YANG DIKALAHKAN : IKAN PERTAMA [2] - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » YANG DIKALAHKAN : IKAN PERTAMA [2]

YANG DIKALAHKAN : IKAN PERTAMA [2]

Written By GDE NOGATA on Senin, 06 Juli 2015 | 00.40

DALAM ajaran yang melatarbelakangi cerita Tiga Ekor Ikan itu, kenyataan disebut tattwa. Kata ini secara harfiah berarti ke-Itu-an. Tat berarti ‘itu’. Tattwa adalah ke-Itu-an. Kenyataan dikonstruksikan sebagai “yang itu”. Bukan “yang ini”. Yang ini adalah fenomena maya. Yang itu adalah kenyataannya. Tidak mudah menjelaskannya. Tapi, bisa dirasakan perbedaan antara “yang ini” dan “yang itu” dalam konteksnya.
 Istilah tattwa sangat banyak dipergunakan untuk menjelaskan prinsip-prinsip Samhkyadarshana, Yoga, Tantra, dan sebagainya. Ada yang menerjemahkannya dengan ‘kenyataan’, ada pula yang menerjemahkannya dengan ‘hakikat’. Bahkan dalam tiga kerangka agama Hindu (tattwa-susila-upakara) tattwa sering diterjemahkan sebagai aspek filsafat.
“Jangan lari dari kenyataan.” Itulah yang hendak dikatakan oleh Ikan Bungsu. Ucapannya kemudian menjadi ungkapan yang banyak ditiru orang. Bahkan orang yang tidak mengerti suatu permasalahan pun akan dengan fasih berkata demikian. Apa yang Ikan Bungsu maksud dengan kenyataan?
Dalam pandangan Ikan Bungsu, kenyataan adalah telaga akan kering, dan mereka akan mati. Menghadapi kenyataan ini ia tidak akan lari. Ia akan jalani hidup di telaga yang mengering, dan akan menyongsong kematian. Orang mungkin akan berpikir, itu adalah penyikapan yang gagah, atau sebaliknya, penyikapan yang bodoh. Sama seperti perang puputan. Ada kalangan yang menganggap itu kegagahan. Tidak sedikit pula orang yang menganggap itu strategi perang yang  tak berdaya. Karena kegagahan itu dimunculkan pada saat ketidakberdayaan. Tidak beda dengan kepasrahan orang yang kalah adalah bentuk lain dari kelemahan itu sendiri. Tapi bila kekalahan dan kelemahan itu dalam sejarah diubah menjadi nilai yang dianggap luhur, itu adalah hasil kerja bahasa. Dalam kasus Ikan Bungsu, banyak pembaca Tantri mengatakan itu kematian yang konyol. Seakan “dunia” terbatas pada telaga itu saja. Sungai, danau, lautan, dan bahkan telaga-telaga lainnya dianggap tidak ada. Telaga sendiri dianggap sebagai pusatnya dunia, pusering jagat.
Sedangkan Ikan Pertama tidak menempatkan titik pusat itu pada telaga tempatnya hidup yang akan mengering itu. Dalam pandangannya, pusat itu tidak satu. Ada lapis-lapis kehidupan yang pada setiap lapisnya memiliki pusat. Hidup adalah perjalanan dari satu lapis terluar menuju lapis terdalam dengan melewati beberapa lapis di antaranya. Maksudnya, dari satu telaga yang ekskulusif dan terpisah menuju samudera di mana identitas hilang, atau di mana semua identitas bersatu. Telaga tempatnya hidup memiliki hubugan dengan telaga-telaga lain, dengan sungai, dengan danau, dan dengan samudera. Semua itu ada dalam satu bumi mandala, atau lingkaran bumi, dan selanjutnya lingkaran bumi ada dalam wiswa mandala, lingkaran semesta raya. Dengan pandangan seperti itu, Ikan Pertama tidak membedakan entah ia berada di telaga A, atau telaga B, atau di sungai, di danau, atau di samudera. Ini adalah bumi-ikan, dan ia adalah ikan segala bangsa. Di sana dan di sini, kiri dan kanan, di timur dan di barat adalah penanda yang dibuat manusia. Pada sebuah lingkaran semua titik bertemu. Semua titik bisa menjadi awal dan sekaligus menjadi akhir. Dalam sebuah lingkaran yang berangkat ke timur akan datang dari arah barat, dan sebaliknya.
Ikan Ketiga dan Ikan Pertama hidup di telaga yang sama, minum air yang sama, dibesarkan oleh sejarah yang sama, keduanya membaca teks yang sama dari mazhab yang sama pula, tapi dalam mengidentifikasikan kenyataan keduanya sangat bertolakbelakang. Ikan Pertama alanglang dari satu sumber air ke sumber air yang lain, dari gunung ke laut, dari sungai ke sungai, dan ia tetap menemukan dirinya ada di air. Air di bumi mandala ini satu. Pulau-pulau tidak memisahkan laut, tapi setiap pulau ada di dalam laut. Pada saat mati, Ikan Pertama akan mati di dalam air. Sedangkan Ikan Bungsu tidak mati di air, tapi di lumpur yang mongering, dan tubuhnya masuk ke dalam dungki pencari ikan. Sampai di rumah isi perutnya dikeluarkan dan badannya dimutilasi. Mungkin digoreng, mungkin direbus, mungkin ditambus.
Ikan dan air adalah metafora. Bagi beberapa orang, kematian adalah sebuah pilihan. Banyak ajaran menyarankan agar orang mempelajari kematian itu. Orang hendaknya mempersiapkan diri untuk kematian itu. Tradisi menyediakan berbagai ajaran tentang itu. Walaupun demikian, kebanyakan orang tetap saja tidak punya pilihan apa pun ketika Mertyunjaya mengetuk pintu. Karena ajaran adalah satu hal, dan kehidupan sehari-hari adalah hal yang lain. Ajaran adalah teks. Kehidupan sehari-hari adalah konteks. Bila antara teks dengan konteks terjadi hubungan yang terputus, bukan salah keduanya. Idealita dengan realita tidak harus selalu bertemu. Banyak nilai-nilai diwariskan dalam bentuk nilai yang utuh sebagai kekayaan pikiran, atau kemewahan intelek.
Bagaimana kita memahami metafora ikan itu?  Ada dua kata kunci, sulung dan bungsu. Kedua kata kunci itu adalah penanda atau simbul. Jiwa adalah yang sulung. Badan adalah yang bungsu. Jiwa itu bebas. Tubuh ini terikat. Jiwa hidup terus ketika tubuh mati. Kenyataan yang diidentifikasikan oleh jiwa jelas berbeda dengan kenyataan yang diidentifikasikan oleh tubuh. Jiwa terus mengalir mencari wadah. Ketika wadah-telaga yang satu sudah mengering dan mati, jiwa mengalir mencari wadah yang baru. Badan mati di tanah.
Jaman yang berpusat pada jiwa lebih banyak berurusan dengan peradaban batin. Jaman yang berpusat pada tubuh lebih banyak berurusan dengan peradaban fisik. Dalam perjalanan sejarah kadang titikberatnya pada yang pertama, dan kadang pada yang disebut kedua. Susah menemukan pembuktian bahwa keduanya pernah berjalan secara seimbang. Keseimbangan batin dan fisik menjadi nilai ideal. Mungkin hanya individu tertentu bisa mencapai kesejahteraan badan dan kelepasan jiwa sekaligus. Yang kita pernah dengar, hanya sebatas informasi yang disahkan oleh kewenangan insitusional.
Kembali ke pertanyaan awal. Mengapa Ikan Terbungsu paling banyak mendapatkan apresiasi dalam kebudayaan Bali, sedangkan Bhagawan Basubhaga menyarankan Ikan Pertama? Karena terjadi pergeseran resepsi auidens, dari peradaban batin ke peradaban fisik. Pergeseran itu terjadi dengan sangat alamiah sehingga tidak disadari. Ketidakterasaan itu nampak dalam gejala tidak suka pada perubahan, walau perubahan itu sesungguhnya sedang dijalani. Senang pada kemegahan masa lalu, walau  kemegahan itu sesungguhnya telah ditinggalkan. Jiwa menjadi tidak tersentuh dalam hingar-bingar kebudayaan fisik. Ia yang mengakui jiwa sebagai pusat kehidupan, tapi menemukan diri berpusat pada fisik. Tentu bukan kemauannya kesenjangan itu terjadi. Tekanan beban hidup yang berat membuat keadaan seperti itu terjadi. Barangkali perasaan bersalah secara kolektif inilah yang menyebabkan mengapa ritual semakin digandrungi. Ritual menjadi tebusan yang mesti dibayar. Perasaan bersalah kepada alam lingkungan dibayar dengan bendu piduka. Perasaan bersalah pada leluhur dan dewa-dewa dibayar dengan guru piduka. Semakin besar perasaan bersalah itu, sebagai besar bayaran yang mereka pikir harus dilunasi. Tidaklah mengherankan, sesuatu yang semestinya halus (suksma)  dan rahasia (rahasya) menjadi verbal dan massal.
Ketika lalulintas peradaban fisik ini menemukan kemacetannya, muncullah kerinduan pada peradaban jiwa yang bebas. Di manakah Ikan Pertama, pendahulu Ikan Bungsu itu? Apakah ia sedang menjelajahi sungai, danau, laut, gunung, sagara-giri, seperti seorang kawi wiku yang nir-artha? * ##ibm dharma palguna* www.parisada.org
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template