UDAR
RASA
JEAN
COUTEAU
Harian - Kompas Cetak | 26 Juli 2015
Wayan dan Fatim telah pergi lebih dari satu minggu dan saya sudah
mendambakan kehadirannya kembali. Membaca berita yang merisaukan tentang
pembakaran masjid dan gereja di Papua dan Jawa tengah, saya memang perlu Wayan
dan Fatim untuk memperkokoh optimisme saya: selama rakyat kecil ”bodoh” seperti
mereka, negeri bisa aman.
Wayan adalah tukang, Fatim adalah pembantu kami. Keduanya berjiwa
rakyat. Miskin. Murah senyum. Mereka pergi empat hari menjelang Lebaran, dua
hari menjelang Galungan. Tahun ini, Lebaran berdempet dengan Galungan, maka
mereka bisa menjalankan ”ibadahnya” secara berturut-turut: menghormati para
leluhur Bali dari Wayan di Bali Utara pada hari raya Galungan, lalu menyeberang
Selat Bali untuk bersilaturahim di desa asal Fatim di lereng barat Gunung Raung
untuk hari raya Lebaran. Tidak pernah terpikir di benak mereka bahwa cara
mereka menjalankan ”ibadah” dapat dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat.
Wayan dan Fatim adalah contoh dari ratusan ribu dan bahkan mungkin
jutaan orang Indonesia yang tidak peduli tentang apa yang kini disebut
perbedaan keyakinan. Agama bagi mereka tidak ditentukan oleh acuan pada naskah
yang ”benar” yang terus dilafalkan, tetapi oleh semacam tafsir umum yang
beredar tanpa sekat di antara sesama orang kecil. Bagi Fatim, Wayan tidak pernah
menjadi orang seberang, apalagi ”kafir”. Tinggal di Bali dan berbahasa Bali,
dia hanya melihat dalam diri Wayan, seorang tukang bangunan yang cakep lagi
baik. Cukup! Maka, ketika Wayan mulai berkejitan mata sama dia, dua tahun yang
lalu, Fatim tidak melewatkan kesempatan itu. Cinta menyusul, berikut si kecil
Bagus yang kini terus membuntuti ibunya sewaktu menyiapkan kopi buat saya.
Fatim adalah orang Jawa ndeso. Perihal ayat-ayat ”seru” yang, kata kaum Islam liberal hendaknya
ditafsir secara kontekstual, jangan ditanyai! Dia pasti bengong melongo. Wayan
posisinya tak jauh berbeda. Soal filsafat kosmis, Punarbawa, Weda, dan
topik-topik Hindu yang diperdebatkan di majalah ”umat”, dia awam dan tidak
terlalu peduli. Yang penting baginya adalah berbakti kepada leluhur dan ngayah (aktif menjalankan kewajiban) di desa—sambil berbuat baik demi
karma. Itu saja! Saya pernah menanyakan pendapatnya tentang Islam, no problim, sahutnya. ”Bukankah semua agama sama, hanya caranya yang lain,”
tambah dia segera lalu diiyakan oleh Fatim, istrinya. ”Apalagi,” dia tekankan
lagi dengan sungguh-sungguh, ”ustaz yang mengesahkan pernikahan kami tidak
keberatan.”
Sikap dari Wayan dan Fatim terhadap agama adalah sama: kadar
teologi dan identitas nihil. Mereka dipersatukan oleh ”ketidaktahuannya”. Hal
ini bisa dikritik, tetapi tidak disanggah karena umum pada rakyat kecil
Indonesia tertentu. Memang, apa pun siksaan neraka yang dijanjikannya, rakyat
itu tetap lebih ”enak” tidak melihat perbedaan antaragama dan menekankan
persamaannya daripada balikannya. Acuan spiritual utamanya bukan pada ”surat”
nan mutlak yang diturunkan jauh ”di sana”, tetapi pada ”tutur” lokal nan luwes
terefleksi batin. Bahkan, bagi tradisi mereka, upaya penggalian spiritual tidak
selalu berbuah hasil yang baik: bukankah tak sedikit petapa dari cerita rakyat
(Raja Bedahulu) dan pewayangan (Niwatakawaca) yang, alih-alih menemukan
”pencerahan”, sebaliknya menjelma menjadi raksasa yang angkara murka.
Rakyat kecil seperti Fatim dan Wayan di atas adalah tulang
punggung toleransi ala Indonesia. Namun, toleransi ragam ini kini terancam.
Akibat terutama pendidikan modern dan IT, pola keyakinan rakyat berubah dari
berasas ”tutur” cenderung menjadi berasas ”surat”—yang sering ditafsir dengan
kaku. Di antara mereka, ”miskin” puisi, yang tak mau tahu bahwa tak pernah ada
makna tunggal pada suatu kata—maka pula pada suatu ayat.
Kini, meminjam rumusan penyair sufi Tunisia, Abdelwahab Meddeb
(1946-2014, 2006:484), para penganut Islam berhadapan dengan suatu dilema:
apakah memilih suratan agama meski dengan mengambil bagian pada pengrusakan
dunia” atau relatif ”abai terhadap suratan itu” karena, kita diingatkannya
melalui suatu hadis, ”Tuhan Maha Indah dan Mencintai Keindahan”.
Pilihan mestinya jelas. Semoga! Demi Keindahan. Demi puisi. Demi
nasib Fatim, Wayan, dan kita semua. Akhirnya demi kita terlindungi dari kaum
raksasa, yang terus mengintip, dari sisi Sungai Tigris sana.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !