INDRA
TRANGGONO
Harian Kompas Cetak | 29 Juli 2015
Arti liyan tidak sebatas orang lain. Liyan memiliki dimensi
sosial, kultural, dan spiritual, yaitu orang lain direngkuh menjadi saudara
sebangsa, dihormati pikiran, perasaan, ekspresi budaya, dan keyakinan religiositasnya.
Gagasan ini kiranya yang bisa kita tangkap dalam spirit nilai-nilai Bhinneka
Tunggal Ika, salah satu pilar penting NKRI.
Namun, di negeri ini,
penghargaan atas liyan sedang terjerembap dalam
silang sengkarut perselisihan berlabel intoleransi beragama. Kasus intoleransi
di Tolikara, Papua, adalah contoh dari banyak kasus intoleransi yang mengoyak
bagian dari anyaman kebangsaan kita.
Negeri ini seolah tak pernah berhenti dirundung intoleransi.
The Wahid Institute melaporkan, sepanjang 2012 terjadi tak kurang 274
pelanggaran kebebasan beragama yang terinci ke dalam 363 tindakan. Dari sisi
pelaku, 166 tindakan dilakukan aparatus negara. Dari sisi lokasi, kejadian
paling banyak di Jawa Barat (43), disusul Aceh (22) serta Jawa Timur dan Jawa
Tengah masing-masing 15 tindakan. Adapun pada 2013, Setara Institute melaporkan
ada 122 peristiwa dengan 160 tindakan terkait kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Meskipun terjadi penurunan, kasus intoleransi tetap saja
memprihatinkan dan mencemaskan.
Kultur Jawa punya wisdom yang bagus untuk menghormati liyan, yakni tepa selira (mawas diri, tenggang rasa, dan empati). Diri pribadi dipahami
sebagai dunia personal yang memiliki nilai-nilai dan bisa dijadikan ukuran dan
pertimbangan untuk bertindak yang berakibat pada derita orang lain.
Orang Jawa bilang,
"Kabeh tindakanmu tepakna karo awakmu
dhewe. Yen ora gelem dijiwit ya aja njiwit, yen ora gelam diina ya aja ngina (Semua tindakanmu sesuaikan
dengan dirimu. Jika tidak mau dicubit, ya, jangan mencubit, dan jika tak mau
dihina, ya, jangan menghina)."
"Mental block"
Bersikap transenden
terhadap liyan merupakan tindakan
budaya yang bisa dilakukan secara kognitif, afektif, dan praksis. Transendensi
kognitif meniscayakan kita untuk secara ide, gagasan, dan nilai-nilai
memberikan ruang penghargaan atas liyan. Di sini, nilai kebajikan untuk mengapresiasi orang lain
bersemayam dalam pikiran dan niat yang melandasi tindakan. Perbedaan tidak
menjadi gangguan.
Transendensi
afektif berhubungan dengan emosi, perasaan-perasaan simpati kita atas
eksistensi dan nasib orang lain yang memiliki hak sama untuk hidup bahagia dan
sejahtera dengan keyakinannya. Orang lain menjadi bagian dari jiwa kita
sehingga jika dia atau mereka sakit atau disakiti, kita pun akan merasakan
derita yang sama. Jika agama atau sistem keyakinan mereka dihina, kita pun ikut
terhina. Pertautan dalam satu perasaan sebangsa dan senasib ini menghilangkan mental block mayoritas-minoritas,
kaya-miskin, perbedaan etnis dan agama.
Adapun transendensi secara praksis berkaitan dengan
tindakan-tindakan etis yang konkret dan didasari kesadaran atas nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebangsaan, dan keadilan yang bermuara pada
kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Bukankah cita-cita besar bangsa ini
adalah menciptakan kebahagiaan bersama? Untuk apa kelompok kita bahagia jika
kelompok lain menderita karena kebahagiaan kita? Dengan mengatasi segala
perbedaan budaya dan agama, bangsa kita memiliki modal kultural, sosial,
politik, dan spiritual untuk membangun peradaban.
Cangkang sektarianisme
Bangsa ini butuh kemauan
politik untuk keluar dari cangkang atau tempurung sektarianisme dan
primordialisme untuk menjadi bangsa modern, yakni bangsa yang mengutamakan
etika, ilmu pengetahuan, dan keterampilan untuk membangun kesejahteraan,
martabat, dan peradaban tinggi. Tak lagi terjebak pada arogansi dan keakuan
etnis dan agama yang disertai berbagai klaim atas kebesaran dan kebenarannya
sendiri yang menindas liyan.
Tanpa kesadaran
membangsa, sektarianisme dan primordialisme menjadi persoalan yang tidak pernah
selesai dan memboroskan energi bangsa. Begitu juga dengan kesibukan
memperdebatkan perbedaan keyakinan yang secara asali (dari sono-nya) memang sudah berbeda. Lebih tragis lagi jika
suntukmemperjuangkan perasaan "paling benar" sendiri di tengah kebenaran-kebenaran
lain. Kebenaran atas keyakinan tak bisa dibandingkan dan dipertentangkan satu
dengan lainnya karena masing-masing memiliki cara pandang, konsep ajaran
sendiri, yang berhubungan dengan keimanan.
Dalam konteks
kebangsaan, keimanan atas suatu agama dan keyakinan merupakan nilai yang berada
di ruang privat, bukan berada di ruang publik. Ukuran keimanan seseorang atau
kelompok adalah kemampuan mentransformasi kesalehan personal menjadi kesalehan
sosial yang bermakna dan bermanfaat bagi banyak orang. Di sini, transendensi liyan menjadi tindakan etis yang sangat penting.
INDRA TRANGGONO
PEMERHATI KEBUDAYAAN
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !