Cucu Panji Suherman - Setia pada Tradisi "Bebegig" - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Cucu Panji Suherman - Setia pada Tradisi "Bebegig"

Cucu Panji Suherman - Setia pada Tradisi "Bebegig"

Written By GDE NOGATA on Jumat, 13 Januari 2017 | 19.51


Kamis, 18 Februari 2016

KOMPAS/DEDI MUHTADI Cucu Panji Suherman, setia pada tradisi 'Bebegig'.

Harian Kompas, 16 Pebruari 2016
JIKA hanya dilihat hitam putih dari sudut ekonomi semata, kesenian tradisional tidak bisa diandalkan untuk menopang kehidupan para pegiatnya.

Namun, komunitas Baladdewa di Desa Sukamantri, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang dikelola Cucu Panji Suherman (47) berpandangan lain.

Para anggota Baladdewa setia menjadi pekerja seni bebegig Nyeker Sukamantri karena Cucu Panji berhasil meyakinkan mereka bahwa seni tradisi karuhun (leluhur) merupakan warisan yang harus dijaga, dipelihara, dan disebarkan.

”Kalau tidak oleh kita sendiri, lalu oleh siapa lagi?” tuturnya singkat, tetapi bermakna luas.

Pandangan itu didukung oleh fakta kehidupan pertanian warga Sukamantri yang memang terkait erat dengan tradisi bebegig yang sudah tumbuh lebih dari 100 tahun.

”Kami manggung rata-rata sebulan sekali dengan imbalan Rp 7 juta,” kata Cucu saat ditemui di Sukamantri, Selasa (9/2/2016) lalu.

Imbalan dari pergelaran itu dibagi untuk 12-16 penari topeng, 10 penari pendamping, ditambah 10 pemain musik pengiring, serta ongkos angkut pergi-pulang ke tempat pengundang. Setelah dibagi-bagi, uang sebesar itu sebenarnya hanya pas-pasan.

Meski bebegig tak menjanjikan keuntungan ekonomi, Cucu nekat meninggalkan pekerjaan sebagai montir di sebuah bengkel mobil di Kota Bandung tahun 2003.

Selanjutnya, ia pulang ke kampung halamannya untuk mengembangkan bebegig Sukamantri. Ia pun mengumpulkan dan membina anak-anak muda seraya melatihnya membuat kreasi topeng bebegig.

Dengan kemauan keras, upaya itu tidak mendapat hambatan berarti karena masyarakat Sukamantri memang sudah memiliki modal sosial. Secara turun-temurun, keluarga Cucu juga termasuk turunan pelaku seni bebegig.

Berkat sentuhan tangan dinginnya, tahun 2006, rombongan helaran bebegig Sukamantri berhasil meraih juara umum dan peserta favorit Kemilau Nusantara di Bandung.

Sukamantri merupakan kawasan paling utara Kabupaten Ciamis yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Desa yang terletak pada ketinggian 700-950 meter di atas permukaan laut ini merupakan sumber air bagi wilayah pertanian di bawahnya.

Situasi itu diperkuat dengan keberadaan hutan larangan yang disebut Tawang Gantungan, yakni sepenggal hutan keramat dan angker di sebelah utara Sukamantri.

Siapa yang berani masuk dan mengganggu tanaman dan pohon di hutan seluas 3,5 hektar ini bakal kualat dan hidupnya tidak bakal selamat atau terkena mamala (Sunda).

Bukit ini memang berbeda dengan bukit-bukit lainnya. Selain agak menonjol, terdapat tiga parit besar (parigi) yang melingkari bagian bawah bukit. Di hilirnya terdapat lereng terjal yang disebut oleh warga setempat Panggeleseran.

Di bawah Penggeleseran itu ada sungai yang bersumber dari mata air di sekitar perbukitan dan mengalirkan air jernih

Asal mula "bebegig"

Leluhur Sukamantri, yakni Prabu Sampulur, yang menjadi penguasa wilayah itu ratusan tahun lalu, khawatir sumber air itu diganggu oleh orang- orang yang tidak bertanggung jawab.

Lalu ia membuat bebegig, berupa topeng dengan karakter makhluk menyeramkan. Rambutnya terbuat dari ijuk kawung (aren) yang terurai panjang ke bawah, dilengkapi mahkota dari bunga tanaman hutan bubuay dan daun waregu (sejenis palem hutan) yang tersusun rapi di atas topeng.

Selanjutnya, topeng-topeng kulit kayu itu dipasang di pohon-pohon besar yang ada di sekitar Tawang Gantungan.

Konon, karena kesaktian Sang Prabu, orang yang berniat jahat akan melihat topeng itu seolah-olah bagaikan makhluk tinggi besar menyeramkan yang siap menerkam. Orang jahat pun ketakutan.

”Sejak itu, keturunan Eyang Prabu melanjutkan tradisi tersebut sehingga tumbuhlah seni tradisi bebegig Sukamantri,” tutur Cucu.

Bebegig atau orang-orangan sawah yang terbuat dari rangkaian tanaman kering sudah dikenal di pelosok daerah pertanian Jawa Barat.

Orang-orangan itu biasanya ditancapkan di tengah sawah dan digerakkan dengan menggunakan tali yang dibentangkan ke saung sawah di pematang atau daratan.

Penampilan ”makhluk” itu diharapkan dapat menakuti kawanan burung yang mengganggu tanaman padi, terutama menjelang panen.

Bebegig Sukamantri dulunya memang dibuat untuk menakut-nakuti manusia. Menurut Cucu, sampai saat ini tidak ada nama spesifik yang membedakan antara bebegig sawah dan bebegig seni.

Untuk mempermudah penyebutannya, cukup dengan nama bebegig Sukamantri. Di luar itu, ada tambahan nama bebegig nyeker karena pemainnya tidak menggunakan alas kaki (nyeker).

Bentuk dan karakteristik bebegig Sukamantri unik karena memiliki tampilan yang menyeramkan dan menyiratkan kesan kepurbaan.

Itu karena bahan-bahan untuk membuat bebegig hampir semuanya diambil dari hutan yang ada di sekitar Sukamantri sampai ke Gunung Sawal, seperti ijuk kawung, bubuay, kembang hahapaan, dan daun waregu.

Sepintas bentuk kepalanya seperti reog ponorogo. Bedanya, bidang atas bebegig Sukamantri membentuk segitiga terbalik. Rangka di dalamnya terbuat dari bambu yang diberi penopang untuk dipanggul. Kepala bebegig merupakan bagian yang terberat dan terbesar proporsinya.

Dilestarikan

Menurut cerita rakyat Sukamantri, Prabu Sampulur tidak lama menempati wilayah Tawang Gantungan. Dia selanjutnya digantikan orang kepercayaannya, Margadati.

Pemimpin baru itu berusaha memperbaiki keadaan. Masyarakat mulai mandiri dan perlahan menuju kemakmuran dari pertanian yang berkelanjutan karena didukung oleh pengairan yang baik.

Wilayah Tawang Gantungan pun berganti nama menjadi Karang Gantungan. Kesenian bebegig pun dilestarikan. Awalnya digelar pada saat warga mendapat hewan buruan, seni itu lalu dihelat pada saat panen tiba.

Sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia, tradisi itu digelar setiap HUT Proklamasi 17 Agustus.

Topeng bebegig dengan raut raksasa jahat terbuat dari kayu yang ditatah atau dipahat. Semula untuk membuat topeng ukuran 60 x 50 sentimeter diambil dari bahan kayu sisa penggergajian.

Seiring dengan perjalanan waktu, topeng bebegig dibuat dari kayu gelondongan, terutama jenis mahoni dan albasia. Saat ini motif raut dan karakternya mulai meniru tokoh wayang golek Sunda.

Walaupun tidak ada pakem khusus, sebelum dipertontonkan, para pembuat kedok atau topeng bebegig pergi ke makam keramat demi memperoleh suasana seram.

Pengguna akan menyimpan kedok bebegig di makam hingga selama tiga hari. Ratusan orang lantas mengeluarkan topeng-topeng bebegig dari pemakaman dan mengaraknya keliling desa.

Kini, selain dihelat pada acara khitanan dan 17 Agustus, bebegig Sukamantri sering diundang pada HUT kabupaten atau kota di Jawa Barat.

”Untuk bulan Februari, ada dua undangan yang sudah kami terima, yakni dari Pemerintah Kabupaten Garut dan Ciamis,” ujar Cucu.

Seniman itu yakin, seni rakyat ini bakal mampu bertahan di tengah perubahan zaman. Di tengah tumbuhnya berbagai bentuk seni pertunjukan modern, masyarakat masih merindukan tradisi bebegig Sukamantri yang bersahaja, unik, dan menghibur. 
(DEDI MUHTADI)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template