Pada
18 Desember 2014, dalam rangka menyambut Hari Amal Bhakti ke-69, Kementerian
Agama menyelenggarakan Seminar Sehari “Perlin-dungan Pemerintah terhadap
Pemeluk Agama”. Pada kegiatan yang dilakukan di Aula H. M. Rasjidi, Jakarta
itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menga-takan bahwa kementeriannya
sedang mempersiapkan RUU Per-lindungan Umat Beragama (PUB).
Upaya untuk menyusun UU tentang hubungan umat beragama sebenarnya sudah lama dilakukan. Pada tahun 2011, Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) sempat menjadi agenda pembahasan antara DPR dengan Pemerintah. Namun demikian, untuk alasan tertentu, pembahasan RUU KUB tersebut dihentikan.
Seiring banyaknya kasus kekerasan
bernuansa agama di berbagai tempat di Indonesia, kehadiran Undang-Undang yang
mengatur hubungan umat beragama semakin dirasakan urgen-sinya. Misalnya, kasus
serangan atas Muslim Syiah di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura,
pada Ahad, 26 Agustus 2012, dan kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas
lainnya seperti pelarangan tempat ibadah
HKBP Filadelfia, penyerangan terhadap
warga Ahmadiyah dan pernyataan kebencian (hate speechs) terhadap
kelompok tarekat dan penganut kepercayaan, serta penolakan pendirian masjid
Al-lkhwan Jl. Bajawa, Kupang, NTT. Kasus-kasus tersebut telah menorehkan kisah
pelik kehidupan beragama di Indonesia. Tentu kejadian seperti ini, di kemudian
hari harus dapat dicegah.
Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah
RUU PUB bertujuan untuk membatasi atau memberikan kebebasan setiap umat
beragama untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing? Draft RUU
yang sementara ini digodok oleh tim Kementerian Agama masih belum selesai,
sebagian disebabkan oleh adanya keinginan yang kuat dari Menag agar RUU PUB ini
memberikan kepastian jaminan pelayanan dan perlindungan umat beragama.
Selama ini, negara hanya memberikan
pelayanan terhadap enam agama yang sudah diakui. Sementara yang menganut agama
di luar itu belum memperoleh jaminan pelayanan yang memadai dari negara.
Sehingga sering terjadi diskriminasi pelayanan hak-hak sipil oleh Negara hanya
karena keyakinan.
Sementara itu, dalam konteks
perlindungan, seringkali negara tidak berdaya terhadap prilaku anarkis sebagian
umat beragama. Penyebabnya adalah celah hukum yang tidak memberikan sanksi
tegas terhadap pelaku pemaksaan
keyakinan.
Hal ini kerap terjadi kekerasan terhadap mereka dari kelompok tertentu.
Kata
perlindungan menjadi kata kunci dari RUU PUB ini. Ada beberapa aspek dalam UU
se-belumnya yang sering menjadi alat bagi sekelompok orang atau kelompok untuk
melakukan tindakan intoleransi. Tuduhan penodaan agama kerapkali dilayangkan
kepada seseorang hanya karena dia memiliki keyakinannya yang berbeda.
RUU
PUB ini diharapkan menjadi pedoman (guidance) bagi negara
untuk menarik garis yang tegas antara kebebasan beragama dan penodaan agama.
Penekanan pada aspek perlindungan akan menepis anggapan bahwa RUU PUB ini sama
saja dengan UU sebelumnya yang dianggap membatasi kebebasan beragama.
Sebaliknya, RUU ini akan memberikan kepastian bahwa negara tidak membelenggu
apalagi melanggengkan diskriminasi antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya. Semoga RUU PUB memberikan terobosan baru dalam upaya membangun system
yang berkeadilan bagi setiap anak bangsa yang kebetulan berbeda agama dan
keyakinan. [M. Adlin Sila]. llitbangdiklat
N0M0R 1 TAHUN 2015.
HALAMAN 6
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !