IWAN
PRANOTO
Harian – Kompas Cetak | 27 Juli 2015
Kemerdekaan anak
menggagas dan berpikir mandiri kerap dikorbankan demi nafsu orang dewasa
memamerkan kehebatan nilai rapor anaknya.
Padahal, kemerdekaan dan kebahagiaan anak sama penting dengan
keberhasilannya. Oleh karena itu, anak bersama guru serta masyarakat sudah
saatnya merencanakan langkah untuk belajar berdaya.
Aku becus
"Aku tak becus," teriak anak Ibu Kiran Bir Sethi suatu
saat sepulang dari sekolah. Perkataan ini menggetirkan karena bagaimana mungkin
seorang anak yang sejatinya sinonim dengan pengharapan dan impian malah
mengimani keputusasaan dan ketakbecusan. Lebih menyakitkannya lagi, perkataan
ini keluar dari mulut anak kandungnya sendiri.
Berbekal studinya dalam
bidang desain atau reka cipta dan dukungan keluarga orangtuanya yang pereka
cipta juga, Ibu Kiran kemudian menggagas Sekolah Riverside di kota Ahmedabad,
India, pada tahun 2001. Pegangannya, beliau ingin anak belajar menyelesaikan
masalah dengan pemikirannya sendiri sehingga mereka dapat berujar, "Aku
becus." Ini sebelum Presiden Obama berkampanye: "I can."
Sekolah ini berhasil,
tetapi murid yang diterima hanya 20-an tiap tahun. Masih banyak anak yang juga
perlu mengalami, padahal beliau belum ingin menambah sekolahnya. Maka, kemudian
Ibu Kiran mengawali gerakan globalDesign for Change (DFC) pada 2009.
Sekolah dan komunitas di mana pun di dunia boleh menggunakan
gagasannya. Berkat kepeloporan menggagas wabah virus "Aku becus" ini,
beliau memperoleh berbagai peng-hargaan regional dan internasional.
Melalui pendekatan DFC,
hari ini anak dari Argentina sampai Portugal, dari Afrika Selatan sampai
Denmark, belajar menyelesaikan masalah di lingkungannya dengan temuan jawabnya
sendiri. Pendekatannya, pertama, kelompok anak menentukan masalah di
lingkungannya yang mereka rasaperlu untuk diselesaikan. Kemudian, mereka mengkhayalkan kemungkinan jawaban
untuk permasalahan tersebut. Kadang, jika perlu, mereka berdiskusi dengan orang
dewasa. Dan, sesudah dirasa matang, mereka mewujudkanjawaban tadi dan diujicobakan secara nyata. Setelah berhasil,
merekamembagikan cerita keberhasilan itu
melalui berbagai media.
Rangkaian empat langkah
merasakan-mengkhayalkan-mewujudkan-membagikan ini bagian dari Design Thinking atau Berpikir Reka
Cipta. Rumusan ini sederhana sehingga anak mudah memahaminya. Bahkan, anak-anak
berusia 5 tahun di Kamerun, Afrika, mampu menerapkannya.
Suatu hari, beberapa anak di sekolah École Maternelle Saint Joseph
Manyanet YaoundÉ mendatangi Bu Guru Vicki dan menyampaikan kekhawatirannya.
Mereka khawatir karena beberapa anak di sekolah itu bermain "sepak
bola" dengan menendangi botol plastik bekas kemasan minuman. Mereka merasa
bahwa permainan tersebut berbahaya karena botol plastik itu dapat mencederai
mata anak.
Setelah mendengar keluhan itu, Bu Vicki mengajak mendiskusikannya.
Dalam diskusi itu, ada anak yang mengusulkan sekolah membuat larangan permainan
sepak bola. Ada juga yang mengusulkan larangan membawa botol plastik. Setelah
mendiskusikan berbagai usulan secara sistematis serta memberikan hak tiap anak
berpendapat, mereka sampai pada pemahaman bahwa percuma jika sekolah membuat
larangan. Larangan tak menyelesaikan masalah, ungkap anak-anak itu.
Disepakati bahwa permasalahan ini perlu diselesaikan pada akar
masalahnya, yaitu tidak tersedianya bola di sekolah. Oleh karena itu, mereka mengangankan
dan berpikir untuk membuat bola. Tetapi, mereka belum tahu caranya. Maka,
mereka minta gurunya mendampingi untuk membuat bola.
Sang bu guru, yang memang termasuk dalam gerakan DFC itu, kemudian
mengusulkan kepada anak-anak untuk merancang penelitian tentang bahan apa yang
cocok untuk membuat bola. Lalu, mereka mencari beberapa macam bahan bekas untuk
dicoba. Dalam penelitian itu, tiap bola dengan bahan berbeda diuji coba, sampai
akhirnya mereka menyimpulkan bahwa bola berbahan tas plastik bekas paling cocok
karena dapat memantul dengan baik.
Dengan dibantu orangtua
mereka, anak-anak kemudian mengumpulkan tas plastik bekas di rumah dan
membawanya ke sekolah. Di sana, mereka belajar bersama dengan gurunya membuat
bola dan digunakan untuk bermain. Sekarang mereka senang karena anak tetap
dapat bermain sepak bola tanpa perlu khawatir lagi. Setelah itu, dengan bantuan
ibu gurunya, anak-anak Kamerun ini membuat video tentang kisah keberhasilannya
dan diunggah ke kanal YouTube, dengan judul Having a Ball.
Dari pengalaman sederhana tetapi bermakna tadi, anak berusia belia
tersebut telah menerapkan empat langkah berpikir reka cipta. Mereka telah
"menggagas dunia" dari lingkungannya sendiri.
Anak merasakan sebagai manusia terhormat yang berhak menggagas dan
becus bernalar. Walau lewat masalah yang tampak sederhana bagi orang dewasa,
anak telah mengasah dan mempraktikkan keterampilan abad ke-21, sebutlah seperti
merumuskan masalah, berpikir kreatif dan kritis, dan berkomunikasi. Perasaan
percaya diri anak sekaligus keterampilannya bernalar ini mewabahkan virus
keyakinan "Aku becus" ke berbagai pelosok dunia.
Aku merdeka
Berita baiknya, beberapa masyarakat pendidikan dan anak Indonesia
bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah menyiapkan rencana agar
anak Indonesia dapat menggagas dunia. Melalui gerakan ini, anak memupuk
keberdayaannya dan ini menjadi bekal dalam perjalanannya kelak menjadi insan
merdeka.
Upaya ini bertolak belakang dengan kebijakan pendidikan yang kerap
menghamba regulasi birokratis, sarat modal, dan mengamini pragmatisme. Gerakan
ini memutarbalikkan pandangan lembaga pendidikan sebagai jawatan yang kerap
menempatkan anak sebagai obyek ekonomi, sekadar bakal pekerja untuk memutar
roda pabrik.
Di sini, anak justru merupakan subyek dalam pembangunan bangsa dan
tokoh utama perbaikan pendidikan. Ini sejalan dengan hakikat keberdayaan dan
kemerdekaan anak.
Bagi pendidikan nasional secara umum, semangat "menggagas
dunia" ini akan menegaskan kembali makna pendidikan dan relevansinya pada
kehidupan warga. Tujuh puluh tahun adalah waktu yang lama untuk menunggu anak
Sang Republik berteriak, "Aku becus. Aku berdaya. Aku merdeka."
IWAN PRANOTO
GURU BESAR MATEMATIKA ITB
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !