Oleh : GDE ARYANTHA SOETHAMA
Harian Kompas Cetak | Minggu, 16 Agustus
2015
Lontar Pengayam Pegat cuma sembilan lembar, berbahasa campuran Jawa Kuno dan Bali Tengahan. Made Sambrag kebetulan mendapatkan lontar itu teronggok dalam almari lapuk milik kakeknya. Dibantu orang-orang desa yang senang membaca kakawin, mereka sadar itu lontar penting bagi siapa saja yang ingin berhenti judi menyabung ayam.
Dulu Made Sambrag bebotoh
kelas wahid. Tapi, ketika ia melaksanakan ajaran lontar Pengayam Pegat, ia ogah
ke tajen . Ia seperti lahir kembali, jadi manusia arif penasihat bagi siapa
saja yang berniat meninggalkan tajen, menjadikannya cuma sekerat masa lalu yang
getir. Kepada mereka yang bersungguh-sungguh, Sambrag meminjamkan lontar
Pengayam Pegat.
Nyoman Pongkod
bertekad berhenti menyabung ayam. Lontar sudah dalam genggaman. Ia cakupkan
tangan di dada, setengah membungkuk menyampaikan terima kasih kepada Made
Sambrag, karib yang meminjamkan lontar itu.
"Suksema, Sam.
Aku akan berjuang melakoni aturan dalam lontar."
"Syaratnya tidak
berat, Pong," ujar Sambrag membesarkan hati. "Bacalah dengan saksama,
dan patuhi semua syarat."
Lontar itu harus
diletakkan di kamar tersendiri, di hulu tempat tidur, disajeni saban hari. Di
kamar itu Pongkod mesti tidur sendiri, menunggu hari baik ke tajen. Ia meminta
bantuan penekun sastra klasik untuk membaca aksara Bali di lontar itu, memahami
dengan saksama maknanya. Lontar itu akan memberi dewasa ayu, disesuaikan
perhitungan hari lahir. Berulang ia dapatkan hari baik kelahiran, tetapi tak
ada tajen berlangsung. Atau ketika tajen digelar, itu bukan hari baik sesuai
kelahirannya. Sebelum membaca dan menghayati isi lontar, ia tepekur seolah
menjadi orang suci. Sejak belajar meresapi makna lontar ia pantang menggauli
istri.
Pongkod nyaris putus
asa, sudah lebih empat bulan ia menunggu.
"Bersabarlah,
dewasa ayu kelak menjadi milikmu," bujuk Sambrag cuma berselang sepekan
ketika Pongkod mendapat kabar ada tajen di Dusun Pengalun, setengah jam jalan
kaki dari rumahnya. Ia berseri-seri ketika tajen itu berlangsung padu dengan
hari baik kelahirannya.
"Akhirnya tiba
juga hari milikku," kata Pongkod gembira menyambangi Sambrag.
"Puaskan dirimu
menikmati tajen terakhir, Pong. Bertaruhlah sampai petang, hingga adu ayam
penghabisan, sampai tajen selesai," saran Sambrag.
Lontar mensyaratkan
Pongkod harus puasa bicara sepekan, sebelum datang ke tajen. Di depan lontar ia
suntuk bersamadi. Terus-menerus memusatkan pikiran dan niat, memohon agar tajen
yang akan ia datangi benar-benar yang terakhir. Ia bertekad, tak peduli kalah
atau menang, akan menyudahi judi. Niat buka warung menjual jus buah bulat sudah
karena di desanya mulai ramai para pendatang yang tinggal di permukiman baru.
Mereka pekerja di restoran dan hotel di Nusa Dua, Jimbaran atau Kuta. Dari pada
bayar sewa kos mahal, mereka memilih mencicil rumah, dan pulang-pergi ke tempat
kerja naik motor sejam lebih. Merekalah sasaran penikmat jus yang akan dijual di
warung Pongkod.
Di hari
keberangkatan, Pongkod menghaturkan sesaji dengan anak ayam yang ia pelintir
lehernya hingga tewas di depan gerbang rumah. Ia berangkat dini hari, masih
gelap, agar tak bersua siapa pun di jalan. Tak boleh ada orang menyapanya, seperti
disyaratkan lontar. Jika ada yang menegur sapa, perjalanan ke tajen terakhir
dianggap gagal, niat menyabung ayam pun akan kambuh. Harus dicari hari baik
yang baru. Ini sungguh-sungguh perjalanan sunyi sepi sendiri.
Pongkod memilih jalan
sempit, mengendap-endap di pematang, menelusup ke tegalan, dan menelusuri
tebing Tukad Petanu berair jernih, yang selepas pagi hingga sore riuh oleh
perahu-perahu karet mengantar turis-turis rafting, meliuk-liuk di antara
batu-batu sebesar gerobak.
Hari itu di tajen Dusun
Pengalun, Pongkod bebotoh pertama tiba. Pedagang ayam betutu dan babi guling
berdatangan silih berganti dengan penjual cangkul, caluk, sabit dan parang,
yang menggelar dagangan di bawah pohon kemiri. Pongkod berkeliling, menoleh
kiri-kanan, kemudian memergoki James Brolin berteduh di bawah rimbun rumpun
bambu.
"Halo Bro, sudah
punya lawan?" sapa Pongkod.
"Om swastiastu
Pong, apa kabar?" seru James menjabat tangan Pongkod. "Belum, belum
ada yang melawan saya. Kamu?"
Pongkod menggeleng.
"Belum juga."
Beberapa bulan
belakangan James Brolin, antropolog dari Universitas British Columbia, Kanada,
hilir mudik ke berbagai sabungan ayam untuk melengkapi disertasinya tentang
hiruk-pikuk psikologi tajen. Tentu disertasi itu akan diterbitkan menjadi buku
dan para pakar sosial Tanah Air ramai-ramai merujuknya. Sudah lazim begitu,
banyak orang bangga mengutip hasil penelitian bumi sendiri yang dikerjakan
peneliti asing.
James Brolin dikenal
akrab dan luas para penyabung ayam karena ikut langsung berjudi untuk mendalami
apa yang ia teliti. Banyak yang menyukai James karena ia bertaruh dengan
dollar, selain ia fasih berbahasa Indonesia, kadang menggunakan bahasa Bali,
kendati sepotong-sepotong. Logatnya khas bule, percakapan jadi jenaka, membuat
para bebotoh tergelak-gelak.
James dan Pongkod
sepakat bertaruh, mencari celah ke bibir arena, di antara bebotoh yang
berdatangan. Ada yang bergabung dengan santai, banyak pula yang tergopoh-gopoh.
"Aku pegang yang
merah saja, Pong," tawar James Brolin.
"Oke, Bro. Aku
yang brumbun kalau begitu. Seperti biasa, kamu pakai dollar, kan?"
James Brolin
tersenyum, merogoh saku celana, mengeluarkan dollar, dan
menggoyang-goyangkannya di depan wajah Pongkod dengan mata terbelalak.
"Dollar lagi unggul, Pong. Kita hitung satu dollar tiga belas ribu,
oke?"
Pongkod
mengangguk-angguk, ditingkah lengkingan "Huuuuu...!" gemuruh bebotoh
ketika dua ayam jago itu siap dilepas dengan taji berkilat di kaki.
Teriakan-teriakan gaduh bebotoh mencari lawan sembari mengacung-acungkan tangan
menggenggam uang, membuat sabung ayam itu hiruk-pikuk. Yang baru datang, tak
ada lawan, tetap mendesak-desak maju ingin tahu si brumbun atau si merah yang
akan terkapar.
Tiba-tiba sepi
sejenak ketika si brumbun dan si merah dilepas. Dua jago itu berhadapan penuh
amarah, buku-bulu leher berdiri, sayap direntangkan, mata membelalak tajam
penuh awas. Si merah terbang sengit menyerang mengayunkan kaki, si brumbun
merunduk gesit. Si merah berbalik, maju empat langkah mendekati si brumbun,
mengulang sergapan. Si brumbun merebahkan diri tengadah dengan kaki terangkat.
Para bebotoh berseru "Huuuuu...!" Mereka tahu, taji si brumbun
menyabet dada si merah.
Si merah penasaran,
menggebu-gebu mencoba berbalik untuk menggebuk dalam serangan ketiga. Tapi kali
ini ia terhuyung, tak kuat melangkah, kemudian terjerembab. Taji si brumbun
menembus temboloknya, darah mengucur membasahi bulu-bulu leher dan dada. Si
merah terkulai disertai teriakan gaduh para bebotoh, berbaur antara desah sedih
yang kalah dengan teriakan si pemenang. Si brumbun berkokok, mematuk-matuk pial
si merah yang terkapar tidak berkutik. Pertarungan pertama hari itu berakhir
singkat.
James Brolin
menghampiri Pongkod, menggamitnya ke luar dari kerumunan. "Selamat,
Pong," ujar James menyerahkan ratusan dollar sembari menjabat Pongkod.
"Senang bertaruh dengan kamu, ha-ha-ha.."
Nyoman Pongkod
berseri-seri menerima dollar itu. Tapi, bukan dollar itu benar yang membuatnya
girang. Memang ia bersyukur ada tambahan modal untuk mendirikan warung jus
buah, tapi yang terpenting ia harus menjadikan ini tajen terakhir. Butuh waktu
setahun Pongkod tidak ke tajen, agar ia bebas selamanya dari godaan menyabung
ayam. Memang ajaib pengaruh lontar Pengayam Pegat yang membuat Pongkod ingin cepat-cepat
pulang. Tak ada niat lagi berada di wilayah dengan puluhan jago terbaik siap
menyabung nyawa. Tak berhasrat sedikit pun ia meneruskan ke pertarungan
berikut. Kedua petarung itu sesungguhnya tak benar-benar berniat bertaruh. Bagi
James Brolin pertaruhan itu untuk melengkapi penelitiannya. Bagi Pongkod itu
pertaruhan untuk mewujudkan tajen terakhir.
"Mau cari lawan
lagi, Pong?" tanya James.
"Tak usah, Bro.
Aku mau pulang. Suksma untuk dollar-dollar ini."
Nyoman Pongkod
melewati pematang kering, panen belum sepekan usai. Ia berniat mampir ke pondok
Made Sambrag, menyampaikan terima kasih. Sebelum tengah hari Sambrag biasanya
ada di gubuk tempat ia memelihara sapi-sapi kereman. Sebulan sekali Sambrag
menjual sapi itu ke pasar hewan Beringkit. Tak lama lagi ia akan menjadi
saudagar sapi, karena ia mulai sibuk membeli dan menjual sapi-sapi petani.
Semua itu berkat jasa lontar Pengayam Pegat, yang membuat Sambrag berhenti
menyabung ayam.
Tiba dekat kandang
dada Pongkod berdegup melihat sepasang sandal perempuan tergeletak di atas
serakan potongan rumput. Kepalanya berdenyut mendengar suara seperti lenguhan
sapi berulang dari ruang bersekat daun kelapa kering, dengan tiang-tiang kayu
santan. Ia ragu meneruskan langkah. Tak pantas mengganggu orang dalam kobaran
asmara. Tapi, hasrat segera menyampaikan syukur dan terima kasih membuat ia
melanjutkan ayunan kaki, perlahan-lahan.
"Sam..
Sammmm..!" panggil Pongkod memberi isyarat kalau ia bertamu.
Melangkahi karung
berisi konsentrat makanan sapi, Pongkod terperanjat menyaksikan pergumulan
sepasang manusia hanya enam langkah dari tempat dia kini berdiri ternganga.
Laki dan perempuan itu terperangah, tiba-tiba Pongkod berdiri di hadapan mereka
dengan mata terbelalak, geraham bergerak-gerak, gigi gemeletuk, menahan bara
amarah.
Sambrag melepas
pelukan, mendorong perempuan itu, berdiri sigap, mendobrak dinding dari daun
kelapa kering, berlari kencang sekuat ia sanggup. Semak-semak pohon kem dan
ketket berduri ia labrak. Petani yang sedang menyabit rumput kaget menyaksikan
Sambrag berlari kencang telanjang. Ujung kemaluannya masih menyisakan sperma,
berdarah-darah diiris-iris onak yang tajam. Dada dan lengannya tergores luka.
Tak peduli perih di sekujur tubuh, berulang ia menoleh ke belakang, seakan
Pongkod mengejarnya mengacung-acungkan sabit.
Dalam ketakutan amat
sangat, ia memerosotkan tubuh berguling-guling di tebing Tukad Petanu.
Kepalanya berkali-kali membentur karang, berulang-ulang ia gagal menggapai akar
belukar. Tubuhnya terus meluncur, terjun ke sungai. Tiga turis berbikini yang
sedang rafting bersorak girang ketika Sambrag terjungkal membentur batu. Mereka
menduga itu atraksi dari water sport yang asyik mereka nikmati. Tadi di
hulu seorang pendeta memercikkan air suci buat mereka, memberi kembang sandat
dan mantra, demi keselamatan dan kesenangan. "Nikmatilah perjalanan indah
kalian yang penuh atraksi di Tukad Petanu," ujar pendeta. Turis itu
bertepuk tangan, mengira Sambrag penyelam hebat, karena ia tak kunjung muncul
ke permukaan.
Di gubuk, Pongkod
termangu seperti orang dungu menatap istrinya duduk merunduk telanjang, dengan
rambut tergerai mengusap payudaranya yang subur.
"Bunuh saya,
Bli! Bunuh.!" isak perempuan itu. "Bunuh, Bli.. sekarang, Bli!"
Pongkod menatap
istrinya terguncang-guncang oleh rasa bersalah dan pengkhianatan. Kini ia
sadar, perempuan yang berbulan-bulan tidak ia jamah demi melaksanakan perintah
lontar Pengayam Pegat agar sampai ke tajen terakhir, adalah wanita sintal
dengan pinggul padat dalam remasan serakan potongan rumput. Sejak kapan Sambrag
membidik sebelum menggumulinya?
Aroma gairah
percintaan berkobar-kobar masih terendus kuat di pondok itu. Pongkod
terengah-engah dalam bekapan amarah, menatap sabit terselip di dinding. Seekor
sapi di kandang memamah rumput menatapnya tajam mengedip-edipkan mata, seakan
mengejek dan mendorong-dorong agar ia menyelesaikan perselingkuhan itu dengan
tebasan sabit.
Nyoman Pongkod
menatap tengkuk istrinya yang mulus, jelas berkilat karena rambut tergerai
tersibak. Sekujur tubuh Pongkod gemetar hebat, dadanya sesak. Perempuan yang ia
cintai menunduk beku menunggu keputusan, siap menerima segala tiba.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !