Pariwisata Nusantara - Menjual Awan di Lolai - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Pariwisata Nusantara - Menjual Awan di Lolai

Pariwisata Nusantara - Menjual Awan di Lolai

Written By GDE NOGATA on Jumat, 13 Januari 2017 | 20.06

PARIWISATA
Harian Kompas - Jumat, 14 Januari 2017 
Hari masih gelap saat Nona Kandola (30), Lisnadenani (23) dan Dhimas Rizky (37), meninggalkan hotel di kawasan Toraja Utara, 27 Desember lalu sekitar pukul 04.00 Wita. Wisatawan asal Jakarta dan Makassar itu bergegas menuju Lolai.


KOMPAS/RENY SRI AYU
Pengunjung memadati sebuah pelataran di To'tombi di dataran tinggi Lolai, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Mereka berkumpul menyaksikan gumpalan kabut tebal serupa awan yang menutup lembah setiap pagi di kawasan itu. Lolai dengan pemandangan kabut kini menjadi magnet baru wisata Toraja dan dikenal dengan sebutan "Negeri di Atas Awan".
Lolai adalah dataran tinggi di To’tombi, Desa Mamullu, Kecamatan Kapala Pitu, sekitar 20 kilometer dari Rantepao, ibu kota Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Subuh itu kendaraan mereka serta kendaraan roda empat dan roda dua lain berjejal di jalan sempit dan berliku, memecah sunyi di dataran tinggi Lolai. Sebagian berhenti di To’tombi, sebagian lainnya melanjutkan ke Lempe, masih di kawasan Lolai. Pengunjung itu datang untuk menyaksikan kabut tebal putih menggumpal serupa awan.
Orang-orang yang bergerak dari Toraja Utara pagi itu, atau yang menginap di To’tombi ataupun Lempe, adalah pemburu awan. Hampir setiap pukul 05.30-09.00 Wita, lembah di Lolai dipenuhi gumpalan kabut tebal sehingga seluruh permukaan lembah tertutup dan berwarna putih. Pengunjung pun seolah berada di atas awan. Itulah mengapa Lolai terkenal dengan sebutan ”Negeri di Atas Awan”.
Toraja masih menjadi andalan pariwisata Sulsel. Sesuai data Dinas Pariwisata Sulsel 2016, kunjungan wisatawan mancanegara mencapai sekitar 250.000 orang dan wisatawan Nusantara sekitar 8 juta orang. Sebagian besar masih memilih Toraja.
Sejak tahun lalu, Lolai menjadi magnet baru wisata Toraja. Perkampungan yang dulu sunyi dan tak dilirik wisatawan kini adalah obyek wisata yang dikunjungi orang setiap hari.
Semula warga kaget dan gagap. Namun, perubahan ini perlahan dijadikan peluang. Beramai-ramai mereka membuka pintu, membuka tangan menyambut wisatawan yang kian tak terbendung.
Kawasan Tongkonan Lempe yang dulu sunyi kini dipenuhi jejeran kios makanan dan minuman. Beberapa bangunan tongkonan (rumah adat masyarakat Toraja) beralih fungsi jadi penginapan. Pelataran tongkonan pun dipenuhi tenda atau kemah yang juga disewakan.
Tabitha Sattu (30) adalah salah satu warga yang ikut menangkap peluang awan di Lolai. Dari semula mendirikan kios makan-minum sederhana berukuran 2 meter x 2 meter, dia membangun rumah panggung sederhana dengan beberapa kamar yang disewakan. ”Lumayan saya jadi punya penghasilan tambahan. Sebelumnya hanya suami yang mencari nafkah, itu pun hanya mengandalkan hasil kebun seadanya. Sekarang pisang di kebun yang biasanya membusuk bisa jadi pisang goreng yang laku dijual,” katanya.
Melibatkan warga
Pengelolaan kawasan Tongkonan Lempe, mulai dari kios, rumah sewa, hingga lahan parkir dan tiket masuk, melibatkan warga setempat yang difasilitasi pemerintah. Selain untuk pendapatan warga, sebagian pendapatan untuk memperbaiki fasilitas desa, termasuk jalan.
Warga di kawasan lain turut menangkap peluang ini. Aviv Tallulembang (50), warga To’tombi yang sejak kuliah menetap di Makassar, misalnya, memilih pulang kampung memboyong istri dan anaknya. Dia terpanggil mendampingi warga agar sadar wisata.
”Banyak hal sederhana yang saya bagi, misalnya menjaga lingkungan dan kebersihan, ramah dan senyum, mengelola sumber daya yang ada agar lebih punya nilai tambah. Yang lebih penting berkesinambungan. Saya ingin ke depan, orang tak hanya datang melihat awan di sini, tetapi juga mau menunggu matahari tenggelam, dan menikmati perkampungan,” katanya.
Aviv pun mengajak warga mengelola kawasan To’tombi. Warga diajak membangun gazebo dan kios makan minum di lahan seluas 2 hektar. Lahan ini milik orangtua Aviv yang dibuka untuk lokasi penerjunan paralayang.
Di lahan itu dibangun petak-petak gazebo beratap rumbia berukuran 2 meter x 3 meter yang disewakan Rp 300.000 per malam. Pemuda setempat ikut andil dengan membeli puluhan tenda yang disewakan Rp 100.000 per malam.

Warga lain diminta menjual hasil kebun, seperti pisang, ubi, beras, dan kopi, untuk keperluan kios makanan dan minuman. Bersama tokoh masyarakat dan para tetua, Aviv memberikan pemahaman kepada warga agar lebih membuka daerah mereka menjadi tempat wisata.
”Saya meminta warga membenahi rumahnya, setidaknya menyisihkan satu kamar yang bisa disewakan jika pengunjung membeludak. Gazebo sulit ditambah karena lokasi terbatas dan kami tak ingin membuka hutan atau kebun menjadi penginapan,” katanya.
Aviv juga mengajak warga mengolah hasil kebun menjadi camilan yang bisa dijual dan menjadi oleh-oleh. Kini ia mengajari warga menanam tanaman organik yang diharapkan menjadi komoditas baru yang memberi nilai lebih dari kebun. Warga menyambutnya. Mereka kini kian membenahi kampung dan kebun.
Lurah Rantepao Marthen Panggalo mengatakan, imbas ekonomi dari Lolai tak hanya jadi milik warga Lolai. ”Rantepao kini padat. Angkot dan ojek dari Rantepao bolak-balik ke Lolai. Padahal, dahulu hanya sekali naik-turun mengantar anak sekolah dan orang ke pasar, itu semua karena awan. Bahkan, sekarang hotel di Rantepao jarang kosong sejak obyek wisata awan ini makin terkenal,” katanya.
Kabut yang dulu dianggap hal biasa kini justru menjadi jualan dan magnet Lolai. Pada awan, warga menyandarkan harapan untuk hidup yang lebih baik. ( Reny Sri Ayu ).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template