YANG DIKALAHKAN : IKAN PERTAMA [1] - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » YANG DIKALAHKAN : IKAN PERTAMA [1]

YANG DIKALAHKAN : IKAN PERTAMA [1]

Written By GDE NOGATA on Senin, 06 Juli 2015 | 00.39

           ADA tiga ekor ikan. Mereka hidup di telaga bernama Alpasara. Karena air telaga menyusut drastis, dan diprediksi akan segera kering, maka tiga ekor ikan itu menyikapinya dengan cara sendiri-sendiri.
Ikan pertama, bernama Anangga Widuta, berencana meninggalkan telaga sebelum airnya benar-benar kering. Ia akan ikuti aliran air telaga menuju laut, tempat ia kelak tidak lagi cemas memikirkan air.



Ikan Kedua, tahu pilihan ikan pertama memiliki kebenaran, tapi ia memilih jalan keluar yang berbeda. Ia menunggu, siapa tahu hujan akan turun di masa depan. Kalau hujan tidak turun, siapa tahu akan datang manusia pencari ikan. Ia akan pura-pura mati, sehingga dibawa oleh tukang ikan. Dalam perjalanan bersama tukang ikan itu nanti, ia akan mencari jalan ke luar.
Ikan Bungsu, menyikapinya seperti ini: “Apa sih yang mesti didebatkan panjang-panjang. Menurut pendapat saya, karena di sini tempat kelahiran saya, tempat saya mendapatkan kehidupan dari kecil, sekarang mendapatkan kesulitan lantas pergi dari sini, nista sekali perilaku seperti itu. Itu namanya meninggalkan asal. Jelek sekali konon manusia yang demikian. Karena di telaga ini saya menemukan kebahagiaan hidup, biarlah saya di sini menyongsong kematian.”
Rapat tiga ekor ikan itu tidak berlangsung lama. Karena mereka tahu, rapat bukanlah seuatu bentuk penyikapan. Ikan pertama benar-benar pergi meninggalkan telaga. Pada suatu hari datang pencari ikan. Ikan nomor dua pura-pura mati. Dengan mudah ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam bakul.
Ketika Ikan Bungsu hendak ditangkap, ia berusaha keras melepaskan diri. Sehingga ia dipukul sampai mampus, dan juga dimasukkan ke dalam bakul yang sama. Sebelum tiba di rumah, pencari ikan itu mencuci perolehannya di sungai. Ikan Kedua yang pura-pura mati, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan ringan ia meloncat dan berenang mengikuti arus sungai.
Begitulah kisah tiga ekor ikan dalam Kisah Tantri. Yang pertama, pergi sebelum datangnya bencana. Ia pergi membawa kenangan. Apakah kenangan itu akan menjadi beban, atau sebaliknya motif yang mempercepat perjalanan, kita tidak tahu, karena selanjutnya tidak diceritakan bagaimana nasibnya. Yang pergi menjadi hilang. Ikan Kedua, menyelamatkan diri saat ada bencana dengan memperdaya musuh. Bencana menjadi jalannya menemukan kehidupan baru. Ikan Ketiga, tewas dalam bencana karena sebuah keyakinan. Yang hidup pasti akan mati. Dan yang mati pasti akan hidup. Karena itu keyakinan, maka tidak ada lagi penjelasan. Tidak bisa berbicara banyak dengan apa yang disebut keyakinan.
Menurut induk ceritanya, tema kisah tiga ekor ikan itu adalah bagaimana melepaskan diri dari kematian. Kamatian adalah sebuah realita. Hanya yang tidak memiliki tubuh yang tidak mati. Itulah ikan pertama yang bernama Anangga yang berarti “tak bertubuh” (a- ‘tidak’, -angga ‘tubuh’). Menurut Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna, yang tidak bertubuh itu adalah yang tidak dilahirkan [a-ja, a ‘tidak’, ja ‘dilahirkan’].
Konon seorang Bhagawan bernama Basubaga menyimak kisah tiga ikan itu. Kemudian beliau menggubah syair yang kurang lebih terjemahannya: “Siapa yang memahami hal-hal mendatang, ia mampu melepaskan diri dari apa yang disebut realita. Demikian pula yang tangkas, trampil dan cerdas. Sedangkan yang masa bodoh, niscaya menemukan kematiannya.”
            Sajak Sang Bhagawan berbicara tentang pengetahuan yang membebaskan orang yang memiliki pengetahuan itu. Secara implisit ia memberikan apresiasi yang tinggi pada Ikan Pertama. Pengetahuan yang dimiliki Ikan Pertama tidak menyebabkannya terikat pada ruang dan waktu, tapi sebaliknya, membebaskannya dari segala yang punya potensi mengikat. Perjalanannya menempuh aliran menuju laut, bukanlah ikatan. Karena seperti air, ia mengalir ke tempat yang lebih rendah, bukan karena air terikat oleh tempat yang lebih rendah. Tapi karena ia air. Begitu pula dengan pengetahuan yang mengambil wujud pada diri orang yang berpengetahuan.
            Pertanyaan : mengapakah dalam resepsi masyarakat Bali, justru Ikan Ketiga yang mendapatkan apresiasi paling tinggi? Bagaimana proses perubahan dari teks yang berpesan “tirulah Ikan Pertama” menjadi pilihan budaya meniru Ikan Ketiga?
            Ikan Bali [baca: orang Bali] sangat terikat dengan telaganya. Ikatan itu sangat nampak dalam sistem relegi dan sistem sosial. Demikian efektifnya kedua sistem ini bekerja, maka setiap orang Bali sudah sampai pada tahap menyensor diri dalam banyak aspek kehidupan, terutama yang berhubungan dengan sistem relegi dan sistem sosialnya.
            Praktek keagamaan yang ada di Bali adalah tafsir dari ajaran yang ada. Rupanya ada pertimbangan khusus, mengapa Tuhan yang sangat pribadi itu dalam tafsir Bali menjadi milik bersama. Kolektivitas menjadi signifikan dalam menempuh cita-cita agama. Tafsir kolektif itu dikristalisasikan menjadi tradisi yang dijaga oleh mitos, babad, cerita, dan sejumlah etika. Tafsir Bali itu berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Ikan Bungsu. Etika lokal itulah yang menjadi isi pikirannya.
            Terlepas dari semua itu, ada lagi pertanyaan lanjutan. Mengapa tidak ada ikan yang memikirkan nasib telaga? Ketiganya sibuk dengan diri sendiri. Ikan pertama mau pergi mencari laut. Ikan kedua mau menikmati apa yang masih bisa dinikmati, sambil menunggu siapa tahu akan turun hujan. Ikan ketiga, yang paling tahu etika, justru memilih mati di telaga itu, karena yakin bahwa itulah yang benar dalam pikirannya. Dengan memilih mati, ia bukan saja tidak menyelamatkan hidupnya, juga tidak berbuat apa-apa untuk telaga.
            Tidak ada yang perduli dengan nasib telaga itu. Keyakinan telah membuat mereka hanya memikirkan diri masing-masing. Mereka semua sesungguhnya individualis. Ikan pertama adalah individualis terang-terangan. Ikan kedua individualis-opportunis. Ikan ketiga adalah individualis malu-malu. Tapi, itu juga adalah tafsir. Kita tidak pernah tahu apa maksud pengarangnya. Yang kita tahu adalah apa yang kita pahami setelah menyimaknya. Pemahaman adalah keberpihakan.  Bila Ikan Bungsu mendapatkan apresiasi tertinggi di Bali, itu jelas menunjukkan kepada siapa keberpihakan itu. Penjelasannya ada di sekitar itu juga. * ##ibm dharma palguna* www.parisada.org
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template