DALAM
ajaran yang melatarbelakangi cerita Tiga Ekor Ikan itu, kenyataan disebut tattwa. Kata ini secara
harfiah berarti ke-Itu-an. Tat
berarti ‘itu’. Tattwa adalah ke-Itu-an. Kenyataan dikonstruksikan sebagai “yang
itu”. Bukan “yang ini”. Yang ini adalah fenomena maya. Yang itu adalah
kenyataannya. Tidak mudah menjelaskannya. Tapi, bisa dirasakan perbedaan antara
“yang ini” dan “yang itu” dalam konteksnya.
Istilah tattwa sangat banyak dipergunakan untuk menjelaskan prinsip-prinsip
Samhkyadarshana, Yoga, Tantra, dan sebagainya. Ada yang menerjemahkannya dengan
‘kenyataan’, ada pula yang menerjemahkannya dengan ‘hakikat’. Bahkan dalam tiga
kerangka agama Hindu (tattwa-susila-upakara)
tattwa sering diterjemahkan sebagai aspek filsafat.
“Jangan lari dari kenyataan.” Itulah yang hendak dikatakan oleh Ikan
Bungsu. Ucapannya kemudian menjadi ungkapan yang banyak ditiru orang. Bahkan
orang yang tidak mengerti suatu permasalahan pun akan dengan fasih berkata
demikian. Apa yang Ikan Bungsu maksud dengan kenyataan?
Dalam pandangan Ikan Bungsu, kenyataan adalah telaga akan kering, dan
mereka akan mati. Menghadapi kenyataan ini ia tidak akan lari. Ia akan jalani
hidup di telaga yang mengering, dan akan menyongsong kematian. Orang mungkin
akan berpikir, itu adalah penyikapan yang gagah, atau sebaliknya, penyikapan
yang bodoh. Sama seperti perang puputan. Ada kalangan yang menganggap itu
kegagahan. Tidak sedikit pula orang yang menganggap itu strategi perang
yang tak berdaya. Karena kegagahan itu
dimunculkan pada saat ketidakberdayaan. Tidak beda dengan kepasrahan orang yang
kalah adalah bentuk lain dari kelemahan itu sendiri. Tapi bila kekalahan dan
kelemahan itu dalam sejarah diubah menjadi nilai yang dianggap luhur, itu
adalah hasil kerja bahasa. Dalam kasus Ikan Bungsu, banyak pembaca Tantri
mengatakan itu kematian yang konyol. Seakan “dunia” terbatas pada telaga itu
saja. Sungai, danau, lautan, dan bahkan telaga-telaga lainnya dianggap tidak
ada. Telaga sendiri dianggap sebagai pusatnya dunia, pusering jagat.
Sedangkan Ikan Pertama tidak menempatkan titik pusat itu pada telaga
tempatnya hidup yang akan mengering itu. Dalam pandangannya, pusat itu tidak
satu. Ada lapis-lapis kehidupan yang pada setiap lapisnya memiliki pusat. Hidup
adalah perjalanan dari satu lapis terluar menuju lapis terdalam dengan melewati
beberapa lapis di antaranya. Maksudnya, dari satu telaga yang ekskulusif dan
terpisah menuju samudera di mana identitas hilang, atau di mana semua identitas
bersatu. Telaga tempatnya hidup memiliki hubugan dengan telaga-telaga lain,
dengan sungai, dengan danau, dan dengan samudera. Semua itu ada dalam satu bumi mandala, atau lingkaran bumi, dan
selanjutnya lingkaran bumi ada dalam wiswa
mandala, lingkaran semesta raya. Dengan pandangan seperti itu, Ikan Pertama
tidak membedakan entah ia berada di telaga A, atau telaga B, atau di sungai, di
danau, atau di samudera. Ini adalah bumi-ikan, dan ia adalah ikan segala
bangsa. Di sana dan di sini, kiri dan kanan, di timur dan di barat adalah
penanda yang dibuat manusia. Pada sebuah lingkaran semua titik bertemu. Semua
titik bisa menjadi awal dan sekaligus menjadi akhir. Dalam sebuah lingkaran
yang berangkat ke timur akan datang dari arah barat, dan sebaliknya.
Ikan Ketiga dan Ikan Pertama hidup di telaga yang sama, minum air yang
sama, dibesarkan oleh sejarah yang sama, keduanya membaca teks yang sama dari
mazhab yang sama pula, tapi dalam mengidentifikasikan kenyataan keduanya sangat bertolakbelakang. Ikan Pertama alanglang dari satu sumber air ke sumber
air yang lain, dari gunung ke laut, dari sungai ke sungai, dan ia tetap
menemukan dirinya ada di air. Air di bumi mandala ini satu. Pulau-pulau tidak
memisahkan laut, tapi setiap pulau ada di dalam laut. Pada saat mati,
Ikan Pertama akan mati di dalam air. Sedangkan Ikan Bungsu tidak mati di air,
tapi di lumpur yang mongering, dan tubuhnya masuk ke dalam dungki pencari ikan. Sampai di rumah isi perutnya dikeluarkan dan
badannya dimutilasi. Mungkin digoreng, mungkin direbus, mungkin ditambus.
Ikan dan air adalah metafora. Bagi beberapa orang, kematian adalah sebuah pilihan.
Banyak ajaran menyarankan agar orang mempelajari kematian itu. Orang hendaknya
mempersiapkan diri untuk kematian itu. Tradisi menyediakan berbagai ajaran
tentang itu. Walaupun demikian, kebanyakan orang tetap saja tidak punya pilihan
apa pun ketika Mertyunjaya mengetuk pintu. Karena ajaran
adalah satu hal, dan kehidupan sehari-hari adalah hal yang lain. Ajaran adalah
teks. Kehidupan sehari-hari adalah konteks. Bila antara teks dengan konteks
terjadi hubungan yang terputus, bukan salah keduanya. Idealita dengan realita
tidak harus selalu bertemu. Banyak nilai-nilai diwariskan dalam bentuk nilai
yang utuh sebagai kekayaan pikiran, atau kemewahan intelek.
Bagaimana kita memahami metafora ikan itu?
Ada dua kata kunci, sulung
dan bungsu. Kedua kata kunci itu
adalah penanda atau simbul. Jiwa adalah yang sulung. Badan adalah yang bungsu.
Jiwa itu bebas. Tubuh ini terikat. Jiwa hidup terus ketika tubuh mati.
Kenyataan yang diidentifikasikan oleh jiwa jelas berbeda dengan kenyataan yang
diidentifikasikan oleh tubuh. Jiwa terus mengalir mencari wadah. Ketika
wadah-telaga yang satu sudah mengering dan mati, jiwa mengalir mencari wadah yang
baru. Badan mati di tanah.
Jaman yang berpusat pada jiwa lebih banyak berurusan dengan peradaban
batin. Jaman yang berpusat pada tubuh lebih banyak berurusan dengan peradaban
fisik. Dalam perjalanan sejarah kadang titikberatnya pada yang pertama, dan kadang
pada yang disebut kedua. Susah menemukan pembuktian bahwa keduanya pernah
berjalan secara seimbang. Keseimbangan batin dan fisik menjadi nilai ideal.
Mungkin hanya individu tertentu bisa mencapai kesejahteraan badan dan kelepasan
jiwa sekaligus. Yang kita pernah dengar, hanya sebatas informasi yang disahkan
oleh kewenangan insitusional.
Kembali ke pertanyaan awal. Mengapa Ikan Terbungsu paling banyak
mendapatkan apresiasi dalam kebudayaan Bali, sedangkan Bhagawan Basubhaga
menyarankan Ikan Pertama? Karena terjadi pergeseran resepsi auidens, dari
peradaban batin ke peradaban fisik. Pergeseran itu terjadi dengan sangat
alamiah sehingga tidak disadari. Ketidakterasaan itu nampak dalam gejala tidak
suka pada perubahan, walau perubahan itu sesungguhnya sedang dijalani. Senang
pada kemegahan masa lalu, walau
kemegahan itu sesungguhnya telah ditinggalkan. Jiwa menjadi tidak
tersentuh dalam hingar-bingar kebudayaan fisik. Ia yang mengakui jiwa sebagai
pusat kehidupan, tapi menemukan diri berpusat pada fisik. Tentu bukan
kemauannya kesenjangan itu terjadi. Tekanan beban hidup yang berat membuat
keadaan seperti itu terjadi. Barangkali perasaan bersalah secara kolektif
inilah yang menyebabkan mengapa ritual semakin digandrungi. Ritual menjadi
tebusan yang mesti dibayar. Perasaan bersalah kepada alam lingkungan dibayar
dengan bendu piduka. Perasaan
bersalah pada leluhur dan dewa-dewa dibayar dengan guru piduka. Semakin besar perasaan bersalah itu, sebagai besar
bayaran yang mereka pikir harus dilunasi. Tidaklah mengherankan, sesuatu yang
semestinya halus (suksma) dan rahasia (rahasya) menjadi verbal dan massal.
Ketika
lalulintas peradaban fisik ini menemukan kemacetannya, muncullah kerinduan pada
peradaban jiwa yang bebas. Di manakah Ikan Pertama, pendahulu Ikan Bungsu itu?
Apakah ia sedang menjelajahi sungai, danau, laut, gunung, sagara-giri, seperti seorang kawi wiku yang nir-artha? * ##ibm dharma palguna* www.parisada.org
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !