PARIWISATA
Harian Kompas - Jumat, 14
Januari 2017
Hari masih gelap saat Nona Kandola (30), Lisnadenani (23) dan Dhimas Rizky (37), meninggalkan hotel di kawasan Toraja Utara, 27 Desember lalu sekitar pukul 04.00 Wita. Wisatawan asal Jakarta dan Makassar itu bergegas menuju Lolai.
Hari masih gelap saat Nona Kandola (30), Lisnadenani (23) dan Dhimas Rizky (37), meninggalkan hotel di kawasan Toraja Utara, 27 Desember lalu sekitar pukul 04.00 Wita. Wisatawan asal Jakarta dan Makassar itu bergegas menuju Lolai.
KOMPAS/RENY SRI AYU
Pengunjung memadati sebuah pelataran di To'tombi di dataran tinggi Lolai, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Mereka berkumpul menyaksikan gumpalan kabut tebal serupa awan yang menutup lembah setiap pagi di kawasan itu. Lolai dengan pemandangan kabut kini menjadi magnet baru wisata Toraja dan dikenal dengan sebutan "Negeri di Atas Awan".
Lolai adalah dataran
tinggi di To’tombi, Desa Mamullu, Kecamatan Kapala Pitu, sekitar 20 kilometer
dari Rantepao, ibu kota Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Subuh itu kendaraan
mereka serta kendaraan roda empat dan roda dua lain berjejal di jalan sempit
dan berliku, memecah sunyi di dataran tinggi Lolai. Sebagian berhenti di
To’tombi, sebagian lainnya melanjutkan ke Lempe, masih di kawasan Lolai.
Pengunjung itu datang untuk menyaksikan kabut tebal putih menggumpal serupa
awan.
Orang-orang yang
bergerak dari Toraja Utara pagi itu, atau yang menginap di To’tombi ataupun
Lempe, adalah pemburu awan. Hampir setiap pukul 05.30-09.00 Wita, lembah di
Lolai dipenuhi gumpalan kabut tebal sehingga seluruh permukaan lembah tertutup
dan berwarna putih. Pengunjung pun seolah berada di atas awan. Itulah mengapa
Lolai terkenal dengan sebutan ”Negeri di Atas Awan”.
Toraja masih menjadi
andalan pariwisata Sulsel. Sesuai data Dinas Pariwisata Sulsel 2016, kunjungan
wisatawan mancanegara mencapai sekitar 250.000 orang dan wisatawan Nusantara
sekitar 8 juta orang. Sebagian besar masih memilih Toraja.
Sejak tahun lalu, Lolai
menjadi magnet baru wisata Toraja. Perkampungan yang dulu sunyi dan tak dilirik
wisatawan kini adalah obyek wisata yang dikunjungi orang setiap hari.
Semula warga kaget dan
gagap. Namun, perubahan ini perlahan dijadikan peluang. Beramai-ramai mereka membuka
pintu, membuka tangan menyambut wisatawan yang kian tak terbendung.
Kawasan Tongkonan Lempe
yang dulu sunyi kini dipenuhi jejeran kios makanan dan minuman. Beberapa
bangunan tongkonan (rumah adat masyarakat Toraja) beralih fungsi jadi
penginapan. Pelataran tongkonan pun dipenuhi tenda atau kemah yang juga
disewakan.
Tabitha Sattu (30)
adalah salah satu warga yang ikut menangkap peluang awan di Lolai. Dari semula
mendirikan kios makan-minum sederhana berukuran 2 meter x 2 meter, dia
membangun rumah panggung sederhana dengan beberapa kamar yang disewakan.
”Lumayan saya jadi punya penghasilan tambahan. Sebelumnya hanya suami yang
mencari nafkah, itu pun hanya mengandalkan hasil kebun seadanya. Sekarang
pisang di kebun yang biasanya membusuk bisa jadi pisang goreng yang laku
dijual,” katanya.
Melibatkan
warga
Pengelolaan kawasan
Tongkonan Lempe, mulai dari kios, rumah sewa, hingga lahan parkir dan tiket
masuk, melibatkan warga setempat yang difasilitasi pemerintah. Selain untuk
pendapatan warga, sebagian pendapatan untuk memperbaiki fasilitas desa,
termasuk jalan.
Warga di kawasan lain
turut menangkap peluang ini. Aviv Tallulembang (50), warga To’tombi yang sejak
kuliah menetap di Makassar, misalnya, memilih pulang kampung memboyong istri
dan anaknya. Dia terpanggil mendampingi warga agar sadar wisata.
”Banyak hal sederhana
yang saya bagi, misalnya menjaga lingkungan dan kebersihan, ramah dan senyum,
mengelola sumber daya yang ada agar lebih punya nilai tambah. Yang lebih
penting berkesinambungan. Saya ingin ke depan, orang tak hanya datang melihat
awan di sini, tetapi juga mau menunggu matahari tenggelam, dan menikmati perkampungan,”
katanya.
Aviv pun mengajak warga
mengelola kawasan To’tombi. Warga diajak membangun gazebo dan kios makan minum
di lahan seluas 2 hektar. Lahan ini milik orangtua Aviv yang dibuka untuk
lokasi penerjunan paralayang.
Di lahan itu dibangun
petak-petak gazebo beratap rumbia berukuran 2 meter x 3 meter yang disewakan Rp
300.000 per malam. Pemuda setempat ikut andil dengan membeli puluhan tenda yang
disewakan Rp 100.000 per malam.
Warga lain diminta menjual hasil kebun, seperti pisang, ubi, beras, dan kopi, untuk keperluan kios makanan dan minuman. Bersama tokoh masyarakat dan para tetua, Aviv memberikan pemahaman kepada warga agar lebih membuka daerah mereka menjadi tempat wisata.
”Saya meminta warga
membenahi rumahnya, setidaknya menyisihkan satu kamar yang bisa disewakan jika
pengunjung membeludak. Gazebo sulit ditambah karena lokasi terbatas dan kami
tak ingin membuka hutan atau kebun menjadi penginapan,” katanya.
Aviv juga mengajak warga
mengolah hasil kebun menjadi camilan yang bisa dijual dan menjadi oleh-oleh.
Kini ia mengajari warga menanam tanaman organik yang diharapkan menjadi
komoditas baru yang memberi nilai lebih dari kebun. Warga menyambutnya. Mereka
kini kian membenahi kampung dan kebun.
Lurah Rantepao Marthen
Panggalo mengatakan, imbas ekonomi dari Lolai tak hanya jadi milik warga Lolai.
”Rantepao kini padat. Angkot dan ojek dari Rantepao bolak-balik ke Lolai.
Padahal, dahulu hanya sekali naik-turun mengantar anak sekolah dan orang ke
pasar, itu semua karena awan. Bahkan, sekarang hotel di Rantepao jarang kosong
sejak obyek wisata awan ini makin terkenal,” katanya.
Kabut yang dulu dianggap
hal biasa kini justru menjadi jualan dan magnet Lolai. Pada awan, warga
menyandarkan harapan untuk hidup yang lebih baik. ( Reny Sri Ayu ).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !