Revolusi Mental Puasa Ramadhan
Jawa Pos, Jum'at, 10/06/2016
Oleh Ali Murtadlo, Bekerja di JP Books
PRESIDEN Jokowi sesungguhnya tidak perlu terlalu pusing mencari model pelatihan untuk revolusi mental yang hingga kini belum jelas benar juntrungannya itu. Allah telah menyediakannya: puasa Ramadhan sebulan penuh. Betapa tidak, puasa melatih kita tidak hanya untuk menahan lapar dan minum, tapi juga menahan marah, bergunjing, dan mengendalikan hati agar tidak berburuk sangka, mengontrol mata agar tidak jelalatan, menggembleng disiplin, persistensi, dan kesabaran yang dahsyat.
Perilaku korup, misalnya, bisa diberantas dengan puasa. Mereka yang
berpuasa berlatih selama sebulan untuk tidak berlaku curang. Minum di kamar,
contohnya. Kalau mau, orang lain pasti tidak tahu karena kita melakukannya di
kamar sendirian. Tapi, mengapa hal demikian tidak dilakukan? Karena tahu ada
Tuhan yang menyaksikan. Itulah perilaku ihsan. Perilaku takwa, the ultimate goal dari puasa: la’allakum
tattaquun, agar kalian bertakwa. Tapi, dan tapi inilah yang justru masih
terjadi dan sering jadi cibiran. Rajin puasa, rajin shalat, haji berkali-kali,
tapi maksiat jalan terus. STMJ namanya: shalat tekun, maksiat jalan terus.
Pasti shalatnya tidak khusyuk, puasanya tidak beres, hajinya sekadar menambah
gelar di depan nama.
Dalam banyak hal, perilaku ibadah kita memang belum tembus pada derajat
substansi. Baru pokoke shalat,pokoke puasa, pokoke haji. Sekadar membatalkan
kewajiban. Dan, rasanya, sudah tenang, sudah senang. Seolah-olah tiket surga
sudah di tangan. Padahal sesungguhnya masih jauh sekali dari standar Allah. Apa
standarnya? Harus mencapai derajat substansi. Shalat, misalnya, harus memenuhi
dua kriteria: khusyuk dan terjaga (Al-Mu’minun
2 dan 9). Parameternya, shalat kita harus mam pu mencegah perilaku keji dan
mungkar (Al-Ankabut 45). Dengan kata
lain, jika secara fisik sebetulnya kita sudah shalat tapi ternyata masih
maksiat, maka shalatnya pasti belum beres. Sama halnya dengan puasa. Jika
gemblengan sebulan penuh ini tidak menjadikan kita berperilaku sabar, lihai
mengendalikan diri, ahli mengendalikan nafsu, perilaku lebih dermawan, maka puasa
kita baru berada pada level menahan lapar dan haus.
Sesungguhnya apa hebatnya puasa Ramadhan? Menjadikan pelakunya memiliki
habit yang luar biasa bagus. Habit
bangun pagi, habit sabar, habit kuat mengendalikan diri, habit bederma, habit
jujur, dan habit disiplin. Great habit inilah yang oleh penulis dan pembicara
self development selalu direkomendasikan kepada siapa saja yang ingin hidupnya
sukses, sehat, dan bahagia. Untuk sukses, harus mempunyai habit sukses. Agar
sehat, harus mempunyai habit sehat. Untuk bahagia pun, harus mempunyai habit
bahagia. Sebab, tidak ada yang sukses tiba-tiba, sehat dadakan, atau bahagia
instan. Semua perlu proses. Seming gu, sebulan, setahun, bahkan ber
tahun-tahun. Barang siapa ingin sukses, harus menikmati proses, begitu pula
untuk sehat dan bahagia.
Membentuk great habit, kata pakar self
development, rata-rata diperlukan waktu 15 sampai 30 hari. Charles Duhigg dalam bukunya, The Power of Habit, menyebut 21 hari.
Jika puasa genap sebulan penuh, proses membentuk great habit ini sebetulnya
sudah lebih dari cukup. Puasa mengajari kita untuk menikmati proses itu. Bangun
pukul 3 pagi, makan sahur, shalat malam, lalu jamaah subuh di masjid, lalu
pulang, menghirup udara segar, kemudian siap beraktivitas. Bukan tidur lagi.
Semua ada tantangannya: tantangan lapar, tantangan mata, tantangan nafsu,
tantangan tidak mengurangi waktu kerja, termasuk yang sekarang ini, tantangan
nonton Piala Eropa.
Semakin mendapat tantangan, semakin matang. Pada level manakah puasa kita
kali ini? Jangan dijawab saat kita masih mengenakan sarung, baju koko, dan
berkopiah. Dalam keadaan begitu, kita biasanya berada pada puncak alim-alimnya,
taat-taatnya, dekat-dekatnya kepada Allah.
Tapi, mari kita mengevaluasi kualitas puasa kita saat kita sudah mengenakan
baju kantor, saat mengemudi, saat belanja di mal, saat antre, saat mobil kita
ditabrak orang, saat mengetahui ada ibu-ibu atau anak-anak sekolah mau
menyeberang jalan. Kita pelankankah mobil, kita nyalakan lampu hazard kah agar
yang di belakang ikut waspada? Jika kita sudah begitu, insya Allah puasa kita
berada dalam level advance.
Ibu-ibu yang menyiapkan buka puasa juga bisa diuji level kepuasaannya
dengan cara sederhana seperti ini: ayam yang baru digoreng dicaplok kucing.
Reaksi kita kepada kucing tersebut juga bisa dijadikan ukuran level puasa kita.
Apakah kita menggebuknya pakai sapu hingga kucing terkapar atau menersenyumi
keteledoran kita. Karena itu, hikmat saya, umat Islam tidak perlu pasang
spanduk besar di mana-mana: Hormatilah Bulan Puasa. Umat Islam sudah waktunya
memasang spanduk: Hormatilah Yang Tidak Puasa. Menunjukkan apa? Pribadi yang
matang, bukan pribadi yang manja.
Lalu mengapa, selepas Ramadhan, kita kembali bangun siang, kembali tidak
jamaah subuh di masjid, kembali mulut kita tidak terkontrol, kembali tidak
sabaran, kembali tidak jujur, kembali sulit disiplin, suka menyerobot karena
tidak mau antre? Gampang sekali jawabnya: puasa kita belum berada pada level
substansi, baru pada level menahan lapar dan haus. Nah, mari kita jawab pertanyaan
ini: pada level apakah derajat puasa kita kali ini?(**)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !