Dialog Personal dan Peradaban Bathin - KEPASTIAN DAN KERAGUAN (1) - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Dialog Personal dan Peradaban Bathin - KEPASTIAN DAN KERAGUAN (1)

Dialog Personal dan Peradaban Bathin - KEPASTIAN DAN KERAGUAN (1)

Written By GDE NOGATA on Rabu, 26 Agustus 2015 | 19.13



ORANG mungkin tidak punya keturunan. Tetapi orang mustahil tidak punya leluhur. Karena di dalam ketidakpastian hidup, tetap ada kepastian. Orang pasti pernah dilahirkan, pada suatu waktu, di suatu tempat. Orangtua, kakek, buyut juga pernah dilahirkan. Kepastian ini menyebabkan adanya leluhur. Leluhur sudah pasti, tetapi konsep tentang leluhur bisa berubah. Konsep itu menemukan bentuk dan pelembagaannya dalam perkembangan waktu. Pelembagaan konsep leluhur bertujuan mempermudah "komunikasi'' orang dengan leluhurnya. Dalam praktiknya, pelembagaan itu menyebabkan komunikasi menjadi kompleks. Karena lembaga mengatur apa yang boleh dan tidak menurut tatacara.

Adalah pasti tiap yang hidup akan mati. Ketika seorang anak manusia lahir, ia langsung divonis mati. Tetapi mereka tidak ''diberitahu'' kapan vonis itu akan dilaksanakan, di mana, dan dengan cara bagaimana. Orang akan mati di suatu tempat dan di suatu waktu. Artinya, akan ada akhir yang menyebabkan orang punya peluang menjadi leluhur. Sambil menunggu momen penting itu, banyak hal bisa dilakukan orang.
Itu baru dua contoh kepastian: pernah dilahirkan dan akan mati. Agama Hindu mengajarkan lima kepastian. Pasti ada yang menciptakan dan mengendalikan semua ini. Ia disebut Brahman (1). Pasti ada unsur hidup yang menyebabkan kita hidup, bisa berpikir, berkata, melihat, mendengar, memegang, mencintai, merindukan dan membenci. Ia disebut atman (2). Pasti ada hukum yang mengatur semesta beserta isinya. Itu disebut Karma (3). Pasti ada yang mati agar ada yang hidup dan yang hidup pasti mati untuk hidup selanjutnya. Itu disebut punarbhawa (4), atau kelahiran berulang-ulang. Pasti ada tujuan dari semua ini, tidak mungkin begini-begini saja. Itu disebut moksa (5), atau pembebasan terakhir.
Sejumlah kepastian itu ditemukan dan dirumuskan di masa lalu. Kita tidak diberitahu bagaimana penemuan itu terjadi. Dalam interpretasi banyak ahli, kejadiannya berlangsung sedikit demi sedikit, jatuh-bangun, sampai akhirnya berhasil direkonstruksi seperti itu. Yang menemukannya tidak lagi ketahui, dan pasti tidak ditemukan oleh satu orang. Orang bilang itu ditemukan oleh zaman, oleh tradisi, oleh peradaban, yang didukung oleh sangat banyak orang.
Bagaimanapun juga, kelima kepastian itu jelas adalah hasil kerja ahangkara (ego), manah (pikiran), buddhi (budi), dan citta (intelek) secara bersama-sama. Orang mempercayai lima kepastian itu juga karena punya ego, pikiran, budi, intelek. Keempat sarana persepsi itu berasal dari alam pikiran Samkhya. Gabungan keempat sarana itu disebut ambek (batin) dalam tradisi Jawa Kuna dan Bali.
Pikiran konon suatu misteri yang manusia sendiri tidak akan pernah mengerti. Banyak buku memberitahu kita, kapasitas pikiran itu tidak terbatas. Yang dipakai dalam hidup sehari-hari baru sebagian kecil dari kemampuan sesungguhnya. Kita percaya, bila pikiran telah benar-benar dimanfaatkan, penemuan seperti ''lima kepastian'' itu menjadi masuk akal.
Whrehaspati Tattwa, salah satu teks ''berpikir'' tertua, mengajarkan agar orang berani membalikkan pikiran (amuter tutur). Kata berani sengaja dicetak miring untuk menegaskan bahwa praktik penyeragaman dalam tradisi telah membuat orang takut membalikkan pikiran. Seolah akan ada kekacauan peradaban bila banyak orang membalikkan pikirannya. Tradisi tidak salah, karena yang dimaksud oleh Whrehaspati Tattwa adalah memutar pikiran ke arah yang benar (pinahayu).
Diilustrasikan seperti anak tawon bergantungan di sarangnya dengan kepala menghadap ke bawah. Dengan posisi seperti itu yang kelihatan hanyalah realitas yang ada di bawahnya. Sebaliknya, realita yang ada di atasnya tidak dilihatnya. Karenanya, tidak diketahuinya. Membalikkan pikiran dengan benar menurut teks itu adalah membelajarkan pikiran agar mampu dan berani melihat realita yang ada di atasnya.
Pandangan ''realitas atas'' dan ''realitas bawah'' itu dijelaskan secara sistematis oleh filsafat Samkya. Aliran ini memandang realita yang ada bertingkat-tingkat, tergantung tingkat kesadaran orang yang memandangnya. Realita yang paling dasar adalah bumi sebagai kumpulan dari tanah, air, api, angin, udara (panca mahabhuta), dengan masing-masing sifat halusnya yaitu bau, rasa, sinar, sentuhan dan bunyi (panca tanmatra). Persatuan semuanya menyebabkan ada rasa pokok: asam, manis, pahit, asin, kecut, pedas (sadrasa).
Semua realitas dasar itulah yang disebut ''segala realita'' (sarwa tattwa). Manusia hidup dari segala realita itu. Mereka masuk ke dalam realita itu dengan sarana ''lima indriya persepsi'' (panca janendriya): kuping, kulit, mata, lidah, hidung. Kuping menghubungkan manusia dengan bunyi yang muncul dari udara. Kulit menghubungkan manusia dengan sentuhan yang muncul dari angin. Mata menghubungkan manusia dengan bentuk dan warna yang muncul dari sinar. Lidah menghubungkan manusia dengan bau yang muncul dari tanah.
Hubungan itu membuat manusia merindukan objek-objek. Mulailah mereka melakukan perburuan objek dengan sarana ''lima indriya pelaksana'' (panca karmendriya): mulut, tangan, kaki, pantat, kemaluan. Kendali dipegang oleh pikiran. Karenanya pikiran disebut ''raja indriya'' (rajendriya). Karena makin jauh masuk ke dalam realita ini, manusia makin diikatnya. Yang mengikat bukanlah objek itu, tetapi kenangan yang tersisa dalam pikiran (wasana). Kenangan itu menyebabkan adanya ikatan (tresna) pada pikiran. Keterikatan itulah yang menyebabkan pikiran ingin kembali dan kembali pada realita yang sama. Pikiran mengalami suka duka. Pikiran menjadi sakit.
Membebaskan diri dari suka duka itulah tujuan. Whrehaspati Tattwa mengajarkan agar orang berani membalikkan pikiran. Orang bisa mengangkat pikirannya ke realita yang lebih tinggi. Realita yang ada di atas pikiran, menurut Samkhya adalah ego (ahangkara), di atasnya adalah intelek (citta), di atasnya lagi adalah kesadaran jatidiri (atma), sampai kesadaran wisesa (Shiwa), shakti (sadashiwa), shunya (Paramashiwa). Berani adalah suatu kondisi hasil pencarian yang lama dan tidak gampang.
Kembali pada topik ''kepastian''. Kita melihat bahwa pikiran adalah salah satu kepastian yang kita miliki. Konon itu adalah milik paling berharga. Tradisi menyebut pikiran sebagai sebuah permata (cintamani). Tetapi permata pikiran itu tidak tersedia begitu saja di dalam kepala kita. Pertama cintamani adalah jatidiri pikiran. Ia akan menjadi dirinya, apabila ia telah ''penuh'' (siddhi). Pikiran yang bagaimanakah disebut penuh?
Ketik melukiskan pikiran seorang Kawi yang penuh, Kakawin Dharma Sunya menyebutkan suci (suddha) sebagai kata kunci. Suci dijelaskan sebagai sari-sari pengalaman keindahan, pertemuan segala rasa. Itulah yang dinamakan realitas pengetahuan sejati (jnana). Sehingga seorang Kawi sama dengan seorang Adipandita. Ketika melukiskan pikiran seorang Wiku yang penuh, Kakawin Dharma Sunya menyebutkan: ''karena penuh dan memenuhi, padanya tidak ada lagi yang namanya Selatan atau Utara.''

Kepastian dan Keraguan ( 2 )
MANUSIA pada dasarnya selalu ragu. Karenanya, manusia memerlukan dialog yang walaupun tidak memecahkan kebuntuan masa kini, paling tidak menyejukkan hati.
Dengan masa yang akan datang manusia belum bisa membangun dialog. Masa yang akan datang belum nyata ada. Masih harus ditunggu. Ironisnya, ketika masa yang akan datang itu benar datang, ia langsung menjadi masa kini. Itu pun kalau kita masih hidup. Artinya, peluang yang terbuka bagi kita membangun dialog dengan masa lalu. Karena terbukti masa itu pernah ada. Di masa lalu itulah ''rumah'' leluhur.
Peluang dialog dengan masa lalu tidak tersedia begitu saja di hadapan mata kita. Itu masih harus diperjuangkan, diusahakan dengan tekun, dan diadakan dalam pikiran. Karena antara masa lalu dengan masa kini ada sekat yang bernama tradisi. Ia bisa memisahkan suara personal leluhur dengan kita pada saat ini. Ia juga bisa menghubungkannya. Pada masanya dulu, suara personal ditenggelamkan oleh tradisi. Melewati zaman tradisi mempertahankan dirinya dengan membangun benteng pikiran dengan menenggelamkan tafsir yang bertentangan dengan kehendak kolektif. Sekarang pun ketika hendak berdialog, kita dibayang-bayangi oleh suara tradisi yang hidup di sekitar kita. Sehingga membangun dialog personal seperti mendirikan benang basah dan memasukannya ke lubang jarum. Tetapi, mengapakah harus personal?
Kebutuhan akan dialog personal itu sangat terasa manakala suara berbeda tidak lagi mendapatkan ruang dalam kehidupan bersama. Itu bertentangan dengan hakikat kebudayaan yang hanya bisa hidup kalau di dalamnya ada ruang bagi perbedaan-perbedaan.
Dalam pandangan tradisi, leluhur memegang otoritas. Beliau tahu segalanya. Di hadapan beliau kita bukan siapa-siapa. Kita adalah air kencing (warih) beliau. Karenanya mustahil memiliki daya tawar ketika menghadapi kebuntuan-kebuntuan zaman. Kepada beliau yang boleh kita minta adalah petunjuk dan tuntunan. Kita dibuat tidak berani berpikir untuk menempatkan beliau pada level manusia, yang terdiri dari darah dan daging. Sehingga kita bisa berdialog, mengeluh, menangis, dan unek-unek lainnya. Kita tidak berani, sebab bila beliau marah konon hancur luluhlah hidup kita. Segala yang dikerjakan tidak akan membawa hasil. Hidup perlahan-lahan akan mati sebagai manusia durhaka.
Pandangan seperti itu menampilkan leluhur sebagai sosok yang otoriter, kejam dan menakutkan. Selain itu, sangat menyederhanakan masalah. Seolah hanya ada dua kemungkinan. Bila kita berperan sebagai ''anak manis'' maka beliau senang. Sebaliknya, bila kita berperan kritis, beliau akan marah. Pandangan seperti ini sama dengan pelecehan leluhur. Pandangan seperti ini akan sangat merugikan peradaban batin itu sendiri.IBM Dharma Palguna***
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template