Harian Kompas, Rabu, 11 Januari 2017
Malam
itu suasana Pedepokan Oemah Petroek begitu remang dan terasa magis. Tak ada
penerangan lain selain ublik kecil yang dijajar di segala arah
dan sepanjang jalan masuk ke pedepokan. Pepohonan yang tumbuh lebat hanya
terlihat samar, menambah suasana berkesan "angker".
KOMPAS/THOMAS
PUDJO WIDIJANTOTarian
berjudul Mitoni karya Kinanti Sekar Rahina, khusus dipersiapkan untuk dirinya
dalam menjalani upacara Mitoni, sebuah upacara genap tujuh bulan kandungan anak
pertama dan masa kehamilan pertama Kinanti Sekar Rahina.
Dalam
aroma bau dupa yang menusuk hidung hampir di semua tempat, pedepokan yang
terletak di Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman,
Yogyakarta, itu menjadi ajang upacara mitoni. Sebuah rangkaian upacara tradisi
Jawa yang merupakan tanda adanya siklus hidup.
Kata mitoni berasal
dari kata am (awalan am menunjukkan kata kerja) + 7(tujuh)
yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara yang
dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan Jawa.
Tujuannya agar embrio dalam kandungan dan si ibu yang mengandung mendapatkan
anugerah keselamatan.
Lain
dari biasanya, upacara di Pedepokan Oemah Petroek yang berlangsung Jumat pekan
lalu itu diawali dengan pentas tari berjudul "Mitoni". Tarian itu
diciptakan koreografer muda berbakat Kinanti Sekar Rahina, yang saat menari
kandungannya genap tujuh bulan. "Tarian ini memang khusus saya ciptakan
dari perenungan saya, perasaan hati saya, saat kandungan saya memasuki usia
tujuh bulan," kata Sekar.
Digarap
dalam tari Jawa tradisi, tarian ini diperagakan tujuh penari termasuk Sekar
yang menjadi tokoh utama. Tarian yang menggambarkan penyucian diri itu terkesan
sangat mistis.
Itulah
impian Sekar, menari saat kandungannya berusia tujuh bulan dalam upacara
mitoni. Yang menarik dari upacara kali ini, yang melakukan upacara mitoni bukan
hanya Sekar sendiri, tetapi juga diikuti delapan ibu lain yang juga mengandung
tujuh bulan. Jadi, semacam mitoni massal yang sengaja dibuat gratis tanpa
biaya.
Upacara
dipimpin Djoko Santosa yang memang telah lama menggeluti ritual Jawa.
Diawali lampah ratri (berjalan malam) dengan baris arak-arakan
dan menempatkan Sekar Kinanti di dampingi suaminya di barisan paling depan.
Suami-istri ini memang dijadikan pasangan yang secara simbolis menjadi tokoh
penerima upacara mitoni. Barisan di belakangnya adalah para ibu yang mengandung
tujuh bulan dan di barisan paling belakang adalah para gadis cantik. Berpakaian
Jawa (kemben) simbolisasi para bidadari.
Setelah lampah
ratri selesai, dilanjutkan dengan siraman (permandian). Djoko
memandikan Sekar dengan air bunga setaman di depan Rumah Joglo utama di
kompleks Pedepokan Oemah Petroek. Siraman ini merupakan simbol pembersihan atau
penyucian diri agar si ibu dijauhkan dari dosa dan cacat sehingga anaknya bisa
tumbuh menjadi anak yang baik.
Upacara
selanjutnya, Djoko memutus lawe atau janur yang sebelumnya
diikatkan pada perut Sekar. Janur simbol cahaya keilahian yang diharapkan
kelahiran berjalan lancar.
Rangkaian
berikutnya adalah memasukkan dua kelapa gading yang bergambar Betara Kamajaya
dan Dewi Ratih ke dalam kain yang dikenakan sang ibu. Ini terkandung harapan
kelak jika bayi lahir laki-laki diharapkan setampan dan sebijaksana Betara
Kamajaya dan jika lahir perempuan kelak diharapkan bisa secantik Dewi Ratih.
Upacara
itu juga dilakukan ganti busana (pakaian) sebanyak tujuh kali. Ini merupakan
simbol agar ibu dan anak memperoleh kebahagiaan, kemuliaan, ketabahan, cinta
kegembiraan, kemandirian hidup, dan ketabahan menghadapi cobaan. Sebelum ganti
busana tujuh kali, dilakukan pemotongan tumpeng.
KOMPAS/THOMAS
PUDJO WIDIJANTOKOMPAS/THOMAS
PUDJO WIDIJANTO
"Pokoknya
pernik-pernik ritualnya banyak sekali dalam upacara mitoni. Semua itu terkandung
keprihatinan pokok, yaitu watak dan perilaku," kata budayawan Sindhunata
SJ dalam tulisan pengantar untuk upacara ini.
Menurut
Sindhunata, dalam pemahaman Jawa, kehidupan anak, watak, perilaku sudah
ditentukan sejak masih dalam kandungan. Karena itu, janin harus terus dirawat
dan dibersihkan dari segala sukerta (kejahatan) agar anak
lahir nanti laki-laki atau perempuan bisa menjadi anak baik, berbakti, dan
hidupnya selamat.
Lukisan
Upacara
ritual dalam paham Jawa memang senantiasa melekat dalam perjalanan sejarah
manusia Jawa. Artinya, meskipun banyak yang tidak melakukan lagi, masih banyak
juga yang tetap mengamini sebuah ritus ritual. Seperti upacara mitoni, masih
banyak orang Jawa menjalankannya. Mereka menganggap ritual mitoni adalah sebuah
harapan untuk membangun kehidupan lewat garis keturunan. Bahkan, wacana-wacana
baru dari perjalanan hidup seseorang (Jawa) makin memperkuat pandangan mereka
tentang mitoni. Artinya, tafsir baru tentang mitoni menurut pengalaman hidup
mereka semacam menjadi spirit untuk tidak melepaskan begitu saja ritual itu.
Ini
seperti berbanding lurus dengan kegiatan seni rupa yang merespons upacara
mitoni Sindhunata dengan sengaja mendatangkan seniman perupa untuk melahirkan
pandangannya tentang mitoni lewat karya lukis. Ada 15 perupa Yogyakarta yang
diundang untuk menafsir tentang mitoni.
Diungkapkan
oleh Sindhunata, ternyata ada ragam tafsir tentang mitoni di mata seniman,
lengkap dengan aktualisasi pikirannya. Kalau diperpanjang lagi ungkapan
Sindhunata itu, ada persentuhan watak tradisi dan watak modern, dan itu
tampaknya yang menjadi harapan kebudayaan.
Sindhunata
menunjuk karya Laksmi Sitoresmi, perupa perempuan yang pernah menjalani upacara
mitoni. Dalam karya berjudul Memory of the Last 1999terungkap
bagaimana kecemasan, keresahan, tetapi sekaligus kebahagiaan, terungkap dalam
karya itu.
Lukisan
itu yang berupa perempuan sedang memegang telur besar, disebutkan oleh
Sindhunata-yang pernah berbincang dengan Laksmi-telur besar itu adalah
kecemasan Laksmi. Telur itu mudah pecah, apalagi ukuran besar. Akan selamatkah
kandungannya? "Dari lukisan itu tergambar jauh pemikiran Laksmi hendak
menjadi apakah anaknya kelak, atau akan selamatkah anaknya di masa depan?
Betapapun Laksmi ingin menjadi yang baik, seorang ibu yang selalu ingin
melindungi anaknya," ungkap Sindhunata.
Kisah
Laksmi yang diungkap Sindhunata itu merupakan gambaran betapa memiliki anak
bukan persoalan sembarangan. Anak bukan sekadar hasil cinta berahi laki-laki
dan perempuan. Anak adalah harapan spiritualitas sakral dari manusia, akan hal
hidup yang membawa arti.
Menginginkan
anak adalah keinginan suci. Anak bukanlah yang terbuang, hanya karena menutupi
aib kehidupan seseorang. Itu sangat jauh dari konsep pemikiran mitoni.
(THOMAS
PUDJO WIDIJANTO)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !