Kemanapun
orang Bali pergi, ia mengusung ‘jalan’ di ubun-ubunnnya.
Kelebutan (atau pabahan) atau
ubun-ubun yang berdenyut ketika bayi masih merah dipercaya sebagai Siwadwara atau
‘jalan Siwa’. Bagian itu dipercaya sebagai jalan hilir mudik ‘ruh’ kita. Jalan
menelusuri jagat batiniah, sampai masuk ke ‘alam Siwa’ atau alam kesejatian
asal muasal kehidupan.
Ketika
beranjak besar sang bayi kehilangan detak di ubun-ubunnya, konon, saat itulah
semesta dirinya terputus dengan semesta kesejagatan batiniah. Terlebih setelah
dewasa, sang manusia lengah melupakan ‘jalan’ itu, demi menempuh atau bertahan
di dunia keseharian yang tidak mudah direngkuh.
Di Siwadwara tidak
ada sosok dwarapala (patung penjaga pintu) layaknya sebuah
jembatan atau kori puri atau pura. Kepala ditumbuhi rambut, dan rambut itulah
yang menjadi semacam dwarapala bagi Siwadwara kita.
Sang Biksu mencukur gundul rambutnya, menjadi pertanda ia telah ‘memilih jalan’
untuk kembali membuka Siwadwara yang telah dilebati dan ditutupi
hutan rambut. Sang Rsi mengikat rambut dan mapusungan, seakan
menandai semua kelebatan dan hutan rambut ‘merujuk’ ke arah Siwadwara.
Dalam
praktek Sama-Adi cara Bali, proses ngili-atma atau nuntun-atma,
kembali sang calon Pandita diajak ‘membuka kembali’ jalan itu. Merenungi ‘pipa
gaib’ yang menjadi poros dan sekaligus pusaran diri. Tegak. Tunggal. Terhubung.
Menelusuri hening diri dan titik terdalam di titik 0 kilometer ubun-ubun
diri: Siwadwara.
Dalam
praktek sederhana orang kebanyakan, jika mebayuh atau melukat, atau proses
penyucian dengan air suci, yang dilukat adalah titik ubun-ubun itu juga. Titik
itu kembali ‘dibasahi’ dan ‘diurap’ agar kembali lembek dan tidak ‘membatu’
alias tertutup rapat.
Jika
kepala (ubun-ubun) membatu, merapat, atau tertutup, maka dipercaya tertutup
pulalah hati dan jiwa serta ruhani kita. Tidak lagi terhubung dengan Jiwa Maha
Tinggi itu, muasal kehidupan, Sangkan Paraning Dumadi. Ungkapan
‘berkepala batu’ yang mengandung arti keras tak mau mendengar, jika dihubungkan
denganSiwadwara, ia ‘tak mendengar yang batiniah’.
Perkara
ubun-ubun sebagai titik tertinggi tubuh secara spiritual inilah yang menjadi
salahsatu alasan kenapa orang Bali harus menjaga kepalanya: Tidak boleh
sembarangan mesulub atau tidak boleh kena langkahan orang,
atau lewat jemuran atau segala yang dianggap leteh (impure)
alias kotor secara niskala. Semacam ‘amanat’ bagi orang Bali menjaga kesucian
kepala, bahwa ada ‘jalan Siwa’ atauSiwadwara di pabahan (ubun-ubun)
kita.
Ungkapan
sederhana bahwa ‘Siwadwara ring pabahan’ (Jalan Siwa di bagian atas
kepala) makin ditelisik makin tidak sederhana. Ini bisa dianggap metafor, namun
di kalangan penekun kebatinan Bali menerima hal ini bukan sebatas metaphor,
mereka bisa merasakan getaran ‘jalan Siwa’ kita usung kemana-mana, di atas kepala
kita.
Merenungi Siwadwara ini,
kembali terngiang tembang pembuka Geguritan Sucita Subudi:
“Jenek ring Meru sarira, Kastiti Hyang Maha Suci, Mapuspa Padma
Hredaya, Maganda ya tisning Budi, Malepana Sila Hayu, Mawija Menget Prakasa,
Kukusing Sad Ripu dagdi, dupan ipun, Madipa hidepe galang”.
[Termaktub
di kuil-meru dalam diri, memohon pada Hyang Maha Suci, dengan sarana
bunga Padma Hredaya, sarana harum kesejukan Budi, didasari tindakan
mulia, berbija Menget Prakasa, berasapkan dupa Sad Ripu,
berapikan pikiran terang].
Itulah
‘jalan dalam diri’. Geguritan tersebut lebih lanjut membabarkan bahwa di dalam
diri Meru (tiang suci) itu tegak lurus bagai buluh berlubang membungbung ke
akasa jiwa.
Warisan istilah dan
ajaran tentang Siwadwara ini memberi kesadaran pada orang Bali bahwa disamping
tubuh sebagai beban, tubuh sekaligus juga ‘jalan’. ‘Siwadwara’(Jalan
batin) tetap kita usung kemana-mana sekalipun kita ‘tertidur’ atau ‘lupa’, dan
sampai akhirnya kita harus kembali ‘pulang’ lewat jalan itu pula.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !