Harian Kompas Cetak |Jumat, 27
November 2015
JITET
Saya kira dalam hal
mengurus Kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid(sedikit keras kepala)."
Ucapan Presiden Soekarno
saat melantik Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin, seperti yang
dikutip dari bukuBang Ali-Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan KH, itu bukannya tanpa
alasan.
Sepertinya Bung Karno menyadari, sebagai ibu
kota sebuah negeri besar, Jakarta memerlukan seorang pemimpin tegas yang
memiliki keteguhan hati. Sebagai seorang insinyur yang memiliki keahlian dalam
perencanaan kota, Bung Karno tahu betul, mengelola sebuah kota bukan
semata-mata mengurus hal-hal yang bersifat fisik, melainkan juga menyangkut
manusia-manusia penghuninya.
Sejarah kemudian
mencatat, Bang Ali menjadi Gubernur Jakarta terbaik. Atau dalam gaya guyon suroboyoan, Bang Ali adalah Gubernur DKI, sementara
yang lain adalah gubernur penggantinya. Berkat ketegasan dan konsistensinya,
Bang Ali berhasil mewujudkan sebuah Ibu Kota.
Sebutan keras kepala rupanya tak berarti dia
tidak mau mendengar. Dialah gubernur yang selalu mendengar apa yang diinginkan
masyarakatnya. Pernyataan-pernyataan kontroversialnya lebih sering dimaksudkan
untuk "memancing" serta menampung reaksi dan masukan dari masyarakat
Ibu Kota.
Letnan Jenderal Korps Komando Angkatan Laut itu
adalah seorang gubernur yang keras, cerdik, konsekuen, dan konsisten terhadap
kebijaksanaannya. Meski demikian, Bang Ali juga dikenal merakyat dan humanis,
yang tak segan menyingsingkan lengan baju turun langsung ke lapangan.
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias (Pak) Ahok
tentu saja bukan Bang Ali. Mereka hadir dalam zaman yang berbeda dan tentu
menghadapi persoalan Ibu Kota yang juga tidak sama. Bang Ali menerakan tapak
sebuah metropolitan yang membanggakan. Terlepas dari berbagai persoalan, di
zamannya, di tangannya, Jakarta kemudian memiliki proyek MHT (Muhammad Husni
Thamrin), Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, hingga kawasan
pelestarian budaya Betawi di Condet.
"Keteguhan dan keras kepala" Pak Ahok
bisa menjadi modal untuk menata Ibu Kota yang lebih baik lagi. Dia bisa
menerakan sejarah untuk mewujudkan sebuah Ibu Kota idaman yang disegani.
Sepertinya jalan ke arah itu sudah terbentang walau gangguan dan rongrongan
tentu saja ada. Apalagi mengingat saat ini bukan melulu persoalan Ibu Kota
semata yang dihadapi gubernur. Sering kali ada kepentingan-kepentingan politik
yang menari di antaranya.
Pemilihan Kepala Daerah
DKI Jakarta dua tahun lagi membuat suasana politik mulai ramai. Belum lagi
masyarakat yang lebih terbuka, media sosial yang berisik sering kali memanaskan
situasi. Namun, Pak Ahok tetap bisa mengambil keuntungan dari semua itu guna
mendapatkan informasi, masukan, dan kritik lebih banyak ketimbang zaman Bang
Ali dulu yang hanya mengandalkan media cetak. Mengubah noise menjadi voice di media sosial adalah salah satu cara
yang bijak.
Di bawah kepemimpinannya, Ahok berupaya
memosisikan Pemprov DKI sebagai pelayan rakyat. Berbagai upaya memperbaiki mutu
pelayanan publik terus dilakukan. Langkah untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih, berwibawa, efektif, dan efisien sudah dicoba.
Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, mengingat
berbagai persoalan Ibu Kota sudah ibarat benang kusut yang perlu kerja keras
untuk mengurainya. Ahok harus bisa menggunting kekusutan itu, malah!
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !