Harian Kompas Cetak |Minggu, 9 Agustus 2015
Ayu Bulantrisna
Djelantik tetap cantik. Usianya sudah mendekati 70 tahun. Kecantikan itu seolah
memancar dari kedalaman dirinya. Ia seperti peribahasa Bali, ”Payuk perumpung
misi berem”. Bulan adalah periuk tua, tetapi menyimpan manis yang tak
habis-habis. Semakin tua semakin bercahaya, semakin memancarkan keindahan
kepada orang-orang di sekitarnya.
Mungkin begitulah
kodrat para penari. Mereka memperoleh berkah kecantikan berlimpah, yang
bersumber dari Dewi Saraswati, dewi seni yang menaungi keindahan dan
pengetahuan. Seni, kata Bulan, paduan yang pekat antara pengetahuan dan
keindahan. Cukup beralasan kalau kemudian ia memadukan ilmu kedokteran yang
eksak dan mengandalkan logika dengan kedalaman rasa yang muncul dari
gerak-gerak seni tari. ”Saya merasa ada harmoni,” tutur Bulantrisna, Rabu (5/8)
di Studio Tari Ayu Bulan di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.
Kami bercerita banyak
hal, seputar kegigihan ayahandanya, mendiang Dokter Anak Agung Made Djelantik,
serta ibundanya, Astri Henrietta Zwart. ”Ayah selalu mengantarkan saya berlatih
menari di Sekaa Gong Gunungsari sejak berusia 9 tahun,” kenang Bulan.
Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik
Lahir:
Deventer (Belanda), 8
September 1947
Profesi:
Dokter spesialis THT,
konsultan bidang kesehatan telinga/pendengaran dan audiologi, neuro-otologi
Pendidikan:
- Dokter Umum Universitas Padjadjaran, Bandung, (1975), Spesialis THT (1985)
- Dokter Medizin/S-2 di LM Universitat Muenchen (1989)
- Doktor/S-3 di Antwerp University Belgia (1996)
Pekerjaan:
- Pengajar ASTI Bandung (1972-1974)
- Pengajar Bagian Ilmu Faal FK Universitas Padjadjaran, Bandung, (1975-1978)
- Pengajar THT FK Universitas Padjajaran, Bandung, dan Konsultan World Health Organization South East Asia di New Delhi (1985-2004)
Kegiatan
Tari:
- Belajar menari sejak berusia 8 tahun pada guru-guru tari seperti Ida Bagus Bongkasa (Karangasem), Gusti Biang Sengog (Peliatan), I Kakul (Batuan), dan I Maria (Tabanan)
- Tahun 1955 pertama kali menarikan condong kebyar untuk publik di Pendopo Puri Agung Karangasem
- Tahun 1957-1965 anggota Sekaa Gong Gunungsari Peliatan di bawah pimpinan Anak Agung Mandera (Sejak itu setiap tahun menjadi penari dalam setiap misi kesenian Indonesia di luar negeri)
- Pernah mementaskan Energi Legong (1996) di Solo
- Legong Asmarandana (1996) di Bandung
- Legong Witaraga (2002) di Bandung dan Jakarta
- Janger Hiphop (2005) di San Francisco AS
- Janger Anti Stress (2006) di Amerika
- Bedoyo Legong Calonarang (2007) di Jakarta dan Singapura
- Topeng Panji dan Rengganis (2012) di Bali dan Jakarta
Sekaa Gong Gunungsari, Peliatan, Ubud, dipimpin oleh maestro seniman Anak Agung Mandera dan tahun 1931 telah mengikuti Colonial Expo di Paris, Perancis. Tari legong, kata Bulan, menjadi primadona saat ekspo berlangsung. Bahkan seorang komponis Eropa bernama Debussy kemudian menciptakan komposisi musik yang mengandung elemen-elemen gamelan Jawa. Sebagian dokumentasi tentang Colonial Expo, yang juga dipandu Raja Gianyar Ida Anak Agung Ngurah Agung itu ditulis Bulan dalam bukunya Tari Legong, dari Kajian Lontar ke Panggung Masa Kini, yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
Anda pernah bertanya
kepada diri, mengapa menjadi penari?
Menari itu seperti
karma, tidak direncanakan, tidak diharapkan, terjadi begitu saja. Kalau lihat
foto-foto saya di masa kecil, gerak-gerak itu sudah seperti menari. Belum
belajar, sudah seperti menari….
Apa yang bisa Anda
katakan mengenai karma, legong, dan hidup Anda sekarang ini?
Saya rasa semua orang
religius mengerti ada jalan hidup yang sudah ditentukan. Karma tergantung pada
perbuatan kita, masa lalu, kini, dan nanti. Mungkin ini semacam takdir hidup.
Ada hal-hal yang tak bisa kita atur, ada hal-hal yang tak bisa diterangkan, apalagi
dilogikakan, tetapi nyata dan terjadi. Mungkin Anda tidak tahu, saya selalu
berusaha untuk menjauh dari dunia tari. Saya selalu berusaha untuk tidak menari
lagi, cukup, tetapi selalu tidak bisa. Waktu memilih kampus untuk kuliah, ayah
bilang, ”Kalau kuliah di Jakarta dekat dengan Istana Negara, nanti menari lagi.
Pilih yang jauh saja.” Saya akhirnya pilih kuliah di Kedokteran Unpad Bandung.
Nyatanya apa? Belum berapa lama di Bandung, kawan-kawan dari Sanggar Gita
Saraswati kekurangan penari, jadi saya harus menari lagi….
Sewaktu kelas III di SMAN Denpasar (sekarang SMAN 1 Denpasar), Bulan pernah memilih mengikuti training center di Jakarta sebagai persiapan ke luar negeri. Ia harus meninggalkan ujian akhirnya di sekolah. ”Tetapi, akhirnya enggak jadi berangkat karena peristiwa G30S. Saya pikir saya akan berhenti menari, eh tapi terus ya itu, kuliah ke Bandung malah mengajar menari di sana,” kenang cucu raja terakhir Kerajaan Karangasem, Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem, ini.
Sebagai keturunan bangsawan
berdarah campuran yang lahir di Belanda, orangtuanya merasa perlu mengenalkan
Bulan pada kampung halamannya di Karangasem. Ketika ia berusia 7 tahun, dalam
satu liburan, pasangan Djelantik-Astri menitipkan Bulan kepada pamannya,
pewaris takhta Kerajaan Karangasem, Anak Agung Gde Djelantik. ”Saya tinggal 6
bulan di Puri Kertasura Karangasem, belajar menari, tetapi setiap hari sedihhh…
jauh dari orangtua,” tutur Bulan. Tetapi, kemudian ia sadar, itulah awal yang
kemudian menentukan cerita hidupnya sebagai penari legong kawakan.
Apa Anda pernah
berpikir menjadikan tari sebagai pilihan hidup?
Sama sekali tidak.
Dulu sewaktu habis menari, ketika sudah bergabung sebagai penari legong di
Peliatan, paling diberi uang untuk beli es sirup dan ketipat cantok
(ketupat ulek). Itu sudah bahagia sekali. Kalau latihan selalu sampai malam,
kalau orangtua tidak bisa jemput, saya pulang ke Denpasar dari Ubud diantar
dengan truk… ha-ha-ha. Itu kenangan yang tak terlupa….
(oleh Putu Fajar Arcana).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !