Bali Post Minggu, 27 Agustus 2006
ADA trend baru
dalam kebersamaan hidup di Bali. Orang senang menutup jalan urnurn untuk
kepentingan ritual. Beberapa hari sebelum ritual jalan sudah ditutup. “Maaf,
ada upacara agama”, begitu tertulis pada sebidang papan yang ditaruh di
tengah jalan. Sering kali kata maaf diganti kata hati-hati, dan kata agama
diganti adat. “Hati-hati, ada upacara adat !”. Hampir setiap desa
memiliki papan seperti itu, minimal dua.
Pada hari H, di sebelah papan itu biasanya berdiri beberapa polisi adat. Mereka bertugas memberitahu pemakai jalan agar mengambil jalan lain, kecuali undangan. Ekspresi wajah mereka kelihatan bangga, entah karena apa. Barangkali pakaian yang gagah dan keris di pinggang membuat mereka merasa berbeda dengan hidup sehari-hari yang penuh depresi. Mungkin juga mereka merasa terhibur, sekali dalam hidup pemah memberlakukan aturan bagi orang banyak.
Bagaimana reaksi
pemakai jalan ketika berhadapan dengan penutupan seperti itu? Hingga saat ini
belum ada lembaga riset menelitinya. Belum ada LSM menyebarkan angket untuk
tahu pendapat publik. Barangkali belum ada donatur tertarik membiayainya. Saya
pun belum sempat menanyai orang satu persatu, karena sibuk memenuhi undangan
ritual ini di sini, dan ritual itu di situ. Walaupun
dernikian, bukan berarti saya tidak punya gambaran tentang reaksi orang.
Gambaran itu ada cukup dengan memasang kuping ketika orang-orang ngobrol.
Banyak pemakai
jalan tidak memusingkannya. Ketika jalannya ditutup mereka langsung mengambil
jalan lain. Karena tiba di rumah, atau di tempat kerja, jauh lebih penting
daripada memikirkannya. Risiko terlambat tiba di tujuan sudah pasti ada. Tapi
terlambat sedikit, atau banyak, tidak jadi masalah. Tepatnya, tidak akan
benar-benar dipermasalahkan. Yang terlambat cukup mengatakan “sorry, ada
upacara, jalan ditutup”. Orang akan memakluminya. Karena banyak orang telah
fasih berbicara, bahwa perlu keseimbangan antara kehidupan material dengan
spiritual. Spiritual mereka artikan ritual. Tanpa keseimbangan itu, kata
mereka, produktivitas kerja akan merosot, baik kualitas maupun kuantitas.
Mereka setiap hari diberitahu oleh media, tanpa upacara agama parwisata akan
kehilangan roh. Dan tanpa pariwisata kehidupan ekonomi akan susah. Itulah dua
contoh sebab eksternal yang membuat mereka maklum, sehingga menerima penutupan
jalan apa adanya. Alasan paling jujur adalah kondisi internal. Mereka sadar
kelak mereka pun akan menutup jalan untuk tujuan yang sama. “Jalan ini milik
desa, bukan milik pemerintah” begitu argumentasi yang sering
diperdengarkan. Masing-masing warga mengetahui dirinya memiliki hak menutup
jalan pada saat mengadakan ritual.
Banyak pula pemakai
jalan mengambil jalan lain dengan setengah hati ketika jalannya ditutup. Sementara hati yang setengah lagi digunakan untuk mengeluh. “Masak,
upacara kecil saja menutup jalan”. “Sok Kuasa !”. Tapi keluhan itu
hanya di dalam hati. Mereka tidak akan melaporkan kasus itu ke polisi. Tidak
juga menulis surat pembaca di surat kabar. Apalagi menggalang massa untuk
melakukan ritual tandingan, yaitu demonstrasi. Mereka tidak akan berdemonstrasi
dengan spanduk, poster, atau berteriak-teriak. Tidak ! Mereka tahu cara seperti
itu merugikan diri sendiri. Karena yang mereka hadapi bukan pernilik perusahaan
yang tidak mau menaikkan gaji pegawai. Bukan pula menghadapi pejabat yang
korup. Yang mereka hadapi justru pusat sakral dari tradisi, yang temyata bagian
dari diri mereka sendiri. Sebelum menggelar aksi, mereka pasti akan berhadapan
dengan orang tua, saudara, famili atau isteri, tetangga, dan bahkan leluhur.
Karena mereka semua itulah representasi tradisi. Mereka tidak mungkin mendemo
sanak farnili. Mereka tidak mau merugikan diri sendiri. ltulah salah satu ciri
orang yang mulai pintar punya standar lebih dari satu.
Hanya beberapa
pemakai jalan tidak rela sepenuh hati atas penutupan itu. Umurnnya mereka dari
kalangan aktivis LSM reformis, pernikir independen, dan pengamat jalan. Mereka
biasanya menyatakan ketidaksetujuannya dalam diskusi kelompok kecil. Ketika
jalan ditutup mereka melihat sebuah perlawanan sirnbolis. “Yang
semestinya mereka lawan bukan pemakai jalan seperti kita,” katanya. Penutupan
jalan akan berlangsung terus, karena ada kelompok sedang merasa terancam
keberadaannya. Entah oleh apa. Untuk gampangnya sebut saja globalisasi, kata
yang lainnya. Yang lainnya menimpali, “Sekarang perlawanan mereka
baru nampak di atas jalan”. Kelak perlawanan mereka akan memasuki sektor
yang lain!”. Itulah beberapa reaksi yang saya dengar atas kalirnat, “Hati-hati,
ada upacara adat !”. Saya tidak memusingkan reaksi itu. Karena saya sudah
pusing oleh reaksi pikiran sendiri, seperti di bawah ini.
AGAMA sebagai
sebuah jalan, berbeda dengan menutup jalan untuk ritual agama. Yang disebut
pertama bersifat terbuka, yang kedua tertutup. Walaupun berbeda, keduanya
memiliki hubungan. Jalan agama yang paling banyak ditempuh orang Bali adalah
ritual. Untuk sebuah ritual, belakangan ini jalan umum sering ditutup. Karena
·melibatkan semakin banyak orang, dan banyak kepentingan. Ketika mencari Tuhan
orang senang berjalan bersama-sama, beramai-ramai dalam rombongan besar. Tapi Tuhan, menurut kitab suci, akan menerima orang sebagai pribadi. Tidak sebagai grup. Hampir setiap orang Bali berhubungan dengan ritual.
Kelahiran mereka disambut ritual, bahkan juga ketika masih dalam kandungan.
Suka duka hidup sehari-hari dimaknai dengan ritual. Ketika mati pun roh mereka
diantarkan oleh ritual ke alam sana. Garis panjang ritual, dari sebelum lahir
sampai sesudah mati, kelihatan seperti sebuah jalan raya yang tak putus-putus.
Itulah “jalan raya agama”.
Di jalan raya itu
terdapat banyak rambu ritual. Ada rambu hari apa orang boleh berjalan, dan hari
apa tidak. Ada rambu bagaimana harus berjalan. Bahkan pakaian yang dikenakan
pun kini ada rambunya. Ada pendeta sebagai arsitek-ritual. Ada “polisi agama”
mengatur lalu lintas ritual. Mereka memberi sanksi kalau ada orang salah
berjalan. Semua itu ada dalam satu sistem, demi tertib spiritual dalam satu
pulau. Bila dilanggar, akan muneul kekaeauan spiritual. Selanjutnya, dari
kekaeauan spiritual akan lahir kekacauan sosial. Pada akhirnya, individu juga
yang hancur. Pada saat hancur orang diarahkan kembali ke jalan raya. Dalam
konteks Bali, itu berarti back to ritual.
Kronologi
perjalanan di jalan raya sudah bisa diketahui bahkan sebelum berjalan. Karena jalan itu sudah dikenal. Misalnya, pertama-tama dari sini menuju ke
sana. Selanjutnya, dari sana menuju lebih sana lagi. Kronologi seperti itu
memudahkan orang mengetahui apakah perjalanan masih jauh, atau hampir sampai.
Selain itu, orang bisa memprediksi berbagai kemungkinan. Mungkin di sana akan
ada kemacetan. Mungkin di situ ada jembatan putus. Jalan raya lebih memberikan
rasa aman dan kepastian. Karena ia ramai, ada
rambu, dan ada polisi. Tinggal berjalan saja. Tidak perlu berpikir membuat
jalan. Tidak pusing bertanya yang mana jalan menuju ke situ. Dan yang mana
jalan menuju lebih ke situ lagi. Asal tahu membaca peta. Raya memang
berkonotasi banyak dan besar. Tak heran, hari yang paling banyak dirayakan
orang disebut Hari Raya. Ironisnya, hari yang sangat sepi akhirnya juga disebut
hari raya. Hari Raya Nyepi. Jangan lupa, di jalan raya paling sering terjadi
tabrakan. Korban berjatuhan dari benda sampai nyawa. Perasaan dan identitas
juga sering menjadi korban. Di jalan raya banyak orang menjadi lengah, justru
karena adanya beberapa kepastian. Bukan jumlah korban itu semata harga yang
harus dibayar kepada sebuah jalan raya. Akan ada bayaran lebih mahal. Misalnya,
orang mulai menghindari memakai jalan raya. Orang kemudian mencari jalan yang
lebih sunyi. Orang semakin merindukan jalan yang walaupun kecil, berdebu dan
berkeringat, tapi memberikan rasa. Jalan kecil itu muncul akibat sejumlah
kejadian tiak manusiawi dijalan raya. Tidak berbeda dengan jalan raya agama. Di
jalan raya agama sering juga terjadi tabrakan. Karena yang memakai jalan itu
punya bermacam kepentingan. Tidak sedikit korban berjatuhan. Dari nyawa sampai
hak milik. Dari harga diri sampai hak untuk mengekspresikan diri. Maka sangat
manusiawi ketika satu dua orang akhirnya meninggalkan jalan raya agama. Mereka
membuat jalannya sendiri.
Dalam konteks Bali,
kasus ini sudah terjadi. Masih akan berlanjut. Semakin ganas sebuah jalan raya,
semakin banyak orang terilhami mencari jalan alternatif. Lalu
apa?
Ketika jalan umum
ditutup untuk ritual, penganut ritual senang bila pemakai jalan mau mencari
jalan lain. Karena kepentingan mereka berbeda. Sebaliknya, ketika ada orang
menempuh jalan spiritual berbeda, banyak penganut ritual marah. Kemarahan
kolektif itu sesering direalisasikan dalam bentuk pembunuhan karakter,
penghancuran properti, dan bahkan pengusiran seseorang dari rumahnya sendiri.
Tidak mudah
mengerti kenapa bisa begitu. Ada inkonsistensi antara senang menutup jalan umum
dan benci pada jalan alternatif. Barangkali teman saya benar, yang mengatakan
praktek pola-pikir kolektif akan individualisme di dalam dirinya sendiri. Cepat
atau lambat. Sehingga perlawanan lebih sering datang dari dalam. Bukan dari
luar seperti mereka duga. Sebuah benteng tradisi yang dibangun untuk menangkal
pengaruh luar, yang dipandang negative, tidak hanya akan berguna. Karena
kekuatan perlawanan sedang dibangun di dalam dirinya sendiri, oleh dirinya
sendiri. Tuhan milik bersama. Mereka mencarinya bersama-sama dengan jalan yang
sama. Bila ada anugerah Beliau, bersama-sama mereka, nikmati. Kalau Beliau
murka, tentu itu akibat kesalahan bersama. Bersama pula menanggung akibatnya.
Lagu “kebersamaan” sekarang semakin digemari oleh komunitas adat. Kalau sibuk,
harus sibuk semua, Jangan sampai ada yang tidak sibuk. Kalau kotor, harus kotor
semua, jangan sampai ada yang bersih sendiri.
Kebersamaan yang
“harmonis” itu dijaga rambu-rambu yang semakin hari semakin keras sanksinya.
Tujuannya mengantisipasi kompleksitas akibat kemajuan dunia Mereka setuju
adanya perkembangan spiritualitas. Tapi tidak setuju perbedaan adalah
pengayaan, tapi ancaman. Karena itulah, cara melindungi diri paling pintas,
menutup jalan. Yang berbeda tidak boleh dibiarkan berkembang. Kepentingan
bersama adalah legitimasinya. Isu pendukung kemudian
disosialisasikan sebagai pembenaran, seperti itu pelestarian, pariwisata dan
stabilitas.
Isu pelestarian
dipinjam dari pandangan romantisme, yang beranggapan masa lalu lebih baik
daripada masa kini. Beramai-ramai mereka hendak kembali ke masa lalu. Mereka
bilang, kembali ke akar. Isu pariwisata mereka pinjam dari kapitalisme global,
penentu kesejahteraan di dunia. Mereka bilang, pariwisata adalah jantung kehidupan
ekonomi. Absurd, karena mereka pikir manusia bisa hidup hanya dengan jantung. Dan isu stabilitas mereka pelajari dari omongan penguasa sipil yang lebih
meliter dari militer.
“Tuhan milik pribadi”. Pandangan ini bukan tidak ada dalam
tradisi. Pernah ada dan masih ada. Pencarian dilakukan lewat penghayatan
pribadi. Ritualnya adalah realisasi diri. Realisasi diri nampak pada adanya
rasa kecintaan, welas-asih, penghormatan pada nilai kemanusiaan, dan
penghargaan atas perbedaan yang ada. Sayangnya, pandangan ini seperti sebuah
nyanyian merdu yang ditenggelamkan gemuruh suara gelombang lautan. Banyak
orang lebih mengagumi laut yang dahsyat daripada merenungi setetes embun di
ujung rumput pagi-pagi ketika orang belum terjaga dari tidur.
Konflik jalan raya
dan jalan alternatif menunjukkan sedang tumbuhnya benih perubahan. Fenomena ini
memanaskan suhu politik agama dan adat. Ketika Siddharta meninggalkan tradisi
pasti terjadi konflik antara ia dengan wakil kolektivitas. Ketika ia datang
membawa pembaharuan, pastilah juga terjadi konflik antara “yang baru” dengan
“yang lama”. Sejarah memberi tahu kita bahwa tradisi hanya hidup dari konflik
yang dilahirkannya sendiri. Tak ada yang salah ketika pikiran masyarakat
berkembang. Jalan alternatif adalah anak yang lahir dari “ibu jalan raya”.
Konflik itulah ayahnya. Jalan raya bertanggungjawab atas lahirnya jalan
alternatif. Munculnya perlawanan terhadap praktik tradisi, justru karena
tradisi itu sendiri. “Musuh tidak jauh, ada di dalam diri sendirif”. Begitu
bunyi sebuah puisi klasik yang sangat dikenal di seantero pulau ini.
Ketika tidak menyisakan ruang untuk perbedaan, tradisi
sedang membangun benteng kematiannya sendiri. Cepat atau lambat itu akan
terjadi. Tradisi yang ingin hidup panjang akan memelihara perbedaan itu.
Sedangkan tradisi yang membunuh perbedaan, walau ingin hidup panjang pasti
berumur pendek. “Hati-hati, ada upacara adat !”. IBM
Dharma Palguna (Artikel Apresiasi - .Bali Post Minggu, 27 Agustus 2006).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !