HERRY TJAHJONO
Harian Kompas, Selasa 17 Januari 2017
Kehidupan itu secara sederhana terdiri atas dua elemen, yakni isi dan bungkus, esensi dan sensasi, inti dan perifer, sejati dan konsekuensi logis.
HANDINING
Kedua elemen itu
melahirkan sebuah prinsip bahwa tugas kehidupan manusia sesungguhnya bagaimana
menjadi isi, esensi, inti, atau sejati. Bukan sebaliknya. Jadi, tujuan hidup
manusia sesungguhnya terus-menerus berjuang jadi ”manusia isi, manusia esensi,
manusia inti, manusia sejati”. Jika ini dilakukan, bungkus, sensasi, perifer,
atau konsekuensi logis akan hadir dengan sendirinya di hidup kita.
Pemutarbalikan
prinsip
Namun, dalam kehidupan
modern—khususnya di negeri kita—prinsip kehidupan di atas justru telah
diputarbalikkan. Manusia sekarang lebih suka mengejar dulu bungkus, sensasi,
perifer atau konsekuensi logis kehidupan.
Seorang pelajar,
misalnya, seharusnya dia lebih dahulu berjuang untuk menjadi ”pelajar berisi,
pelajar esensial, pelajar inti, atau pelajar sejati” (bukan hanya cerdas otak,
melainkan juga karakter, kepribadian, bahkan spiritual). Sebab, jika ia sudah
menjadi pelajar sejati, maka konsekuensi logis akan datang sendirinya, seperti
masalah nilai, peringkat yang baik, atau bahkan juara. Menjadi pelajar sejati
otomatis menjadi pelajar bermanfaat, pelajar bermakna.
Tapi, pada kenyataannya, dunia pendidikan sekarang (orangtua,
sekolah, dan bahkan mungkin lingkungan serta pemerintah) menuntut anak atau
pelajar lebih dahulu mengejar nilai, peringkat, predikat juara, yang semuanya
disebut sebagai ”bungkus, sensasi, perifer, konsekuensi logis”.Itu sebabnya di
dunia pendidikan banyak terjadi penyimpangan. Demi berbagai konsekuensi logis
itu segala cara digunakan, mulai dari nyontek, beli ijazah, joki, plagiat, dan lainnya. Contoh lain ada dalam
dunia olahraga. Misalnya, atlet lebih dahulu mengejar piala, hadiah, dan uang,
bukannya jadi atlet sejati.
Pemutarbalikan prinsip itu nyaris melanda segenap dimensi
kehidupan di sekitar kita. Pemutarbalikan itu mendapatkan resultante sempurna di dimensi ekonomi dan politik.
Hal ini yang membuat dinamika kehidupan ekonomi dan politik kita sering
mengalami gonjang-ganjing.
Pertama, pemutarbalikan prinsip kehidupan dalam dimensi ekonomi
(dan bisnis). Para pengusaha relatif lebih mengejar konsekuensi logis, bungkus,
sensasi dibandingkan lebih dulu berjuang menjadi pengusaha sejati. Dan, kita
paham, konsekuensi logis paling riil bagi pengusaha adalah profit. Merujuk
Elkington (dalam Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business, 1997) yang menyinggung
bahwa tanggung jawab dunia usaha sesungguhnya mencakup ”3P”: profit, people, planet,di mana ketiganya mencakup para pemangku
kepentingan.
Namun, dari ketiga P itu, profit lebih mudah tergelincir ke wilayah konsekuensi
logis. Profit tentu penting dan
menjadi tanggung jawab pengusaha demi para pemangku kepentingan keseluruhan.
Namun, secara faktual- psikologis, keuntungan ini lebih diperlakukan sebagai
konsekuensi logis yang dikejar lebih dahulu. Bahkan, yang sering terjadi, kedua
P lainnya, people dan planet, dieksploitasi sedemikian rupa demi sebuah profit. Maka, lupakan soal menjadi pengusaha sejati.
Itu sebabnya, penyelewengan dunia usaha—baik yang terjadi di level dunia maupun
level nasional— semuanya karena pemutarbalikan ini.
Seperti halnya pelajar yang lebih dahulu mengejar nilai, atau
atlet mengejar hadiah, demikian pula pengusaha: lebih dahulu mengejar profit.
Salah satu fenomena menarik adalah kaitannya dengan amnesti pajak.
Program ini dilakukan
karena dunia usaha Indonesia membabi buta mengejar profit sebanyak-banyaknya,
lalu mengamankannya meski untuk itu harus menutupi pajak. Padahal, kepatuhan
memenuhi pajak adalah salah satu syarat menjadi pengusaha sejati.Maka, fenomena
”amnesti pajak” di negeri kita menjadi paradoks. Di satu sisi, kita gembira
dengan perkembangan amnesti pajak dan berharap agar amnesti pajak sukses.
Namun, pada saat yang sama, hal itu juga memprihatinkan karena semakin sukses
amnesti pajak maka sesungguhnya menjadi refleksi betapa langkanya pengusaha
sejati di Indonesia.
Kedua, pemutarbalikan
prinsip kehidupan dalam dimensi politik. Dunia politik kita tak kalah parah kalau
tidak boleh disebut malah yang paling parah. Panggung politik beserta para
aktornya sama sekali jauh dari prinsip menjadi ”politisi berisi, politisi
esensi, politisi inti, atau politisi sejati”. Mereka membabi buta lebih dahulu
mengejar bungkus, sensasi, perifer, atau konsekuensi logisnya, yaitu kekuasaan.
Padahal, jika becermin
pada Victor Frankl, bahwasannya kekuasaan itu hanyalah konsekuensi logis dari
upaya seseorang menjadi ”pemimpin sejati”. Kekuasaan bukan tujuan, melainkan
sarana untuk menjadi pemimpin atau politisi sejati.
Jika seseorang sudah
mampu menjadi pemimpin sejati (yang bernuansakan nilai-nilai dan kepentingan
kemanusiaan, bangsa, umat manusia, rakyat), maka kekuasaan beserta segenap
kenikmatanhidup akan datang dengan sendirinya. Tapi yang terjadi adalah
sebongkah nafsu dan pertanyaan: ”Apa kenikmatan kekuasaan yang bisa didapat
bagi diri sendiri dulu?” Itu sebabnya kita berlimpah politisi pengejar
kekuasaan dibandingkan politisi sejati ataunegarawan.
Bagi mereka yang sedang
mengejar kekuasaan cenderung melakukan segala cara untuk mendapatkannya.
Selanjutnya, jika sudah berkuasa, mereka juga akan melakukan segala cara
(termasuk maling dan korupsi) untuk mempertahankan, mengompensasi, dan
mengeksploitasi habis-habisan kekuasaan yang ada di genggamannya.
Jika sudah tiba masa
meletakkan kekuasaannya, mereka juga menggunakan segala cara agar bisa
”merebut” kembali kekuasaan yang pernah digenggamnya. Merebut kembali
kekuasaannya lewat orang, kroni, famili yang dimobilisasi untuk memegang kekuasaan.
Tanggung
jawab bersama
Dominasi pola hidup
konsekuensi logis, khususnya profit dan kekuasaan, kini bersimaharajalela.
Semua berpikir, bersikap, dan berperilaku sebagaimana ”pengusaha dengan syahwat
profitnya dan politisi dengan syahwat kekuasaannya”. Sedemikian hebatnya
sehingga wilayah yang seharusnya sakral, yakni agama, juga tak luput dari
dominasikonsekuensi logis ini. Alhasil, di masa kini sudah tak mudah menemukan
para pelaku agama yang sejati. Mereka lebih banyak pelaku agama sensasi,
bungkus, dan seterusnya.
Meluruskan kembali
prinsip hidup agar lebih dahulu mengejar isi, esensi, dan kesejatian ini
menjadi tanggung jawab kita semua. Baik itu pelajar, atlet, orangtua, pemimpin,
menteri, wakil rakyat, presiden, pejuang LSM, agamawan; pendek kata kita semua,
tanpa terkecuali. Sebab, ini sesungguhnya menjadi tugas kehidupan individual
sekaligus spiritual kita masing-masing.
Pemutarbalikan prinsip
hidup ini akan ”menular” secara generasional dan akan sangat membahayakan
generasi masa depan. Kita tak bisa membayangkan kehancuran peradaban seperti
apa yang terjadi sepuluh, dua puluh, atau beberapa puluh tahun ke depan tatkala
generasi penerus mutlak dijajah oleh pola hidup konsekuensi logis. Sebab, pada
waktu itu, mereka tidak hanya amnesia, tetapi juga tak peduli bahwa tugas
kehidupan terpenting dan luhur itu salah satunya adalah lebih dahulu menjadi
manusia sejati.
HERRY TJAHJONO, TERAPIS
BUDAYA PERUSAHAAN
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !