DEDI MUHTADI
Harian Kompas, Jumat 14
Januari 2017
Anda kenal kolotok? Alat bunyi yang terbuat dari
kayu ini biasa digantungkan di leher kerbau untuk menandai keberadaan ternak
itu saat digembalakan. Di Sukamantri, Kabupaten Ciamis bagian utara, di kaki
Gunung Madati, kolotok digunakan untuk ritual tahunan seni tradisi bebegig.
KOMPAS/DEDI
MUHTADI
Warga Desa Sukamantri, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menggelar festival kolotok, Selasa (20/12), untuk melestarikan seni tradisional bebegig. Kolotok adalah alat musik penanda hewan yang biasa digantungkan di leher hewan ternak. Alat ini untuk menandai keberadaan hewan ternak saat digembalakan.
Warga Desa Sukamantri, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menggelar festival kolotok, Selasa (20/12), untuk melestarikan seni tradisional bebegig. Kolotok adalah alat musik penanda hewan yang biasa digantungkan di leher hewan ternak. Alat ini untuk menandai keberadaan hewan ternak saat digembalakan.
Suhu udara agak menyengat saat terik matahari menyinari helaran
bebegig(semacam pawai bebegig/kesenian tradisional khas Sukamantri) rakyat di
Desa Sukamantri, Kecamatan Sukamantri, Ciamis, Jawa Barat, 20 Desember lalu.
Suasana sangat riuh karena sekitar 700 kolotok berbagai ukuran disertakan dalam helaran itu.
Tidak hanya dipakai
topeng bebegig, kolotok-kolotok itu dipakai dan dibunyikan oleh para ibu,
pegawai negeri sipil, dan peserta lainnya. Kolotok terkecil berukuran 3
sentimeter terbuat dari buah picung dan yang terbesar berukuran 50 sentimeter.
Bebegig adalah topeng
dari kulit kayu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai wajah raksasa
menyeramkan. Rambutnya terbuat dari ijuk kawung (bagian dari pelepah daun pohon
aren) yang terurai sampai ke bawah. Ijuk-ijuk ini juga membelit kaki dan tangan
orang yang menggunakan topeng bebegig seperti raksasa berbulu.
Atributnya berupa mahkota terbuat dari kembang bubuay (sejenis
rotan), daun hahapaan, dan waregu yang disusun rapi di atas kepala topeng. Di
belakang pemakai bebegig ini dipasang kolotok yang diikat tali, dibelitkan
melingkar ke pinggang. Jika digerakkan, kolotok terus berbunyi karena bebegig
itu berjalan dan berjingkrak mengikuti musik pengiring tradisional dalam helaran.
Helaran bebegigmerupakan ritual tahunan terutama pada perayaan 17
Agustus di Sukamantri. "Mulai tahun ini dilengkapi oleh festival kolotok
sekaligus pemecahan rekor penggunaan topeng terbesar pada bebegig," tutur
Kepala Desa Sukamantri Ii Kuswara (50) yang juga Ketua Festival Kolotok 2016.
Sukamantri terletak di
kaki Gunung Madati pada ketinggian 1.059-1.200 meter di atas permukaan laut.
Kecamatan yang berjarak 50 kilometer utara kota Ciamis ini berada di wilayah
paling utara dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Majalengka di kawasan
pegunungan Jabar tengah. Sejak 12 tahun lalu, kecamatan ini dipisahkan dari
induknya, yakni Panjalu.
"Karena itu,
festival kolotok ini dikaitkan dengan hari jadi ke-12 Kecamatan Sukamantri
serta untuk mempererat kebersamaan masyarakat dan aparatur pemerintah,"
ujar Camat Sukamantri H Heryanto. Bebegig ini satu-satunya di Indonesia dan
selayaknya seni tradisi hasil karya anak bangsa ini diangkat dan dilestarikan.
Filosofi
Karena pengaruh mitos
yang kuat, hampir setiap rumah warga Sukamantri memiliki topeng bebegig.
Istimewanya lagi, lanjut Kuswara, jika berkostum bebegig dengan ijuk yang
dibelit di kaki, aura bebegig berupa raksasa yang mengerikan, langsung didapat.
Tokoh seni yang juga
Ketua Umum Sasana Budaya Sukamantri, Bah Upung Purwata (71), mengatakan,
filosofi bebegig seperti tangkal kawung (pohon aren). Seluruh isi pohon aren
berguna, mulai dari ijuk, daun, kolang-kaling, hingga lidinya. Tidak ada satu
pun bagian dari pohon aren yang tidak berguna. Artinya, hidup warga Sukamantri
harus bermanfaat bagi bangsa dan negara. Seperti pohon aren, mulai dari akar
hingga pucuknya bermanfaat bagi kehidupan.
Aksesori bebegig berupa
daun waregu yang dahulu di kampung-kampung lidinya dipakai untuk joran pancing.
Artinya, orang Sukamantri harus lentur seperti joran dan liat tali, yakni
bijaksana tetapi tegas.
Kembang bubuay, jika disemprot minyak wangi, bunga itu selain
harum juga makin kuat terikat dalam tandannya. Artinya, warga harus reyekan sauyunan (bersatu, bersama) agar menjadi kuat.
"Warga Sukamantri harus reyek, bersama-sama membangun atau gotong royong," ujar Bah Upung.
Filosofi ini masih
dijalankan oleh warga Sukamantri, terutama dalam kegiatan sosial. Contohnya,
jika ada yang meninggal, banyak sekali warga yang melayat walaupun tetangga
jauh.
Suatu saat seorang warga
Sukamantri yang bekerja sebagai tukang besi di pasar loak di Bandung meninggal.
Sebagai kepala desa, Bah Upung melayat bersama sejumlah warga lainnya ke Rumah
Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. "Saat itu ada jurnalis bertanya
karena begitu banyak orang Sukamantri. Dia kaget karena ternyata yang meninggal
itu orang biasa, bukan pejabat tinggi," ungkap Bah Upung
Aksesori lainnya adalah
kembang hahapaan (hampa). Maknanya, walaupun hampa, jika bersatu padu,
bergotong royong, akan memiliki kekuatan yang berisi. Itu merupakan pesan bahwa
warga Sukamantri harus saling membagi. "Raskin di Sukamantri sekarang
gratis bagi warga miskin karena beras itu dibayar oleh seorang pengusaha
distributor besi di PT Krakatau Steel. Pengusaha asli Sukamantri," ujar
Bah Upung.
Kolotok
Kolotok biasa digunakan
untuk kerbau yang memiliki sifat sabar. Leluhur Sukamantri mengajarkan
keturunannya agar selalu sabar. Namun, ketika kerbau terusik, dia akan berontak
yang sulit dicegah. Kekuatan inilah juga harus menjadi semangat korektif warga
Sukamantri jika melihat penyimpangan dalam masyarakat. Tentu saja, lanjut bah
Upung, "pemberontakan" itu tetap berpijak pada tata krama, norma, dan
aturan yang benar.
Kolotok itu digunakan untuk penanda bunyi (tingkolotok, tangara,
ciciren) keberadaan hewan pada
pengembalaan. Pesannya adalah di mana pun warga Sukamantri berada harus
terdengar perilaku baiknya atau harum namanya. Mereka harus menjadi tokoh
masyarakat atau menjadi panutan. "Alhamdulilah, pesan ini masih dijalankan
oleh warga Sukamantri di perantauan. Walaupun usahanya hanya tukang besi tua,
banyak di antara warga kami jadi ketua RT/RW di Bandung," ujar Bah.
Sejarah bebegig
berkaitan erat dengan wilayah Karang Gantungan, yakni bukit hutan larangan yang
dianggap keramat di utara Sukamantri. Bukit dengan ketinggian 1.200 mdpl ini
dipercaya masyarakat sebagai hutan bekas kerajaan. Di bawah bukit ada sungai
yang bersumber dari mata air di perbukitan dan mengalirkan air jernih.
Leluhur Sukamantri,
yakni Prabu Sampulur, yang menjadi penguasa wilayah itu ratusan tahun lalu,
khawatir sumber air itu diganggu orang-orang tidak bertanggung jawab. Lalu, ia
membuat bebegig, topeng dengan karakter makhluk menyeramkan.
Topeng-topeng kulit kayu
itu dipasang di pohon-pohon besar di sekitar Karang Gantungan. Konon, karena
kesaktian Sang Prabu, orang yang berniat jahat melihat topeng itu bagaikan
makhluk tinggi besar menyeramkan yang siap menerkam. Orang yang bermaksud masuk
hutan jadi ketakutan.
Hingga kini, warga
Sukamantri memelihara kearifan lokal itu. Sumber air juga harus dijaga karena
berfungsi sebagai penyangga kehidupan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !