Amartya
Kumar Sen Membongkar Kemiskinan
Begawan ekonomi India, Amartya Kumar Sen,
menilai penting ruang multikultur untuk menciptakan perdamaian. Karena itu,
pengkotakan identitas harus dibongkar. Manusia lebih mampu hidup bersama secara
damai daripada dalam suasana konflik dan penuh kekerasan. Kuncinya adalah
dialog.
Sen diundang ke
Indonesia untuk menjadi pembicara kunci dalam Forum Kebudayaan Dunia (World
Culture Forum) di Nusa Dua, Bali, 24-27 November 2013. Sen baru pertama kali
datang ke Indonesia meski ia sudah sejak lama ingin berkunjung ke negara yang
ia sebut sebagai ”saudara” India ini. Menurut Sen, perjalanan Indonesia sebagai
sebuah bangsa tidak pernah luput dari pengamatannya.
”Ketika masih sekolah
di Santiniketan, saya sudah dikelilingi oleh perajin batik dan wayang kulit
yang terinspirasi oleh Indonesia. Saya beruntung bisa benar-benar berada di
sini sekarang,” ungkapnya di depan forum yang diikuti sekitar 1.000 peserta.
Santiniketan adalah
kota kecil di dekat Kalkutta, India. Sen pernah mengenyam pendidikan di sekolah
yang dibangun sastrawan Rabindranath Tagore, peraih Hadiah Nobel Sastra tahun
1913. Nama Amartya juga pemberian dari Tagore.
Sen adalah orang India
keenam yang meraih Nobel untuk Ilmu Ekonomi pada tahun 1988 dari The Royal
Swedish Academy of Sciences setelah melahirkan karya-karya terkait Ekonomi
Pembangunan. Salah satu karyanya berjudul Poverty and Famines: An Essay on
Entitlement and Deprivation meneliti kemiskinan dan kelaparan, terutama tentang
kasus kelaparan di Banglades tahun 1974.
Hasil penelitiannya
itu menantang pendapat arus utama bahwa kekurangan pangan merupakan sebab utama
kelaparan. Sen menganalisis berbagai penyebab kemiskinan dan kelaparan di
dunia.
Studi yang ia lakukan
mencakup kasus-kasus sejarah kelaparan di India, Banglades, Etiopia, dan negara-negara
sub-Sahara Afrika. Dari kasus-kasus itu, analisis Sen membuktikan bahwa bencana
kelaparan lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi,
seperti sistem administrasi dan pengelolaan distribusi pangan.
Sebagai mahasiswa,
sejak umur 18 tahun Sen sudah menyangsikan teori Robert Malthus yang meyakini
bahwa ketersediaan pangan tidak cukup untuk pertumbuhan penduduk yang cepat.
Kegelisahannya tentang kekurangan pangan muncul dari ganjalan memori masa kecil
Sen.
Ekonomi kesejahteraan
Ketika berusia 10
tahun, ia menjadi saksi bencana kelaparan di Bengali, tanah kelahirannya di
Banglades, yang menewaskan lima juta jiwa. ”Saya selalu teringat kepada
pengemis-pengemis yang sedang sekarat minta beberapa tetes tajin (air rebusan
beras),” kata Sen dalam sebuah wawancara pada tahun 1996 seperti dikutip buku
Demokrasi (tidak) Bisa Memberantas Kemiskinan.
Sen yang semula ingin
menjadi ahli sastra seperti kakeknya, Acharya Kshitimohan Sen, seorang ahli
bahasa Sanskrit yang bekerja sebagai sekretaris pribadi Tagore, akhirnya
banting setir mempelajari ekonomi. Di saat yang lain ia juga memperdalam ilmu
filsafat. Sen lahir dari keluarga yang dekat dengan bidang ilmu pengetahuan.
Ayahnya adalah Guru Besar Ilmu Kimia, sementara ibunya, Amita Sen, dan keluarganya
dekat dengan Tagore. Sen adalah ekonom yang ”lain”. Ia banyak menganalisis
persoalan ekonomi dari dimensi filosofis dan etis. Pada masa itu, dan
berkembang hingga sekarang, ilmu ekonomi lebih banyak berorientasi pada bisnis
dan mekanisme pasar yang lebih menguntungkan golongan atas. Sen ”melawan”
dengan banyak menganalisis persoalan-persoalan kemiskinan, kelaparan, dan
ketimpangan pembangunan yang menimpa masyarakat bawah.
Ia banyak mengamati
masalah kemanusiaan, terutama persoalan masyarakat yang dimiskinkan oleh proses
pembangunan yang berorientasi pasar dan bisnis. Ia kemudian dikenal sebagai
peletak dasar ekonomi kesejahteraan, istilah baru yang lebih menukik dari studi
ekonomi pembangunan.
Kajiannya tentang
ekonomi kesejahteraan, sebelum Nobel, telah mendapat penghargaan serupa dari
berbagai lembaga, antara lain Mahalaobis Prize (1976) dan Rank E Seidman
Distinguished Award bidang politik ekonomi (1986). Ia juga pernah memegang
sederet jabatan tingkat internasional, antara lain menjadi Presiden Masyarakat
Ekonometrik (1984) dan Asosiasi Ekonom Internasional (1986-1989). Sen juga
dikenal di kalangan filsuf dunia dan menjadi anggota Asosiasi Filsafat Amerika.
Kehadiran Sen dalam
FKD dianggap relevan karena ia merupakan peletak dasar pembangunan manusia di
atas pembangunan ekonomi, di mana kebudayaan sebagai ”napas hidup” manusia
terlibat di dalamnya.
Dialog, bukan
konfrontasi
Sen berbicara sekitar
satu jam di atas podium. Ia memberikan semacam kuliah terbuka tentang
kebudayaan sebagai dialog perdamaian yang ia kaitkan dengan pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat. Sen memberikan waktu kepada Kompas untuk
wawancara. Sen beberapa kali mengungkapkan keyakinan kuat bahwa manusia pada
dasarnya lebih mampu hidup bersama secara damai daripada hidup dalam suasana
konflik dan penuh kekerasan. ”Dengan kemampuannya berbicara, manusia sanggup
menggantikan konfrontasi dengan dialog,” ujar pencinta minuman kopi ini.
Keyakinan Sen akan
perdamaian sebagai keinginan dasar manusia itu dilandasi pada kebutuhan manusia
untuk melanjutkan hidup. Perdamaian penting untuk menggerakkan kemajuan ekonomi
dan kemajuan sosial masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan manusia.
Bagaimana Anda melihat
relevansi kebudayaan dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa?
Keterkaitan secara
langsung memang tidak ada. Namun, kebudayaan bisa menjadi salah satu faktor
penyebab kemajuan atau kemunduran ekonomi. Indonesia memiliki sejarah panjang
tentang hal itu. Dalam sejarahnya Indonesia terbukti selalu memberi ruang
multikultur dalam kerangka yang kokoh, yaitu melalui dialog-dialog
antar-kebudayaan yang hadir di Indonesia.
Ruang multikultur ini
penting untuk menciptakan perdamaian. Tantangannya adalah jangan sampai ruang
multikultur ini dipakai untuk mengotak-ngotakkan identitas sehingga menimbulkan
sengketa. Perdamaian sangat diperlukan untuk perkembangan ekonomi dan sosial
suatu bangsa.
(Menurut Sen,
globalisasi jangan sampai dieksploitasi oleh kelompok-kelompok kekerasan yang
membawa konsekuensi merusak. Seharusnya terjalin interaksi kultural global
untuk memajukan masa depan kita.)
Bagaimana seharusnya
melihat identitas kita agar tidak terjadi sengketa?
Ini persoalan
bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana orang lain memahami
kita. Apakah kita mau dikategorisasikan berdasarkan satu kriteria saja, padahal
kita punya banyak kriteria, entah itu berbasis agama, ras, kebangsaan, atau
etnis. Sementara di dalam semua itu pun kita memiliki basis plural.
Kita juga bisa
menetapkan identitas berdasarkan tempat tinggal, pendidikan, profesi, pandangan
politik kita, atau komitmen sosial. Pluralitas tidak terelakkan, tidak bisa
dihindari, maka upaya-upaya untuk memasukkan kita dalam ”satu kotak identitas”
akan membuat setiap orang di dunia ini salah paham. Kemanusiaan kita akan
hilang jika hanya terpaku pada satu identitas saja, misalnya sebutan Yahudi
oleh Nazi atau Hitam oleh apartheid Afrika Selatan.
Saya telah mencoba
mengajukan pandangan lewat buku saya Identity and Violence: The Illusion of
Destiny, bahwa kita semua punya banyak afiliasi dan asosiasi, misalnya terkait
dengan bahasa, musik, profesi, bisnis, politik, dan seterusnya. Masing-masing
afiliasi itu cocok dengan cara hidup kita tanpa harus menyingkirkan kelompok
identitas lainnya. Persoalan dimulai ketika berbagai perbedaan itu dipaksa
memasuki satu ”kotak identitas” seperti menyebut bagian dari peradaban Dunia
Islam, Dunia Buddha, Dunia Hindu, dan sebagainya.
Memanusiakan manusia
Sen juga menyinggung
kembali persoalan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Menurut Sen, kemiskinan
bisa teratasi jika pembangunan dilandaskan pada memanusiakan manusia. Manusia
tidak dianggap sebagai obyek pembangunan, tetapi di setiap lapisan masyarakat,
manusia adalah subyek dari pembangunan itu sendiri.
Apa dampak pembangunan
manusia bagi kemajuan ekonomi?
Hubungan antara
pembangunan manusia dan perluasan ekonomi telah lama diabaikan dalam diskusi
publik di Barat. Sekarang memang sudah ada sedikit perubahan, tetapi Barat
memiliki kepentingan lain. Indonesia dan India memiliki banyak kesamaan,
penduduk dan jenis etnisnya sangat banyak. Kita memiliki persoalan yang jauh
lebih beragam dan perlu pendekatan budaya yang juga sangat beragam. Namun,
kunci dari semua itu adalah pendidikan dasar, kesehatan, dan penyebarluasan
peluang ekonomi.
Ketiga hal itu bisa
diraih melalui kebebasan nyata yang bisa dinikmati rakyat. Kebijakan pemerintah
yang mengatur sosial ekonomi akan mendukung kebebasan itu, seperti adanya
jaminan atas hak-hak sipil dan politik, kebebasan mengikuti diskusi publik, dan
terlibat dalam pengawasan serta penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Pengabaian terhadap penyediaan fasilitas publik adalah bentuk tirani terhadap
kebebasan yang mengerdilkan manusia dan bisa berujung pada minimnya
produktivitas dan terjadi proses pemiskinan.
Jepang bisa menjadi
contoh. Negara itu meletakkan dasar kemajuan pembangunan ekonominya pada
pendidikan dasar dan kesehatan sebagai penggerak utama perubahan. Kedua hal itu
juga melibatkan penyerbarluasan peluang ekonomi, seperti pendidikan dan
pelatihan, reformasi tanah, ketersediaan kredit sehingga masyarakat kecil bisa
meraih kesempatan yang ditawarkan oleh ekonomi pasar. Perlu ada kehati-hatian
antara tindakan pemerintah dan penggunaan ekonomi pasar.
Kemampuan produktif
Pembangunan manusia,
kata Sen, lebih dari sekadar peningkatan langsung kualitas kehidupan, yakni
juga berdampak pada kemampuan produktif manusia. Hal ini selanjutnya akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi dengan basis yang merata, berbeda dengan
indikator pertumbuhan ekonomi semu, yang ternyata kontribusinya banyak
didominasi sektor industri dan masyarakat kelas atas.
Ia memberi contoh
melek huruf dan angka membantu partisipasi masyarakat dalam proses perluasan
ekonomi. Untuk memanfaatkan peluang perdagangan global dibutuhkan adanya
kontrol kualitas dan produksi yang sesuai spesifikasi. Hal ini sulit dicapai
jika pekerja tidak melek huruf dan angka. Gizi yang baik juga membuat pekerja
menjadi lebih produktif.
Sen sendiri tidak anti
terhadap mekanisme pasar. Menurut dia, mekanisme pasar merupakan sarana
berinteraksi satu sama lain demi menjalankan aktivitas yang saling
menguntungkan. Persoalan muncul bukan dari mekanisme pasar tersebut, melainkan
dari sumber lain, seperti tidak memadainya persiapan masyarakat untuk memanfaatkan
transaksi pasar, penyembunyian informasi, atau tidak adanya aturan tentang
penguasaan sumber daya. ”Sesungguhnya prestasi pasar sangat bergantung pada
pengaturan sosial politik,” ujar Sen.
Sen mengingatkan
perlunya negara-negara, terutama negara berkembang, mengembangkan sistem
proteksi sosial untuk melindungi lapisan masyarakat tertentu yang rentan
terpuruk jika terjadi krisis ekonomi.
Di tangan Sen, ilmu
ekonomi bukanlah pedang untuk membunuh nyawa kaum yang terpinggirkan, melainkan
justru untuk mengangkat kesejahteraan mereka.
Amartya Kumar Sen
♦ Lahir: Santiniketan, India, 3 November
1933
♦ Profesi: Guru Besar Ekonomi
♦ Institusi: Harvard Universty, University of Cambridge, London School of Economics, Jadavpur University, Cornell University, University of Oxford, University of Calcuta, Delhi School of Economics, dan lain-lain.
♦ Profesi: Guru Besar Ekonomi
♦ Institusi: Harvard Universty, University of Cambridge, London School of Economics, Jadavpur University, Cornell University, University of Oxford, University of Calcuta, Delhi School of Economics, dan lain-lain.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !