ADA tiga ekor ikan. Mereka hidup di telaga
bernama Alpasara. Karena air telaga menyusut drastis, dan diprediksi akan
segera kering, maka tiga ekor ikan itu menyikapinya dengan cara sendiri-sendiri.
Ikan
pertama, bernama Anangga Widuta, berencana meninggalkan telaga sebelum airnya
benar-benar kering. Ia akan ikuti aliran air telaga menuju laut, tempat ia
kelak tidak lagi cemas memikirkan air.
Ikan Kedua, tahu pilihan ikan pertama memiliki kebenaran, tapi ia memilih jalan keluar yang berbeda. Ia menunggu, siapa tahu hujan akan turun di masa depan. Kalau hujan tidak turun, siapa tahu akan datang manusia pencari ikan. Ia akan pura-pura mati, sehingga dibawa oleh tukang ikan. Dalam perjalanan bersama tukang ikan itu nanti, ia akan mencari jalan ke luar.
Ikan Bungsu, menyikapinya
seperti ini: “Apa sih yang mesti didebatkan panjang-panjang. Menurut pendapat
saya, karena di sini tempat kelahiran saya, tempat saya mendapatkan kehidupan
dari kecil, sekarang mendapatkan kesulitan lantas pergi dari sini, nista sekali
perilaku seperti itu. Itu namanya meninggalkan asal. Jelek sekali konon manusia
yang demikian. Karena di telaga ini saya menemukan kebahagiaan hidup, biarlah
saya di sini menyongsong kematian.”
Rapat tiga ekor ikan itu tidak
berlangsung lama. Karena mereka tahu, rapat bukanlah seuatu bentuk penyikapan.
Ikan pertama benar-benar pergi meninggalkan telaga. Pada suatu hari datang
pencari ikan. Ikan nomor dua pura-pura mati. Dengan mudah ia ditangkap dan
dimasukkan ke dalam bakul.
Ketika Ikan Bungsu hendak
ditangkap, ia berusaha keras melepaskan diri. Sehingga ia dipukul sampai
mampus, dan juga dimasukkan ke dalam bakul yang sama. Sebelum tiba di rumah,
pencari ikan itu mencuci perolehannya di sungai. Ikan Kedua yang pura-pura mati, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dengan ringan ia meloncat dan berenang mengikuti arus sungai.
Begitulah kisah tiga ekor ikan
dalam Kisah Tantri. Yang pertama, pergi sebelum
datangnya bencana. Ia pergi membawa kenangan. Apakah kenangan itu akan menjadi
beban, atau sebaliknya motif yang mempercepat perjalanan, kita tidak tahu,
karena selanjutnya tidak diceritakan bagaimana nasibnya. Yang pergi menjadi
hilang. Ikan Kedua, menyelamatkan diri saat ada bencana dengan memperdaya
musuh. Bencana menjadi jalannya menemukan kehidupan baru. Ikan Ketiga, tewas
dalam bencana karena sebuah keyakinan. Yang hidup pasti akan mati. Dan yang
mati pasti akan hidup. Karena itu keyakinan, maka tidak ada lagi penjelasan.
Tidak bisa berbicara banyak dengan apa yang disebut keyakinan.
Menurut induk ceritanya, tema
kisah tiga ekor ikan itu adalah bagaimana melepaskan diri dari kematian.
Kamatian adalah sebuah realita. Hanya yang tidak memiliki tubuh yang tidak
mati. Itulah ikan pertama yang bernama Anangga yang berarti “tak bertubuh” (a- ‘tidak’, -angga ‘tubuh’). Menurut Kakawin
Sumanasantaka karya Mpu Monaguna, yang tidak bertubuh itu adalah yang tidak
dilahirkan [a-ja, a ‘tidak’, ja ‘dilahirkan’].
Konon seorang Bhagawan bernama
Basubaga menyimak kisah tiga ikan itu. Kemudian beliau menggubah syair yang
kurang lebih terjemahannya: “Siapa yang memahami hal-hal mendatang, ia mampu
melepaskan diri dari apa yang disebut realita. Demikian pula yang tangkas,
trampil dan cerdas. Sedangkan yang masa bodoh, niscaya menemukan kematiannya.”
Sajak
Sang Bhagawan berbicara tentang pengetahuan yang membebaskan orang yang
memiliki pengetahuan itu. Secara implisit ia memberikan apresiasi yang tinggi
pada Ikan Pertama. Pengetahuan yang dimiliki Ikan Pertama tidak menyebabkannya
terikat pada ruang dan waktu, tapi sebaliknya, membebaskannya dari segala yang
punya potensi mengikat. Perjalanannya menempuh aliran menuju laut, bukanlah
ikatan. Karena seperti air, ia mengalir ke tempat yang lebih rendah, bukan
karena air terikat oleh tempat yang lebih rendah. Tapi karena ia air. Begitu
pula dengan pengetahuan yang mengambil wujud pada diri orang yang
berpengetahuan.
Pertanyaan
: mengapakah dalam resepsi masyarakat Bali, justru Ikan Ketiga yang mendapatkan
apresiasi paling tinggi? Bagaimana proses perubahan dari teks yang berpesan
“tirulah Ikan Pertama” menjadi pilihan budaya meniru Ikan Ketiga?
Ikan Bali [baca: orang Bali] sangat terikat dengan
telaganya. Ikatan itu sangat nampak dalam sistem relegi dan sistem sosial. Demikian
efektifnya kedua sistem ini bekerja, maka setiap orang Bali sudah sampai pada
tahap menyensor diri dalam banyak aspek kehidupan, terutama yang berhubungan
dengan sistem relegi dan sistem sosialnya.
Praktek
keagamaan yang ada di Bali adalah tafsir dari ajaran yang ada. Rupanya ada
pertimbangan khusus, mengapa Tuhan yang sangat pribadi itu dalam tafsir Bali
menjadi milik bersama. Kolektivitas menjadi signifikan dalam menempuh cita-cita
agama. Tafsir kolektif itu dikristalisasikan menjadi tradisi yang dijaga oleh
mitos, babad, cerita, dan sejumlah etika. Tafsir Bali itu berhubungan dengan
apa yang dikatakan oleh Ikan Bungsu. Etika lokal itulah yang menjadi isi
pikirannya.
Terlepas
dari semua itu, ada lagi pertanyaan lanjutan. Mengapa tidak ada ikan yang
memikirkan nasib telaga? Ketiganya sibuk dengan diri sendiri. Ikan pertama mau
pergi mencari laut. Ikan kedua mau menikmati apa yang masih bisa dinikmati,
sambil menunggu siapa tahu akan turun hujan. Ikan ketiga, yang paling tahu
etika, justru memilih mati di telaga itu, karena yakin bahwa itulah yang benar
dalam pikirannya. Dengan memilih mati, ia bukan saja tidak menyelamatkan
hidupnya, juga tidak berbuat apa-apa untuk telaga.
Tidak
ada yang perduli dengan nasib telaga itu. Keyakinan telah membuat mereka hanya
memikirkan diri masing-masing. Mereka semua sesungguhnya individualis. Ikan
pertama adalah individualis terang-terangan. Ikan kedua
individualis-opportunis. Ikan ketiga adalah individualis malu-malu. Tapi, itu
juga adalah tafsir. Kita tidak pernah tahu apa maksud pengarangnya. Yang kita
tahu adalah apa yang kita pahami setelah menyimaknya. Pemahaman adalah
keberpihakan. Bila Ikan Bungsu
mendapatkan apresiasi tertinggi di Bali, itu jelas menunjukkan kepada siapa
keberpihakan itu. Penjelasannya ada di sekitar itu juga. * ##ibm dharma palguna* www.parisada.org
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !