SIWA-DWARA: PINTU RUHANI MANUSIA BALI - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » SIWA-DWARA: PINTU RUHANI MANUSIA BALI

SIWA-DWARA: PINTU RUHANI MANUSIA BALI

Written By GDE NOGATA on Jumat, 28 Agustus 2015 | 00.45

Oleh: Sugi Lanus (30 Desember 2014)
Kemanapun orang Bali pergi, ia mengusung ‘jalan’ di ubun-ubunnnya.
Kelebutan (atau pabahan) atau ubun-ubun yang berdenyut ketika bayi masih merah dipercaya sebagai Siwadwara atau ‘jalan Siwa’. Bagian itu dipercaya sebagai jalan hilir mudik ‘ruh’ kita. Jalan menelusuri jagat batiniah, sampai masuk ke ‘alam Siwa’ atau alam kesejatian asal muasal kehidupan.
Ketika beranjak besar sang bayi kehilangan detak di ubun-ubunnya, konon, saat itulah semesta dirinya terputus dengan semesta kesejagatan batiniah. Terlebih setelah dewasa, sang manusia lengah melupakan ‘jalan’ itu, demi menempuh atau bertahan di dunia keseharian yang tidak mudah direngkuh.
Di Siwadwara tidak ada sosok dwarapala (patung penjaga pintu) layaknya sebuah jembatan atau kori puri atau pura. Kepala ditumbuhi rambut, dan rambut itulah yang menjadi semacam dwarapala bagi Siwadwara kita. Sang Biksu mencukur gundul rambutnya, menjadi pertanda ia telah ‘memilih jalan’ untuk kembali membuka Siwadwara yang telah dilebati dan ditutupi hutan rambut. Sang Rsi mengikat rambut dan mapusungan, seakan menandai semua kelebatan dan hutan rambut ‘merujuk’ ke arah Siwadwara.
Dalam praktek Sama-Adi cara Bali, proses ngili-atma atau nuntun-atma, kembali sang calon Pandita diajak ‘membuka kembali’ jalan itu. Merenungi ‘pipa gaib’ yang menjadi poros dan sekaligus pusaran diri. Tegak. Tunggal. Terhubung. Menelusuri hening diri dan titik terdalam di titik 0 kilometer ubun-ubun diri: Siwadwara.
Dalam praktek sederhana orang kebanyakan, jika mebayuh atau melukat, atau proses penyucian dengan air suci, yang dilukat adalah titik ubun-ubun itu juga. Titik itu kembali ‘dibasahi’ dan ‘diurap’ agar kembali lembek dan tidak ‘membatu’ alias tertutup rapat.
Jika kepala (ubun-ubun) membatu, merapat, atau tertutup, maka dipercaya tertutup pulalah hati dan jiwa serta ruhani kita. Tidak lagi terhubung dengan Jiwa Maha Tinggi itu, muasal kehidupan, Sangkan Paraning Dumadi. Ungkapan ‘berkepala batu’ yang mengandung arti keras tak mau mendengar, jika dihubungkan denganSiwadwara, ia ‘tak mendengar yang batiniah’.
Perkara ubun-ubun sebagai titik tertinggi tubuh secara spiritual inilah yang menjadi salahsatu alasan kenapa orang Bali harus menjaga kepalanya: Tidak boleh sembarangan mesulub atau tidak boleh kena langkahan orang, atau lewat jemuran atau segala yang dianggap leteh (impure) alias kotor secara niskala. Semacam ‘amanat’ bagi orang Bali menjaga kesucian kepala, bahwa ada ‘jalan Siwa’ atauSiwadwara di pabahan (ubun-ubun) kita.
Ungkapan sederhana bahwa ‘Siwadwara ring pabahan’ (Jalan Siwa di bagian atas kepala) makin ditelisik makin tidak sederhana. Ini bisa dianggap metafor, namun di kalangan penekun kebatinan Bali menerima hal ini bukan sebatas metaphor, mereka bisa merasakan getaran ‘jalan Siwa’ kita usung kemana-mana, di atas kepala kita.
Merenungi Siwadwara ini, kembali terngiang tembang pembuka Geguritan Sucita Subudi:
“Jenek ring Meru sarira, Kastiti Hyang Maha Suci, Mapuspa Padma Hredaya, Maganda ya tisning Budi, Malepana Sila Hayu, Mawija Menget Prakasa, Kukusing Sad Ripu dagdi, dupan ipun, Madipa hidepe galang”.
[Termaktub di kuil-meru dalam diri, memohon pada Hyang Maha Suci, dengan sarana bunga Padma Hredaya, sarana harum kesejukan Budi, didasari tindakan mulia, berbija Menget Prakasa, berasapkan dupa Sad Ripu, berapikan pikiran terang].
Itulah ‘jalan dalam diri’. Geguritan tersebut lebih lanjut membabarkan bahwa di dalam diri Meru (tiang suci) itu tegak lurus bagai buluh berlubang membungbung ke akasa jiwa.
Warisan istilah dan ajaran tentang Siwadwara ini memberi kesadaran pada orang Bali bahwa disamping tubuh sebagai beban, tubuh sekaligus juga ‘jalan’. ‘Siwadwara’(Jalan batin) tetap kita usung kemana-mana sekalipun kita ‘tertidur’ atau ‘lupa’, dan sampai akhirnya kita harus kembali ‘pulang’ lewat jalan itu pula.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template