Mitoni - Telur di Mata Perempuan - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Mitoni - Telur di Mata Perempuan

Mitoni - Telur di Mata Perempuan

Written By GDE NOGATA on Selasa, 10 Januari 2017 | 23.26

Harian Kompas, Rabu, 11 Januari 2017
Malam itu suasana Pedepokan Oemah Petroek begitu remang dan terasa magis. Tak ada penerangan lain selain ublik kecil yang dijajar di segala arah dan sepanjang jalan masuk ke pedepokan. Pepohonan yang tumbuh lebat hanya terlihat samar, menambah suasana berkesan "angker".

KOMPAS/THOMAS PUDJO WIDIJANTOTarian berjudul Mitoni karya Kinanti Sekar Rahina, khusus dipersiapkan untuk dirinya dalam menjalani upacara Mitoni, sebuah upacara genap tujuh bulan kandungan anak pertama dan masa kehamilan pertama Kinanti Sekar Rahina.

Dalam aroma bau dupa yang menusuk hidung hampir di semua tempat, pedepokan yang terletak di Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta, itu menjadi ajang upacara mitoni. Sebuah rangkaian upacara tradisi Jawa yang merupakan tanda adanya siklus hidup.
Kata mitoni berasal dari kata am (awalan am menunjukkan kata kerja) + 7(tujuh) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan Jawa. Tujuannya agar embrio dalam kandungan dan si ibu yang mengandung mendapatkan anugerah keselamatan.
Lain dari biasanya, upacara di Pedepokan Oemah Petroek yang berlangsung Jumat pekan lalu itu diawali dengan pentas tari berjudul "Mitoni". Tarian itu diciptakan koreografer muda berbakat Kinanti Sekar Rahina, yang saat menari kandungannya genap tujuh bulan. "Tarian ini memang khusus saya ciptakan dari perenungan saya, perasaan hati saya, saat kandungan saya memasuki usia tujuh bulan," kata Sekar.

Digarap dalam tari Jawa tradisi, tarian ini diperagakan tujuh penari termasuk Sekar yang menjadi tokoh utama. Tarian yang menggambarkan penyucian diri itu terkesan sangat mistis.
Itulah impian Sekar, menari saat kandungannya berusia tujuh bulan dalam upacara mitoni. Yang menarik dari upacara kali ini, yang melakukan upacara mitoni bukan hanya Sekar sendiri, tetapi juga diikuti delapan ibu lain yang juga mengandung tujuh bulan. Jadi, semacam mitoni massal yang sengaja dibuat gratis tanpa biaya.
Upacara dipimpin Djoko Santosa yang memang telah lama menggeluti ritual Jawa. Diawali lampah ratri (berjalan malam) dengan baris arak-arakan dan menempatkan Sekar Kinanti di dampingi suaminya di barisan paling depan. Suami-istri ini memang dijadikan pasangan yang secara simbolis menjadi tokoh penerima upacara mitoni. Barisan di belakangnya adalah para ibu yang mengandung tujuh bulan dan di barisan paling belakang adalah para gadis cantik. Berpakaian Jawa (kemben) simbolisasi para bidadari.
Setelah lampah ratri selesai, dilanjutkan dengan siraman (permandian). Djoko memandikan Sekar dengan air bunga setaman di depan Rumah Joglo utama di kompleks Pedepokan Oemah Petroek. Siraman ini merupakan simbol pembersihan atau penyucian diri agar si ibu dijauhkan dari dosa dan cacat sehingga anaknya bisa tumbuh menjadi anak yang baik.
Upacara selanjutnya, Djoko memutus lawe atau janur yang sebelumnya diikatkan pada perut Sekar. Janur simbol cahaya keilahian yang diharapkan kelahiran berjalan lancar.
Rangkaian berikutnya adalah memasukkan dua kelapa gading yang bergambar Betara Kamajaya dan Dewi Ratih ke dalam kain yang dikenakan sang ibu. Ini terkandung harapan kelak jika bayi lahir laki-laki diharapkan setampan dan sebijaksana Betara Kamajaya dan jika lahir perempuan kelak diharapkan bisa secantik Dewi Ratih.
Upacara itu juga dilakukan ganti busana (pakaian) sebanyak tujuh kali. Ini merupakan simbol agar ibu dan anak memperoleh kebahagiaan, kemuliaan, ketabahan, cinta kegembiraan, kemandirian hidup, dan ketabahan menghadapi cobaan. Sebelum ganti busana tujuh kali, dilakukan pemotongan tumpeng.

KOMPAS/THOMAS PUDJO WIDIJANTOKOMPAS/THOMAS PUDJO WIDIJANTO
"Pokoknya pernik-pernik ritualnya banyak sekali dalam upacara mitoni. Semua itu terkandung keprihatinan pokok, yaitu watak dan perilaku," kata budayawan Sindhunata SJ dalam tulisan pengantar untuk upacara ini.
Menurut Sindhunata, dalam pemahaman Jawa, kehidupan anak, watak, perilaku sudah ditentukan sejak masih dalam kandungan. Karena itu, janin harus terus dirawat dan dibersihkan dari segala sukerta (kejahatan) agar anak lahir nanti laki-laki atau perempuan bisa menjadi anak baik, berbakti, dan hidupnya selamat.
Lukisan
Upacara ritual dalam paham Jawa memang senantiasa melekat dalam perjalanan sejarah manusia Jawa. Artinya, meskipun banyak yang tidak melakukan lagi, masih banyak juga yang tetap mengamini sebuah ritus ritual. Seperti upacara mitoni, masih banyak orang Jawa menjalankannya. Mereka menganggap ritual mitoni adalah sebuah harapan untuk membangun kehidupan lewat garis keturunan. Bahkan, wacana-wacana baru dari perjalanan hidup seseorang (Jawa) makin memperkuat pandangan mereka tentang mitoni. Artinya, tafsir baru tentang mitoni menurut pengalaman hidup mereka semacam menjadi spirit untuk tidak melepaskan begitu saja ritual itu.
Ini seperti berbanding lurus dengan kegiatan seni rupa yang merespons upacara mitoni Sindhunata dengan sengaja mendatangkan seniman perupa untuk melahirkan pandangannya tentang mitoni lewat karya lukis. Ada 15 perupa Yogyakarta yang diundang untuk menafsir tentang mitoni.
Diungkapkan oleh Sindhunata, ternyata ada ragam tafsir tentang mitoni di mata seniman, lengkap dengan aktualisasi pikirannya. Kalau diperpanjang lagi ungkapan Sindhunata itu, ada persentuhan watak tradisi dan watak modern, dan itu tampaknya yang menjadi harapan kebudayaan.
Sindhunata menunjuk karya Laksmi Sitoresmi, perupa perempuan yang pernah menjalani upacara mitoni. Dalam karya berjudul Memory of the Last 1999terungkap bagaimana kecemasan, keresahan, tetapi sekaligus kebahagiaan, terungkap dalam karya itu.
Lukisan itu yang berupa perempuan sedang memegang telur besar, disebutkan oleh Sindhunata-yang pernah berbincang dengan Laksmi-telur besar itu adalah kecemasan Laksmi. Telur itu mudah pecah, apalagi ukuran besar. Akan selamatkah kandungannya? "Dari lukisan itu tergambar jauh pemikiran Laksmi hendak menjadi apakah anaknya kelak, atau akan selamatkah anaknya di masa depan? Betapapun Laksmi ingin menjadi yang baik, seorang ibu yang selalu ingin melindungi anaknya," ungkap Sindhunata.
Kisah Laksmi yang diungkap Sindhunata itu merupakan gambaran betapa memiliki anak bukan persoalan sembarangan. Anak bukan sekadar hasil cinta berahi laki-laki dan perempuan. Anak adalah harapan spiritualitas sakral dari manusia, akan hal hidup yang membawa arti.
Menginginkan anak adalah keinginan suci. Anak bukanlah yang terbuang, hanya karena menutupi aib kehidupan seseorang. Itu sangat jauh dari konsep pemikiran mitoni.
(THOMAS PUDJO WIDIJANTO)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template