ORANG mungkin tidak punya
keturunan. Tetapi orang mustahil tidak punya leluhur. Karena di dalam
ketidakpastian hidup, tetap ada kepastian. Orang pasti pernah dilahirkan, pada
suatu waktu, di suatu tempat. Orangtua, kakek, buyut juga pernah dilahirkan.
Kepastian ini menyebabkan adanya leluhur. Leluhur sudah pasti, tetapi konsep
tentang leluhur bisa berubah. Konsep itu menemukan bentuk dan pelembagaannya
dalam perkembangan waktu. Pelembagaan konsep leluhur bertujuan mempermudah "komunikasi'' orang dengan leluhurnya. Dalam praktiknya, pelembagaan itu
menyebabkan komunikasi menjadi kompleks. Karena lembaga mengatur apa yang boleh
dan tidak menurut tatacara.
Adalah
pasti tiap yang hidup akan mati. Ketika seorang anak manusia lahir, ia langsung
divonis mati. Tetapi mereka tidak ''diberitahu'' kapan vonis itu akan
dilaksanakan, di mana, dan dengan cara bagaimana. Orang akan mati di suatu
tempat dan di suatu waktu. Artinya, akan ada akhir yang menyebabkan orang punya
peluang menjadi leluhur. Sambil menunggu momen penting itu, banyak hal bisa
dilakukan orang.
Itu
baru dua contoh kepastian: pernah dilahirkan dan akan mati. Agama Hindu
mengajarkan lima kepastian. Pasti ada yang menciptakan dan mengendalikan semua
ini. Ia disebut Brahman (1). Pasti ada unsur hidup yang menyebabkan kita hidup,
bisa berpikir, berkata, melihat, mendengar, memegang, mencintai, merindukan dan
membenci. Ia disebut atman (2). Pasti ada hukum yang mengatur semesta beserta
isinya. Itu disebut Karma (3). Pasti ada yang mati agar ada yang hidup dan yang
hidup pasti mati untuk hidup selanjutnya. Itu disebut punarbhawa (4), atau
kelahiran berulang-ulang. Pasti ada tujuan dari semua ini, tidak mungkin
begini-begini saja. Itu disebut moksa (5), atau pembebasan terakhir.
Sejumlah
kepastian itu ditemukan dan dirumuskan di masa lalu. Kita tidak diberitahu
bagaimana penemuan itu terjadi. Dalam interpretasi banyak ahli, kejadiannya
berlangsung sedikit demi sedikit, jatuh-bangun, sampai akhirnya berhasil
direkonstruksi seperti itu. Yang menemukannya tidak lagi ketahui, dan pasti
tidak ditemukan oleh satu orang. Orang bilang itu ditemukan oleh zaman, oleh
tradisi, oleh peradaban, yang didukung oleh sangat banyak orang.
Bagaimanapun
juga, kelima kepastian itu jelas adalah hasil kerja ahangkara (ego), manah
(pikiran), buddhi (budi), dan citta (intelek) secara bersama-sama. Orang
mempercayai lima kepastian itu juga karena punya ego, pikiran, budi, intelek.
Keempat sarana persepsi itu berasal dari alam pikiran Samkhya. Gabungan keempat
sarana itu disebut ambek (batin) dalam tradisi Jawa Kuna dan Bali.
Pikiran
konon suatu misteri yang manusia sendiri tidak akan pernah mengerti. Banyak
buku memberitahu kita, kapasitas pikiran itu tidak terbatas. Yang dipakai dalam
hidup sehari-hari baru sebagian kecil dari kemampuan sesungguhnya. Kita
percaya, bila pikiran telah benar-benar dimanfaatkan, penemuan seperti ''lima
kepastian'' itu menjadi masuk akal.
Whrehaspati
Tattwa, salah satu teks ''berpikir'' tertua, mengajarkan agar orang berani
membalikkan pikiran (amuter tutur). Kata berani sengaja dicetak miring untuk
menegaskan bahwa praktik penyeragaman dalam tradisi telah membuat orang takut
membalikkan pikiran. Seolah akan ada kekacauan peradaban bila banyak orang
membalikkan pikirannya. Tradisi tidak salah, karena yang dimaksud oleh
Whrehaspati Tattwa adalah memutar pikiran ke arah yang benar (pinahayu).
Diilustrasikan
seperti anak tawon bergantungan di sarangnya dengan kepala menghadap ke bawah.
Dengan posisi seperti itu yang kelihatan hanyalah realitas yang ada di
bawahnya. Sebaliknya, realita yang ada di atasnya tidak dilihatnya. Karenanya,
tidak diketahuinya. Membalikkan pikiran dengan benar menurut teks itu adalah
membelajarkan pikiran agar mampu dan berani melihat realita yang ada di
atasnya.
Pandangan
''realitas atas'' dan ''realitas bawah'' itu dijelaskan secara sistematis oleh
filsafat Samkya. Aliran ini memandang realita yang ada bertingkat-tingkat,
tergantung tingkat kesadaran orang yang memandangnya. Realita yang paling dasar
adalah bumi sebagai kumpulan dari tanah, air, api, angin, udara (panca
mahabhuta), dengan masing-masing sifat halusnya yaitu bau, rasa, sinar,
sentuhan dan bunyi (panca tanmatra). Persatuan semuanya menyebabkan ada rasa
pokok: asam, manis, pahit, asin, kecut, pedas (sadrasa).
Semua
realitas dasar itulah yang disebut ''segala realita'' (sarwa tattwa). Manusia
hidup dari segala realita itu. Mereka masuk ke dalam realita itu dengan sarana
''lima indriya persepsi'' (panca janendriya): kuping, kulit, mata, lidah,
hidung. Kuping menghubungkan manusia dengan bunyi yang muncul dari udara. Kulit
menghubungkan manusia dengan sentuhan yang muncul dari angin. Mata
menghubungkan manusia dengan bentuk dan warna yang muncul dari sinar. Lidah
menghubungkan manusia dengan bau yang muncul dari tanah.
Hubungan
itu membuat manusia merindukan objek-objek. Mulailah mereka melakukan perburuan
objek dengan sarana ''lima indriya pelaksana'' (panca karmendriya): mulut,
tangan, kaki, pantat, kemaluan. Kendali dipegang oleh pikiran. Karenanya
pikiran disebut ''raja indriya'' (rajendriya). Karena makin jauh masuk ke dalam
realita ini, manusia makin diikatnya. Yang mengikat bukanlah objek itu, tetapi
kenangan yang tersisa dalam pikiran (wasana). Kenangan itu menyebabkan adanya
ikatan (tresna) pada pikiran. Keterikatan itulah yang menyebabkan pikiran ingin
kembali dan kembali pada realita yang sama. Pikiran mengalami suka duka.
Pikiran menjadi sakit.
Membebaskan
diri dari suka duka itulah tujuan. Whrehaspati Tattwa mengajarkan agar orang
berani membalikkan pikiran. Orang bisa mengangkat pikirannya ke realita yang
lebih tinggi. Realita yang ada di atas pikiran, menurut Samkhya adalah ego
(ahangkara), di atasnya adalah intelek (citta), di atasnya lagi adalah
kesadaran jatidiri (atma), sampai kesadaran wisesa (Shiwa), shakti (sadashiwa),
shunya (Paramashiwa). Berani adalah suatu kondisi hasil pencarian yang lama dan
tidak gampang.
Kembali
pada topik ''kepastian''. Kita melihat bahwa pikiran adalah salah satu
kepastian yang kita miliki. Konon itu adalah milik paling berharga. Tradisi
menyebut pikiran sebagai sebuah permata (cintamani). Tetapi permata pikiran itu
tidak tersedia begitu saja di dalam kepala kita. Pertama cintamani adalah
jatidiri pikiran. Ia akan menjadi dirinya, apabila ia telah ''penuh'' (siddhi).
Pikiran yang bagaimanakah disebut penuh?
Ketik
melukiskan pikiran seorang Kawi yang penuh, Kakawin Dharma Sunya menyebutkan
suci (suddha) sebagai kata kunci. Suci dijelaskan sebagai sari-sari pengalaman
keindahan, pertemuan segala rasa. Itulah yang dinamakan realitas pengetahuan
sejati (jnana). Sehingga seorang Kawi sama dengan seorang Adipandita. Ketika
melukiskan pikiran seorang Wiku yang penuh, Kakawin Dharma Sunya menyebutkan:
''karena penuh dan memenuhi, padanya tidak ada lagi yang namanya Selatan atau
Utara.''
Kepastian dan Keraguan ( 2 )
MANUSIA
pada dasarnya selalu ragu. Karenanya, manusia memerlukan dialog yang walaupun
tidak memecahkan kebuntuan masa kini, paling tidak menyejukkan hati.
Dengan
masa yang akan datang manusia belum bisa membangun dialog. Masa yang akan
datang belum nyata ada. Masih harus ditunggu. Ironisnya, ketika masa yang akan
datang itu benar datang, ia langsung menjadi masa kini. Itu pun kalau kita
masih hidup. Artinya, peluang yang terbuka bagi kita membangun dialog dengan
masa lalu. Karena terbukti masa itu pernah ada. Di masa lalu itulah ''rumah''
leluhur.
Peluang
dialog dengan masa lalu tidak tersedia begitu saja di hadapan mata kita. Itu
masih harus diperjuangkan, diusahakan dengan tekun, dan diadakan dalam pikiran.
Karena antara masa lalu dengan masa kini ada sekat yang bernama tradisi. Ia
bisa memisahkan suara personal leluhur dengan kita pada saat ini. Ia juga bisa
menghubungkannya. Pada masanya dulu, suara personal ditenggelamkan oleh
tradisi. Melewati zaman tradisi mempertahankan dirinya dengan membangun benteng
pikiran dengan menenggelamkan tafsir yang bertentangan dengan kehendak
kolektif. Sekarang pun ketika hendak berdialog, kita dibayang-bayangi oleh
suara tradisi yang hidup di sekitar kita. Sehingga membangun dialog personal
seperti mendirikan benang basah dan memasukannya ke lubang jarum. Tetapi,
mengapakah harus personal?
Kebutuhan
akan dialog personal itu sangat terasa manakala suara berbeda tidak lagi
mendapatkan ruang dalam kehidupan bersama. Itu bertentangan dengan hakikat
kebudayaan yang hanya bisa hidup kalau di dalamnya ada ruang bagi
perbedaan-perbedaan.
Dalam
pandangan tradisi, leluhur memegang otoritas. Beliau tahu segalanya. Di hadapan
beliau kita bukan siapa-siapa. Kita adalah air kencing (warih) beliau.
Karenanya mustahil memiliki daya tawar ketika menghadapi kebuntuan-kebuntuan
zaman. Kepada beliau yang boleh kita minta adalah petunjuk dan tuntunan. Kita
dibuat tidak berani berpikir untuk menempatkan beliau pada level manusia, yang
terdiri dari darah dan daging. Sehingga kita bisa berdialog, mengeluh,
menangis, dan unek-unek lainnya. Kita tidak berani, sebab bila beliau marah
konon hancur luluhlah hidup kita. Segala yang dikerjakan tidak akan membawa
hasil. Hidup perlahan-lahan akan mati sebagai manusia durhaka.
Pandangan
seperti itu menampilkan leluhur sebagai sosok yang otoriter, kejam dan
menakutkan. Selain itu, sangat menyederhanakan masalah. Seolah hanya ada dua
kemungkinan. Bila kita berperan sebagai ''anak manis'' maka beliau senang.
Sebaliknya, bila kita berperan kritis, beliau akan marah. Pandangan seperti ini
sama dengan pelecehan leluhur. Pandangan seperti ini akan sangat merugikan
peradaban batin itu sendiri.IBM Dharma Palguna***
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !