SMARA Ratih yang tanpa tubuh
mengembara di dunia dari hati ke hati. Di setiap persinggahan hati mereka
bekerja, membangkitkan rindu, mendorong-dorong agar terjadi pertemuan. Tidak
setiap yang memujanya akan disinggahi. Dan tidak setiap yang tidak memujanya
tidak akan disinggahi. Ia benar-benar hidup. Ia tahu di hati mana mesti menabur
benih. Dan mereka tidak mengatakan rahasianya. Orang yang mengetahui rahasia
itu, bukan karena membaca, bukan pula karena tidak membaca. Bukan karena puasa, bukan pula karena tidak puasa.
Tidak ada jalan, kecuali Smara Ratih itulah jalan.
Suksma, rahasya,
tepet, itulah ciri pertemuan
benih-benih mereka. Bila mereka sedang bekerja, maka mulailah akan dirasakan
hal-hal yang halus di dalam dan di luar diri. Itulah suksma. Yang ramai menjadi sunyi, yang biasanya dikatakan akhirnya
dibisikkan, dan yang biasanya dibisikkan menjadi tidak diucapkan. Tidak ada
yang melihat, karena yang melihat berubah menjadi ‘yang dilihat’. Itulah rahasya. Bagai mengadu dua ujung duri,
begitulah pertemuan Smara Ratih. Tidak mudah mempertemukannya. Kalau pun
berhasil, pertemuan itu hanya sesaat. Tapi apalah sesaat, dan apalah artinya
lama, bagi sebuah kedalaman. Dari yang sesaat terjadilah kesuburan, kehidupan,
penciptaan, wajah baru. Itulah yang disebut tepet.
Dari keadaan tepet inilah lahir apa
yang orang sebut dengan istilah taksu.
Tidak bisa dipelajari, tidak bisa dinanti. Ia terjadi oleh sebuah ‘pertemuan’.
Tidak bisa lain. Hanya dengan cara seperti itu
Smara Ratih menyatakan diri ada. Smara Ratih pendatang baru di dunia, yang di
daerah asalnya diusir karena kutukan akibat kesalahan. Dewa datang dari jauh. Ia dipuja. Ia disembah. Ia di istanakan di dalam
hati. Kepadanya orang menangis mengadukan pernderitaan sepi hatinya. Kepadanya
orang memohon bantuan agar bisa berdamai dengan kerinduan yang meledak-ledak.
Memang seperti itu alam berbicara. Ia yang menciptakan adanya rindu, dan
kepadanya orang mencari obat kerinduan. Diciptakannya hati yang merana.
Diberinya obat pada kemeranaan hati itu. Kemudian dibuatkanlah oleh orang
sebuah cerita. Bagaikan seutas tali, cerita
yang dibangun kata-kata lebih erat mengikat pikiran orang-orang dari pada tali
itu sendiri.
Inilah yang dikatakan cerita selanjutnya. Smara
Ratih harus dipertemukan agar kehidupan terus berlanjut. Tapi tidak sembarang
orang tahu bagaimana cara mempertemukan mereka. Tidak setiap senggama asmara
badan berarti pertemuan Smara Ratih. Tidak setiap pembuahan benih dan sel telur
dihadiri Srama-Ratih. Oleh karena itu Shiwa sendiri
yang kemudian turun untuk mempertemukan mereka. Kesuburan, tanda kehidupan akan
berlanjut, harus diadakan. Maka Smara dan Ratih dipertemukan secara mistis di
sebuah bale paselang. Yantra, mudra, mantra tertuju pada kedua pasangan
yang masih tertidur. Berbagai rentetan upacara digelar sebelumnya. Pertemuan
mistis itu adalah puncaknya. Smara adalah salah satu ujung duri. Ratih adalah
ujung duri satunya lagi. Perwakilan Shiwa di dunia berjuang untuk mempertemukan
kedua ujung duri. Halus, suksma,
gerakannya. Rahasya, itulah
pertemuannya. Bila kedua ujung duri itu bertemu, itulah yang disebut tepet.
Dengan penguasaan teknik, yang suksma,
rahasya, tepet itu bisa diusahakan. Bisa diadakan. Tinggal pembuktiannya
saja. Apakah setelah itu kehidupan akan menjadi lebih bagus, atau tidak. Untuk
itu perlu diketahui dengan apakah itu bisa dirasakan?
Pertemuan Smara Ratih adalah masalah guna, kualitas. Banyaknya bayi-bayi yang
dilahirkan bukan sebuah pertanda keberlangsungan kehidupan. Melimpahnya hujan,
berlipatnya hasil panen, juga bukan. Semakin banyak yang bisa dikonsumsi, juga
bukan. Kehidupan tidak dititipkan keberlangsungannya pada “yang banyak” itu.
Tapi ada apa? Jawabannya pun dititipkan pada cerita. Pada ceritalah orang
kembali. Dan di dalam cerita, sekali lagi, bukan kepastian yang didapatkan tapi
kemungkinan-kemungkinan. Orang harus merasa cukup dengan
kemungkinan-kemungkinan itu. Ingin lebih dari itu, lobha namanya. Lobha itulah awal kematian.
Tapi ada cerita lain. Orang yang ingin bebas dari
lingkaran roda kelahiran, bebas dari putaran hidup mati, harus tahu cara
memisahkan Smara dan Ratih. Ada beberapa pesan yang disampaikan tentang
pemisahan ini. Pasahakna ikang purusa
lawan pradhana, ‘pisahkanlah Purusa dengan Pradhana’. Mempertemukan dan
memisahkan. Menyatukan dan menguraikan. Mabhanda
bheda, mengikat dan melepaskan. Seperti main layangan, mengulur dan
menarik. Tahu dari mana dan ke mana angin bertiup. Pada saatnya angin [baca:
bayu] pulalah yang memisahkan Purusha dengan Pradhana. Tapi kesadaran tidak
sama dengan layang-layang putus. Tubuh ini tidak persis sama dengan tali.
Metafora tidak pernah persis sama dengan kenyataan.
Itulah yang hendak dicontohkan oleh Shiwa ketika
meninggalkan isterinya, dan menggelar tapa. Shiwa, rajanya para pertapa, masih
menggelar tapa? Ya, begitu yang dikatakan cerita. Tidak lebih dan tidak kurang.
Shiwa saja masih bertapa. Matahari saja masih bekerja. Laut saja masih gelisah.
Gunung saja masih memendam panas di dadanya. Agin saja masih menempuh arah.
Apalagi Kama dan Ratih yang ada di dalam penjara badan.
Ketika Kama berusaha menarik Shiwa kembali ke
isteri, Shiwa pun mematikan Kama detik itu juga. Apa yang hendak disampaikan
oleh Shiwa dengan mematikan Kama? Kehidupan ini harus dikalahkan. Itukah?
Mengapa kemudian Shiwa meralatnya, karena permintaan dari dua orang “ibu”, yang
satu Ratih dan satunya lagi Uma. Kenapa ia menghidupkan kembali Kama dan
mengirimnya ke Mertyupada?
Bumi ini disebut mertyupada, yang berarti tempat di mana ada kematian, bukan tempat
di mana ada kehidupan. Apakah itu pertanda kelak Smara dan Ratih juga akan mati
di mertyupada ini? Atau, mereka hanya transit sebentar di tubuh dan
jiwa orang-orang yang pasti akan mati?
Ternyata
ada cerita lain. Konon yang pasti mati hanyalah yang dilahirkan, dan yang
memiliki tubuh. Yang tidak dilahirkan [a-ja]
tidak akan mati. Yang tidak memiliki tubuh [anangga]
tidak akan mati. Jadi, Kama Ratih tidak akan mati. Mereka juga tidak akan
kembali ke asalnya. Mereka akan terus saja mengembara di dunia ini, sebagai
Sanmatta dan Indu.
Shiwa sendirilah sesungguhnya Mahakama itu. Shiwa terus bekerja, dan masih bekerja. *##ibm dharma palguna* www.parisada.org
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !