srimanganti di Paseban Tri Panca Tunggal.

Tidak ada jawaban berupa kata-kata. Pangeran Djatikusumah (85) hanya menggerakkan lengan kanannya hingga jari-jemarinya menunjuk dan menyentuh dadanya. Itu jawaban Djatikusumah untuk pertanyaan tentang makna tempat tinggalnya, Paseban Tri Panca Tunggal, di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.




KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Dapur Ageung di Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Ruang untuk berdoa di depan perapian yang dinyalakan dengan bambu atau awi dalam bahasa Sunda.




KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Miniatur Singgasana Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan.
Paseban Tri Panca Tunggal itu kita. Kita yang memiliki naluri, rasa, dan pikir, kemudian lima indera untuk mencapai yang tunggal atau manunggalingkawulaGusti,” kata Djatikusumah, Senin (11/9).



KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Singgasana di Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Paseban bermakna sebagai tempat berkumpul. Naluri, rasa, dan pikir merupakan penjabaran dari makna kata “tri” atau tiga. Adapun kelima indera adalah penjabaran makna kata “panca”. Kata tunggal dijabarkan sebagai konsep manunggaling kawula dan Gusti.



KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Ruang Srimanganti di Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Jadilah, Paseban Tri Panca Tunggal bermakna sebagai diri kita. Sebagai tubuh yang dikaruniai naluri, rasa, dan pikir, dengan panca indera yang hidup menuju dan menyatu dengan keesaan Tuhan Mahakuasa.



KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Ruang Srimanganti di Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Paseban Tri Panca Tunggal dikenal pula sebagai pusat komunitas Sunda Wiwitan. Diperkirakan rumah ini dibangun pada tahun 1860 oleh Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939), perintis ajaran yang dikenal sebagai Agama Djawa Sunda atau ADS, cikal bakal ajaran Sunda Wiwitan.



KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Tampak depan Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Pangeran Djatikusumah (85), sesepuh Masyarakat Adat Karuhun Urang atau dikenal juga sebagai masyarakat Sunda Wiwitan beserta salah satu putrinya, Dewi Kanti Setianingsih, di ruang Srimanganti di Paseban Tri Panca Tunggal.

Nama paseban ini mengandung konsepsi yang dalam. Tak kalah dalam dan rumitnya ketika bagian per bagian dari rumah yang dimuliakan Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda tersebut dipaparkan Dewi Kanti Setianingsih (42). Dewi adalah satu di antara delapan anak Djatikusumah.
Djatikusumah ditemui Kompas dalam rangkaian perayaan seren taun, 9-14 September 2017. Seren taun adalah upacara adat tiap tahun untuk ungkapan rasa syukur atas panen hasil bumi. Puncak peringatannya pada Kamis (14/9) atau tanggal 22 Rayagung 1950 Saka Sunda di Paseban Tri Panca Tunggal.

Singgasana kursi lebar
Ruang paling depan Paseban Tri Panca Tunggal terbagi atas Pendapa Pagelaran dan Gedung Jinem Pasenatan Bale Agung Gilang Kencana, sering disebut Gedung Jinem saja. Di Gedung Jinem terdapat singgasana dengan kursi lebar yang mempunyai makna khusus.

“Singgasana yang besar ini bermakna tanggung jawab seorang pemimpin yang besar. Kursinya dibuat berukuran lebar untuk memberi pesan agar pemimpin tidak hanya duduk di kursi takhtanya, tetapi senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat luas,” ujar Dewi Kanti.

Kursi singgasana itu berwarna merah menyala. Sepasang kepala naga terdapat di samping kursi. Di bawah bagian depan kursi ada sepasang naga dengan tubuhnya yang memanjang. Sepasang kepala kijang kencana bertanduk kecil ada di kiri dan kanan bagian atas kursi singgasana.

Naga menjadi simbol kekuasaan. Kijang kencana sebagai simbol kesejahteraan. Naga tidak pernah lebih tinggi dari kijang. Itu bermakna kekuasaan bukan sebagai tujuan semata dari seorang pemimpin yang duduk di kursi takhta singgasana. Kesejahteraan bersama menjadi tujuan utama.
Dalam perayaan seren taun, di depan kursi singgasana itu diletakkan berbagai hasil bumi, termasuk gabah yang belum ditumbuk.

Pada puncak peringatan seren taun, gabah ditumbuk bersama-sama di lesung. Jumlah gabah ditetapkan sebanyak 2.200 kilogram atau 22 kuintal.

Gedung Jinem ini memiliki empat pilar atau saka utama berbentuk segi delapan. Segi delapan bermakna delapan penjuru angin. Ini bermakna sebagai anugerah penopang kekokohan bangunan. Di bagian bawah setiap pilar terdapat relief wajah-wajah Danawa atau raksasa mengerikan.
“Danawa itu simbol energi negatif. Danawa tidak untuk dihilangkan, tetapi dikendalikan manusia,” kata Dewi Kanti.

Di dinding sisi timur terdapat relief dua sosok wayang berupa Raseksi atau raksasa perempuan dan Satria Pinandhita. Ini mengandung pesan untuk hidup mengutamakan kepinandhitaan atau kebaikan untuk mengalahkan Raseksi atau nafsu buruk.

Gedung Jinem membujur dari selatan ke utara. Tempat ini untuk pertemuan atau sarasehan. Di lantai dua terdapat ruang yang dimanfaatkan sebagai museum koleksi berbagai artefak kebudayaan Sunda.
Mengolahsempurnakan alam.

Di sebelah utara Gedung Jinem ada Pendapa Pagelaran. Dinding sisi timur pendapa ini memiliki relief bertuliskan “Purwa Wisada” dengan aksara Sunda.

Ada relief sepasang naga di bawah sebuah bundaran yang mengandung makna keselarasan dua karakter antara pria dan wanita. Bulir padi ada di keliling bundaran sebagai simbol kesejahteraan.
Di tengah bundaran bagian atas terdapat huruf “ha” sebagai huruf paling awal dalam aksara Hanacaraka. Di bawah huruf itu terdapat susunan bentuk berundak dari bawah yang berjumlah 3, 5, dan 1, penjabaran dari konsepsi Tri Panca Tunggal.

Di atas bundaran terdapat relief burung elang. Elang sebagai simbol hidup yang dinamis. Rangkaian gambar dalam relief Purwa Wisada ini mengungkap bahwa makna hidup manusia harus mengolahsempurnakan alam dengan akal budinya.

Pendapa Pagelaran menghubungkan ke sisi timur, ke ruang Srimanganti. Ruang ini untuk pertemuan keluarga dalam mengambil suatu keputusan. Bilik utara ruang ini menjadi tempat tinggal Djatikusumah beserta keluarganya.

Di keempat sudutnya terdapat patung Paragabaya, penjaga bersenjatakan tombak. Ini menyiratkan makna kehati-hatian dalam setiap pengambilan keputusan di ruang Srimanganti.
Ke arah timur, ruang berikutnya adalah ruang Megamendung sebagai perpustakaan. Buku-buku yang ada diutamakan buku pengetahuan tentang semua agama. Sisi utaranya menjadi ruang membatik. Di sana ada beberapa koleksi batik tulis khas Cigugur, seperti motif rereng kujang, oyod mingmang, sekar galuh, dan geger sunten.

Ruang berikutnya ada di bagian paling timur berupa Dapur Ageung. Kata “dapur” tidak bermakna sebagai ruang untuk memasak makanan, tetapi itu menjadi tempat mengolah aras atau bermeditasi.
“Di ruang meditasi ini ada tungku pembakaran suluh atau bambu. Di setiap sudut tungku ada simbol kepala naga yang mewakili unsur air, api, angin, dan tanah,” kata Dewi Kanti.

Suluh atau bambu dalam bahasa Sunda disebut awi. Menurut Dewi Kanti, dari kata awi inilah kemudian muncul istilah asal wiwitan,kemudian dilekatkan menjadi istilah Sunda Wiwitan, salah satu aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Paseban Tri Panca Tunggal sebagai tempat tinggal Djatikusumah berhasil menyuguhkan rangkaian nilai kehidupan. Paseban atau rumah itu, bagi Djatikusumah, adalah nilai diri sendiri. Rumah adalah kita.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template