JALAN RAYA JALAN ALTERNATIF - Representasi Tradisi dalam Tertib Spritual - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » JALAN RAYA JALAN ALTERNATIF - Representasi Tradisi dalam Tertib Spritual

JALAN RAYA JALAN ALTERNATIF - Representasi Tradisi dalam Tertib Spritual

Written By GDE NOGATA on Rabu, 26 Agustus 2015 | 19.21



Bali Post Minggu, 27 Agustus 2006

ADA trend baru dalam kebersamaan hidup di Bali. Orang senang menutup jalan urnurn untuk kepentingan ritual. Beberapa hari sebelum ritual jalan sudah ditutup. “Maaf, ada upacara agama”, begitu tertulis pada sebidang papan yang ditaruh di tengah jalan. Sering kali kata maaf diganti kata hati-hati, dan kata agama diganti adat. “Hati-hati, ada upacara adat !”. Hampir setiap desa memiliki papan seperti itu, minimal dua.



Pada hari H, di sebelah papan itu biasanya berdiri beberapa polisi adat. Mereka bertugas memberitahu pemakai jalan agar mengambil jalan lain, kecuali undangan. Ekspresi wajah mereka kelihatan bangga, entah karena apa. Barangkali pakaian yang gagah dan keris di pinggang membuat mereka merasa berbeda dengan hidup sehari-hari yang penuh depresi. Mungkin juga mereka merasa terhibur, sekali dalam hidup pemah memberlakukan aturan bagi orang banyak.

Bagaimana reaksi pemakai jalan ketika berhadapan dengan penutupan seperti itu? Hingga saat ini belum ada lembaga riset menelitinya. Belum ada LSM menyebarkan angket untuk tahu pendapat publik. Barangkali belum ada donatur tertarik membiayainya. Saya pun belum sempat menanyai orang satu persatu, karena sibuk memenuhi undangan ritual ini di sini, dan ritual itu di situ. Walaupun dernikian, bukan berarti saya tidak punya gambaran tentang reaksi orang. Gambaran itu ada cukup dengan memasang kuping ketika orang-orang ngobrol.

Banyak pemakai jalan tidak memusingkannya. Ketika jalannya ditutup mereka langsung mengambil jalan lain. Karena tiba di rumah, atau di tempat kerja, jauh lebih penting daripada memikirkannya. Risiko terlambat tiba di tujuan sudah pasti ada. Tapi terlambat sedikit, atau banyak, tidak jadi masalah. Tepatnya, tidak akan benar-benar dipermasalahkan. Yang terlambat cukup mengatakan “sorry, ada upacara, jalan ditutup”. Orang akan memakluminya. Karena banyak orang telah fasih berbicara, bahwa perlu keseimbangan antara kehidupan material dengan spiritual. Spiritual mereka artikan ritual. Tanpa keseimbangan itu, kata mereka, produktivitas kerja akan merosot, baik kualitas maupun kuantitas. Mereka setiap hari diberitahu oleh media, tanpa upacara agama parwisata akan kehilangan roh. Dan tanpa pariwisata kehidupan ekonomi akan susah. Itulah dua contoh sebab eksternal yang membuat mereka maklum, sehingga menerima penutupan jalan apa adanya. Alasan paling jujur adalah kondisi internal. Mereka sadar kelak mereka pun akan menutup jalan untuk tujuan yang sama. “Jalan ini milik desa, bukan milik pemerintah” begitu argumentasi yang sering diperdengarkan. Masing-masing warga mengetahui dirinya memiliki hak menutup jalan pada saat mengadakan ritual.

Banyak pula pemakai jalan mengambil jalan lain dengan setengah hati ketika jalannya ditutup. Sementara hati yang setengah lagi digunakan untuk mengeluh. “Masak, upacara kecil saja menutup jalan”. “Sok Kuasa !”. Tapi keluhan itu hanya di dalam hati. Mereka tidak akan melaporkan kasus itu ke polisi. Tidak juga menulis surat pembaca di surat kabar. Apalagi menggalang massa untuk melakukan ritual tandingan, yaitu demonstrasi. Mereka tidak akan berdemonstrasi dengan spanduk, poster, atau berteriak-teriak. Tidak ! Mereka tahu cara seperti itu merugikan diri sendiri. Karena yang mereka hadapi bukan pernilik perusahaan yang tidak mau menaikkan gaji pegawai. Bukan pula menghadapi pejabat yang korup. Yang mereka hadapi justru pusat sakral dari tradisi, yang temyata bagian dari diri mereka sendiri. Sebelum menggelar aksi, mereka pasti akan berhadapan dengan orang tua, saudara, famili atau isteri, tetangga, dan bahkan leluhur. Karena mereka semua itulah representasi tradisi. Mereka tidak mungkin mendemo sanak farnili. Mereka tidak mau merugikan diri sendiri. ltulah salah satu ciri orang yang mulai pintar punya standar lebih dari satu.

Hanya beberapa pemakai jalan tidak rela sepenuh hati atas penutupan itu. Umurnnya mereka dari kalangan aktivis LSM reformis, pernikir independen, dan pengamat jalan. Mereka biasanya menyatakan ketidaksetujuannya dalam diskusi kelompok kecil. Ketika jalan ditutup mereka melihat sebuah perlawanan sirnbolis. “Yang semestinya mereka lawan bukan pemakai jalan seperti kita,” katanya. Penutupan jalan akan berlangsung terus, karena ada kelompok sedang merasa terancam keberadaannya. Entah oleh apa. Untuk gampangnya sebut saja globalisasi, kata yang lainnya. Yang lainnya menimpali, “Sekarang perlawanan mereka baru nampak di atas jalan”. Kelak perlawanan mereka akan memasuki sektor yang lain!”. Itulah beberapa reaksi yang saya dengar atas kalirnat, “Hati-hati, ada upacara adat !”. Saya tidak memusingkan reaksi itu. Karena saya sudah pusing oleh reaksi pikiran sendiri, seperti di bawah ini.

AGAMA sebagai sebuah jalan, berbeda dengan menutup jalan untuk ritual agama. Yang disebut pertama bersifat terbuka, yang kedua tertutup. Walaupun berbeda, keduanya memiliki hubungan. Jalan agama yang paling banyak ditempuh orang Bali adalah ritual. Untuk sebuah ritual, belakangan ini jalan umum sering ditutup. Karena ·melibatkan semakin banyak orang, dan banyak kepentingan. Ketika mencari Tuhan orang senang berjalan bersama-sama, beramai-ramai dalam rombongan besar. Tapi Tuhan, menurut kitab suci, akan menerima orang sebagai pribadi. Tidak sebagai grup. Hampir setiap orang Bali berhubungan dengan ritual. Kelahiran mereka disambut ritual, bahkan juga ketika masih dalam kandungan. Suka duka hidup sehari-hari dimaknai dengan ritual. Ketika mati pun roh mereka diantarkan oleh ritual ke alam sana. Garis panjang ritual, dari sebelum lahir sampai sesudah mati, kelihatan seperti sebuah jalan raya yang tak putus-putus. Itulah “jalan raya agama”.

Di jalan raya itu terdapat banyak rambu ritual. Ada rambu hari apa orang boleh berjalan, dan hari apa tidak. Ada rambu bagaimana harus berjalan. Bahkan pakaian yang dikenakan pun kini ada rambunya. Ada pendeta sebagai arsitek-ritual. Ada “polisi agama” mengatur lalu lintas ritual. Mereka memberi sanksi kalau ada orang salah berjalan. Semua itu ada dalam satu sistem, demi tertib spiritual dalam satu pulau. Bila dilanggar, akan muneul kekaeauan spiritual. Selanjutnya, dari kekaeauan spiritual akan lahir kekacauan sosial. Pada akhirnya, individu juga yang hancur. Pada saat hancur orang diarahkan kembali ke jalan raya. Dalam konteks Bali, itu berarti back to ritual.

Kronologi perjalanan di jalan raya sudah bisa diketahui bahkan sebelum berjalan. Karena jalan itu sudah dikenal. Misalnya, pertama-tama dari sini menuju ke sana. Selanjutnya, dari sana menuju lebih sana lagi. Kronologi seperti itu memudahkan orang mengetahui apakah perjalanan masih jauh, atau hampir sampai. Selain itu, orang bisa memprediksi berbagai kemungkinan. Mungkin di sana akan ada kemacetan. Mungkin di situ ada jembatan putus. Jalan raya lebih memberikan rasa aman dan kepastian. Karena ia ramai, ada rambu, dan ada polisi. Tinggal berjalan saja. Tidak perlu berpikir membuat jalan. Tidak pusing bertanya yang mana jalan menuju ke situ. Dan yang mana jalan menuju lebih ke situ lagi. Asal tahu membaca peta. Raya memang berkonotasi banyak dan besar. Tak heran, hari yang paling banyak dirayakan orang disebut Hari Raya. Ironisnya, hari yang sangat sepi akhirnya juga disebut hari raya. Hari Raya Nyepi. Jangan lupa, di jalan raya paling sering terjadi tabrakan. Korban berjatuhan dari benda sampai nyawa. Perasaan dan identitas juga sering menjadi korban. Di jalan raya banyak orang menjadi lengah, justru karena adanya beberapa kepastian. Bukan jumlah korban itu semata harga yang harus dibayar kepada sebuah jalan raya. Akan ada bayaran lebih mahal. Misalnya, orang mulai menghindari memakai jalan raya. Orang kemudian mencari jalan yang lebih sunyi. Orang semakin merindukan jalan yang walaupun kecil, berdebu dan berkeringat, tapi memberikan rasa. Jalan kecil itu muncul akibat sejumlah kejadian tiak manusiawi dijalan raya. Tidak berbeda dengan jalan raya agama. Di jalan raya agama sering juga terjadi tabrakan. Karena yang memakai jalan itu punya bermacam kepentingan. Tidak sedikit korban berjatuhan. Dari nyawa sampai hak milik. Dari harga diri sampai hak untuk mengekspresikan diri. Maka sangat manusiawi ketika satu dua orang akhirnya meninggalkan jalan raya agama. Mereka membuat jalannya sendiri.

Dalam konteks Bali, kasus ini sudah terjadi. Masih akan berlanjut. Semakin ganas sebuah jalan raya, semakin banyak orang terilhami mencari jalan alternatif. Lalu apa?

Ketika jalan umum ditutup untuk ritual, penganut ritual senang bila pemakai jalan mau mencari jalan lain. Karena kepentingan mereka berbeda. Sebaliknya, ketika ada orang menempuh jalan spiritual berbeda, banyak penganut ritual marah. Kemarahan kolektif itu sesering direalisasikan dalam bentuk pembunuhan karakter, penghancuran properti, dan bahkan pengusiran seseorang dari rumahnya sendiri.

Tidak mudah mengerti kenapa bisa begitu. Ada inkonsistensi antara senang menutup jalan umum dan benci pada jalan alternatif. Barangkali teman saya benar, yang mengatakan praktek pola-pikir kolektif akan individualisme di dalam dirinya sendiri. Cepat atau lambat. Sehingga perlawanan lebih sering datang dari dalam. Bukan dari luar seperti mereka duga. Sebuah benteng tradisi yang dibangun untuk menangkal pengaruh luar, yang dipandang negative, tidak hanya akan berguna. Karena kekuatan perlawanan sedang dibangun di dalam dirinya sendiri, oleh dirinya sendiri. Tuhan milik bersama. Mereka mencarinya bersama-sama dengan jalan yang sama. Bila ada anugerah Beliau, bersama-sama mereka, nikmati. Kalau Beliau murka, tentu itu akibat kesalahan bersama. Bersama pula menanggung akibatnya. Lagu “kebersamaan” sekarang semakin digemari oleh komunitas adat. Kalau sibuk, harus sibuk semua, Jangan sampai ada yang tidak sibuk. Kalau kotor, harus kotor semua, jangan sampai ada yang bersih sendiri.

Kebersamaan yang “harmonis” itu dijaga rambu-rambu yang semakin hari semakin keras sanksinya. Tujuannya mengantisipasi kompleksitas akibat kemajuan dunia Mereka setuju adanya perkembangan spiritualitas. Tapi tidak setuju perbedaan adalah pengayaan, tapi ancaman. Karena itulah, cara melindungi diri paling pintas, menutup jalan. Yang berbeda tidak boleh dibiarkan berkembang. Kepentingan bersama adalah legitimasinya. Isu pendukung kemudian disosialisasikan sebagai pembenaran, seperti itu pelestarian, pariwisata dan stabilitas.

Isu pelestarian dipinjam dari pandangan romantisme, yang beranggapan masa lalu lebih baik daripada masa kini. Beramai-ramai mereka hendak kembali ke masa lalu. Mereka bilang, kembali ke akar. Isu pariwisata mereka pinjam dari kapitalisme global, penentu kesejahteraan di dunia. Mereka bilang, pariwisata adalah jantung kehidupan ekonomi. Absurd, karena mereka pikir manusia bisa hidup hanya dengan jantung. Dan isu stabilitas mereka pelajari dari omongan penguasa sipil yang lebih meliter dari militer.

Tuhan milik pribadi”. Pandangan ini bukan tidak ada dalam tradisi. Pernah ada dan masih ada. Pencarian dilakukan lewat penghayatan pribadi. Ritualnya adalah realisasi diri. Realisasi diri nampak pada adanya rasa kecintaan, welas-asih, penghormatan pada nilai kemanusiaan, dan penghargaan atas perbedaan yang ada. Sayangnya, pandangan ini seperti sebuah nyanyian merdu yang ditenggelamkan gemuruh suara gelombang lautan. Bany­ak orang lebih mengagumi laut yang dahsyat daripada merenungi setetes embun di ujung rumput pagi-pagi ketika orang belum terjaga dari tidur.

Konflik jalan raya dan jalan alternatif menunjukkan sedang tumbuhnya benih perubahan. Fenomena ini memanaskan suhu politik agama dan adat. Ketika Siddharta meninggalkan tradisi pasti terjadi konflik antara ia dengan wakil kolektivitas. Ketika ia datang membawa pembaharuan, pastilah juga terjadi konflik antara “yang baru” dengan “yang lama”. Sejarah memberi tahu kita bahwa tradisi hanya hidup dari konflik yang dilahirkannya sendiri. Tak ada yang salah ketika pikiran masyarakat berkembang. Jalan alternatif adalah anak yang lahir dari “ibu jalan raya”. Konflik itulah ayahnya. Jalan raya bertanggungjawab atas lahirnya jalan alternatif. Munculnya perlawanan terhadap praktik tradisi, justru karena tradisi itu sendiri. “Musuh tidak jauh, ada di dalam diri sendirif”. Begitu bunyi sebuah puisi klasik yang sangat dikenal di seantero pulau ini.

Ketika tidak menyisakan ruang untuk perbedaan, tradisi sedang membangun benteng kematiannya sendiri. Cepat atau lambat itu akan terjadi. Tradisi yang ingin hidup panjang akan memelihara perbedaan itu. Sedangkan tradisi yang membunuh perbedaan, walau ingin hidup panjang pasti berumur pendek. “Hati-hati, ada upacara adat !”. IBM Dharma Palguna (Artikel Apresiasi - .Bali Post Minggu, 27 Agustus 2006).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template