CATATAN
MINGGU
BRE REDANA
Harian - Kompas Cetak | 26 Juli 2015
Bagaimanakah
Indonesia dibayangkan oleh sebagian besar orang? Ya, dua gunung bersanding,
terdapat bulatan di tengahnya, lalu di depan ada perspektif berupa jalan dengan
sawah di kiri kanan. Zaman berubah, tetapi banyak orang tetap akan menggambar
seperti itu kalau diminta melukis pemandangan.
Sama
halnya kalau mereka diminta melukiskan jati diri atau kebudayaan Indonesia.
Mereka akan menyebut Indonesia negeri kaya, berbineka, terdiri dari ribuan
pulau, suku, etnis, dan bahasa daerah. Budayanya luhur, penduduknya paling
ramah sedunia.
Kebetulan
saya menjadi salah satu juri lomba penulisan esai yang diselenggarakan sebuah
kementerian. Tema: budaya damai. Di antara ratusan karya, hampir seragam
sebagian besar memulai penggambaran mengenai Indonesia seperti di atas.
Terusiknya
kedamaian, atau problem dari suasana damai, terjadi ketika masuk budaya asing.
Nah, apa itu budaya asing? Siapa yang mereka anggap asing? Barat, maksudnya
lebih kurang Eropa dan Amerika. Tak tersebutkan wilayah dunia yang lain,
taruhlah Timur Tengah. Barat-lah perusak dan pengganggu jati diri bangsa.
Globalisasi dianggap sebagai bencana meski karena globalisasi kenyataannya
manusia-manusia miskin dari pelosok pedesaan dimudahkan menjadi pembantu di
luar negeri.
Pendidikan
kita, sebagaimana anak- anak dari Sabang sampai Papua diajari menggambar dua
gunung, telah menghasilkan otak yang statis. Tentang dua gunung itu, selain di
beberapa tempat, terutama di Jawa, merupakan pemandangan yang niscaya sulit
dijumpai.
Hanya saja, dia telah menjadi mitos.
Serupa mitos mengenai keberagaman, dari pikiran yang sejatinya seragam, persis
hasil cetakan kue apem.
Mitos mengaburkan realitas, seperti orang masih percaya, jalanan Jakarta tidak
macet pada seputar Lebaran. Ah, siapa bilang....
Lalu, kita kaget—atau pura-pura
kaget—ketika di daerah yang secara geografis jauh dari pusat kekuasaan terjadi
kasus yang tidak mencerminkan semangat keberagaman. Lah, bukankah di depan
hidung pusat kekuasaan sendiri sehari-hari terlihat gejala bagaimana
kelompok-kelompok anti keberagaman hendak memaksakan kehendak? Dengan melakukan sweeping,
pemblokiran tempat ibadah, dan perusakan. Untuk hal ini, kita sama-sama
melihat, otoritas kekuasaan terkesan cuek, pura-pura tidak tahu.
Mitos
membikin kita suka membohongi diri sendiri, memanipulasi diri sendiri, menciptakan
apa yang oleh para penggagas yang tertarik dengan soal representasi disebut
sebagai simulakra. Dunia virtual teknologi digital menyuburkan superioritas
simulakra alias kenyataan gadungan. Ha-ha, jadilah kita terjeblos memilih
pemimpin karena termanipulasi citra yang direpresentasikan teknologi digital.
Otak,
atau memori—sebagaimana prinsip dunia digital—memang sangat berkemungkinan
untuk diprogram, direkayasa. Khusus pada manusia, selain mudah direkayasa,
memori bahkan sanggup memanipulasi dirinya sendiri.
Begitulah cara kerja atau anggaplah
sebagian misteri otak (mind). Itu pula yang agaknya disadari
para penggiat hak asasi manusia mengenai kejahatan negara di masa lalu. Mereka
mengajak orang melawan lupa. Sementara sebagian besar yang pernah menjadi
korban kekerasan politik, misalnya, dikarenakan pahit dan traumatiknya
pengalaman, memilih menolak ingat.
Bagaimana
agar diri kita tidak termanipulasi oleh memori, oleh otak? Perlu pengondisian
otak, sama seperti diperlukannya pengondisian tubuh. Otak diselaraskan dengan
tubuh, tubuh diselaraskan dengan otak. Sederhananya: menyatukan kata dan
perbuatan.
Hati-hati, kita semua, dari kalangan
jelata sampai pemimpin, terancam menjadi pribadi yang terpecah. Terapi
psikiatris untuk jutaan manusia sekaligus mustahil dilaksanakan. Yang harus
dilakukan—yang semua orang tahu, kecuali pemerintah: tegakkan hukum, tegakkan law and order.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !