Demi Keindahan - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Demi Keindahan

Demi Keindahan

Written By GDE NOGATA on Selasa, 28 Juli 2015 | 18.15

UDAR RASA
JEAN COUTEAU
Harian - Kompas Cetak | 26 Juli 2015 
Wayan dan Fatim telah pergi lebih dari satu minggu dan saya sudah mendambakan kehadirannya kembali. Membaca berita yang merisaukan tentang pembakaran masjid dan gereja di Papua dan Jawa tengah, saya memang perlu Wayan dan Fatim untuk memperkokoh optimisme saya: selama rakyat kecil ”bodoh” seperti mereka, negeri bisa aman.
Wayan adalah tukang, Fatim adalah pembantu kami. Keduanya berjiwa rakyat. Miskin. Murah senyum. Mereka pergi empat hari menjelang Lebaran, dua hari menjelang Galungan. Tahun ini, Lebaran berdempet dengan Galungan, maka mereka bisa menjalankan ”ibadahnya” secara berturut-turut: menghormati para leluhur Bali dari Wayan di Bali Utara pada hari raya Galungan, lalu menyeberang Selat Bali untuk bersilaturahim di desa asal Fatim di lereng barat Gunung Raung untuk hari raya Lebaran. Tidak pernah terpikir di benak mereka bahwa cara mereka menjalankan ”ibadah” dapat dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat.
Wayan dan Fatim adalah contoh dari ratusan ribu dan bahkan mungkin jutaan orang Indonesia yang tidak peduli tentang apa yang kini disebut perbedaan keyakinan. Agama bagi mereka tidak ditentukan oleh acuan pada naskah yang ”benar” yang terus dilafalkan, tetapi oleh semacam tafsir umum yang beredar tanpa sekat di antara sesama orang kecil. Bagi Fatim, Wayan tidak pernah menjadi orang seberang, apalagi ”kafir”. Tinggal di Bali dan berbahasa Bali, dia hanya melihat dalam diri Wayan, seorang tukang bangunan yang cakep lagi baik. Cukup! Maka, ketika Wayan mulai berkejitan mata sama dia, dua tahun yang lalu, Fatim tidak melewatkan kesempatan itu. Cinta menyusul, berikut si kecil Bagus yang kini terus membuntuti ibunya sewaktu menyiapkan kopi buat saya.
Fatim adalah orang Jawa ndeso. Perihal ayat-ayat ”seru” yang, kata kaum Islam liberal hendaknya ditafsir secara kontekstual, jangan ditanyai! Dia pasti bengong melongo. Wayan posisinya tak jauh berbeda. Soal filsafat kosmis, Punarbawa, Weda, dan topik-topik Hindu yang diperdebatkan di majalah ”umat”, dia awam dan tidak terlalu peduli. Yang penting baginya adalah berbakti kepada leluhur dan ngayah (aktif menjalankan kewajiban) di desa—sambil berbuat baik demi karma. Itu saja! Saya pernah menanyakan pendapatnya tentang Islam, no problim, sahutnya. ”Bukankah semua agama sama, hanya caranya yang lain,” tambah dia segera lalu diiyakan oleh Fatim, istrinya. ”Apalagi,” dia tekankan lagi dengan sungguh-sungguh, ”ustaz yang mengesahkan pernikahan kami tidak keberatan.”

Sikap dari Wayan dan Fatim terhadap agama adalah sama: kadar teologi dan identitas nihil. Mereka dipersatukan oleh ”ketidaktahuannya”. Hal ini bisa dikritik, tetapi tidak disanggah karena umum pada rakyat kecil Indonesia tertentu. Memang, apa pun siksaan neraka yang dijanjikannya, rakyat itu tetap lebih ”enak” tidak melihat perbedaan antaragama dan menekankan persamaannya daripada balikannya. Acuan spiritual utamanya bukan pada ”surat” nan mutlak yang diturunkan jauh ”di sana”, tetapi pada ”tutur” lokal nan luwes terefleksi batin. Bahkan, bagi tradisi mereka, upaya penggalian spiritual tidak selalu berbuah hasil yang baik: bukankah tak sedikit petapa dari cerita rakyat (Raja Bedahulu) dan pewayangan (Niwatakawaca) yang, alih-alih menemukan ”pencerahan”, sebaliknya menjelma menjadi raksasa yang angkara murka.
Rakyat kecil seperti Fatim dan Wayan di atas adalah tulang punggung toleransi ala Indonesia. Namun, toleransi ragam ini kini terancam. Akibat terutama pendidikan modern dan IT, pola keyakinan rakyat berubah dari berasas ”tutur” cenderung menjadi berasas ”surat”—yang sering ditafsir dengan kaku. Di antara mereka, ”miskin” puisi, yang tak mau tahu bahwa tak pernah ada makna tunggal pada suatu kata—maka pula pada suatu ayat.
Kini, meminjam rumusan penyair sufi Tunisia, Abdelwahab Meddeb (1946-2014, 2006:484), para penganut Islam berhadapan dengan suatu dilema: apakah memilih suratan agama meski dengan mengambil bagian pada pengrusakan dunia” atau relatif ”abai terhadap suratan itu” karena, kita diingatkannya melalui suatu hadis, ”Tuhan Maha Indah dan Mencintai Keindahan”.
Pilihan mestinya jelas. Semoga! Demi Keindahan. Demi puisi. Demi nasib Fatim, Wayan, dan kita semua. Akhirnya demi kita terlindungi dari kaum raksasa, yang terus mengintip, dari sisi Sungai Tigris sana.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template