Seren Tahun - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Seren Tahun

Seren Tahun

Written By GDE NOGATA on Senin, 21 Mei 2018 | 00.13

Event - Tradisi

Doa Kesuburan Seren Taun

Oleh : Abdullah Fikri Ashri Dan Nawa Tunggal

Harian Kompas – Minggu, 17 September 2017



Kehadirannya hanya satu kali dalam setahun. Itulah tarian sakral Pwah Aci Sanghyang Sri yang dibawakan Juwita Djatikusumah (47) pada malam puncak perayaan adat Seren Taun Sunda Wiwitan di Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Rabu (13/9). Ini doa meminta kesuburan atas tanah-tanah sawah padi kita dengan cara ungkap beda.


KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga bergiliran menumbuk padi saat Puncak Perayaan Seren Taun di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (14/9). Seren Taun di Cigugur ini disambut meriah, baik masyarakat Sunda Wiwitan maupun masyarakat umum yang berbaur dengan sukacita. Tarian ini sekaligus doa bagi roh kehidupan yang ada di setiap makanan yang kita makan, roh urip tanah pakumpulan,” ujar Juwita.



KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Masyarakat menyambut dengan meriah puncak Perayaan Seren Taun 1950 Saka Sunda di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (14/9). Mereka berkumpul bersama dan berbaur menyatu dengan sukacita dalam perbedaan.

Atas saran ayahnya, Pangeran Djatikusumah (85), Juwita sendirilah yang mencipta tari Pwah Aci Sanghyang Sri tersebut pada 2001. Djatikusumah merupakan sesepuh Masyarakat Adat Karuhun Urang yang kemudian lebih dikenal sebagai Sunda Wiwitan. Ia cucu Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939) yang merintis ajaran Agama Djawa Sunda, disingkat ADS, cikal bakal ajaran Sunda Wiwitan.



KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Lebih dari seribu warga memadati acara seribu kentongan di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Minggu (10/9). Acara yang bertujuan mengingatkan manusia akan hukum kodrati tersebut merupakan rangkaian tradisi Seren Taun yang akan berlangsung hingga Kamis (14/9).


ADS dibubarkan pada 1964. Pada 1981, Djatikusumah mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang, disingkat PACKU. Setahun berikutnya, pada 1982 pemerintah membubarkan PACKU karena dinilai menghidupkan kembali ADS yang sudah dinyatakan bubar.



KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Masyarakat adat Sunda Wiwitan mengumpulkan 1.000 kentongan dalam rangkaian upacara adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Ajaran Madrais di antaranya mengajarkan ritual berdoa dalam keheningan dan kesunyian di depan tungku perapian. Api hanya diperbolehkan dinyalakan dengan pembakaran bambu atau awi dalam bahasa Sunda.

Menurut Dewi Kanti Setianingsih (42), putri bungsu Djatikusumah dari delapan bersaudara itu, istilah awi ini yang kemudian dikembangkan menjadi kata asal wiwitan. Jadilah, kemudian istilah bagi penganut ajaran Madrais sebagai penganut Sunda Wiwitan.

Seren Taun sebuah tradisi turun-temurun masyarakat Sunda untuk mengungkap rasa syukur atas hasil bumi yang dipetik. Puncak peringatannya pada setiap 22 Rayagung tahun Saka Sunda atau delapan hari menjelang pergantian tahun. Tahun ini 22 Rayagung 1950 Saka Sunda jatuh pada 14 September 2017.

Di masa Orde Baru, perayaan Seren Taun dilarang selama 17 tahun, dari 1982 sampai 1999.
Dewi Sri

Tari Pwah Aci Sanghyang Sri bertutur tentang sosok Nyai Pohaci atau Dewi Sri atau Dewi Padi yang dikenal di dalam sejumlah legenda di Nusantara. Juwita mementaskannya dengan khidmat dengan durasi sekitar 10 menit di hadapan para pemuka setiap agama yang diakui negara dan beberapa pemuka aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pementasannya setelah Kidung Spiritual, yaitu acara penyampaian doa oleh setiap pemuka agama dan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Paseban Tri Panca Tunggal.
“Tarian sakral ini terkait dengan tarian sakral berikutnya, yaitu tari Ngareremokeun,” kata Juwita.
Tari Ngareremokeun dipentaskan sembilan laki-laki dari Kanekes, Baduy, Lebak, Banten. Tarian ini sebagai doa permintaan restu untuk mengawinkan apa yang akan ditanam ke dalam tanah dengan tanah itu sendiri.

Kedua tarian sakral itu saling menggenapi. Tari Pwah Aci untuk pengharapan akan kesuburan tanah dalam menumbuhkan padi. Tari Ngareremokeun menjadi doa harapan agar perkawinan antara tanaman dan tanah menghasilkan buah baik.

Keesokan harinya menjadi puncak perayaan Seren Taun 22 Rayagung 1950 Saka Sunda. Kemeriahan sudah terasa sejak pukul 07.00 di halaman Paseban Tri Panca Tunggal.
Tari-tarian memeriahkan suasana. Ada tari Jamparing Apsari, Puragabaya Gebang, Kaulinan Barudak Lembur, dan Buyung. Ada penampilan musik Angklung Kanekes dan Angklung Buncis hingga berujung pada upacara penumbukan bersama hasil panen padi dalam bentuk gabah usai petik.
Gabah sebanyak 22 kuintal dikumpulkan. Angka 22 bertepatan dengan tanggal 22 bulan Rayagung tahun Saka Sunda. Tidak semua gabah itu ditumbuk. Dari 22 kuintal, disisihkan dua kuintal untuk pembenihan.

Sebanyak 20 kuintal ditumbuk secara tradisional. Mereka menggunakan puluhan lesung dan alu untuk menumbuk sepanjang hari. Beras hasil penumbukan kemudian dibagikan kepada masyarakat.
Inilah pesan moralnya. Seren Taun memuliakan padi sebagai simbol kemakmuran. Tetapi, Seren Taun sejatinya memuliakan usaha-usaha bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Keterkaitan dengan konteks keadaban kini, korupsi sangatlah bertentangan dengan semangat tradisional yang nilainya diwariskan melalui tradisi-tradisi seperti Seren Taun.

Pembuangan hama
Seren Taun selalu diawali dengan ritual Damar Sewu. Ritual yang bertutur tentang proses yang harus dilalui manusia ini digelar Sabtu (9/9). Pada keesokan harinya digelar ritual Pesta Dadung dan Pembuangan Hama di Situ Hyang. Kawasan situ ini sekarang dinamakan sebagai Taman Kota Mayasih di Cigugur, Kuningan.

Ritual Pesta Dadung untuk menghormati para gembala. Ritual Pembuangan Hama memiliki makna menyingkirkan atau mengendalikan hama, bukan untuk memusnahkannya.
Ini selaras dengan prinsip ajaran Madrais. Manusia haruslah mampu hidup berdampingan dengan berbagai hal yang menjadi energi negatif, termasuk hama yang menyerang tanaman pangan.
Hama dapat dikonotasikan sebagai energi negatif, yang harus mampu dikendalikan manusia. Untuk itu, ritualnya disebut sebagai pembuangan hama, bukan pemusnahan hama.

Korelasi dengan persoalan kekinian misalnya dengan banyaknya hoax atau informasi palsu di media sosial. Hoax ibarat energi negatif pula. Manusia semestinya mampu mengendalikan energi negatif ini.
Berikutnya, setelah ritual Pembuangan Hama, dilanjutkan dengan ritual Seribu Kentongan. Para peserta ritual membawa dan memukul-mukul kentongan yang terbuat dari bambu sambil berjalan kaki menuju Paseban Tri Panca Tunggal. Jauhnya, kira-kira 1,5 kilometer.

Seribu Kentongan sebagai seruan bersama untuk segera mengawali Seren Taun. Pukulan kentongan menjadi sambutan atas segala daya yang ingin dikerahkan untuk mengucap doa-doa, terutama doa untuk Pwah Aci. Doa untuk meminta semesta mendukung setiap usaha mencapai kesejahteraan bersama.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template