Amartya Kumar Sen Membongkar Kemiskinan - "DiDo Nogata BAKISAN"
Headlines News :
Home » » Amartya Kumar Sen Membongkar Kemiskinan

Amartya Kumar Sen Membongkar Kemiskinan

Written By GDE NOGATA on Minggu, 28 Januari 2018 | 02.39

Amartya Kumar Sen Membongkar Kemiskinan


Begawan ekonomi India, Amartya Kumar Sen, menilai penting ruang multikultur untuk menciptakan perdamaian. Karena itu, pengkotakan identitas harus dibongkar. Manusia lebih mampu hidup bersama secara damai daripada dalam suasana konflik dan penuh kekerasan. Kuncinya adalah dialog.
Sen diundang ke Indonesia untuk menjadi pembicara kunci dalam Forum Kebudayaan Dunia (World Culture Forum) di Nusa Dua, Bali, 24-27 November 2013. Sen baru pertama kali datang ke Indonesia meski ia sudah sejak lama ingin berkunjung ke negara yang ia sebut sebagai ”saudara” India ini. Menurut Sen, perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa tidak pernah luput dari pengamatannya.


”Ketika masih sekolah di Santiniketan, saya sudah dikelilingi oleh perajin batik dan wayang kulit yang terinspirasi oleh Indonesia. Saya beruntung bisa benar-benar berada di sini sekarang,” ungkapnya di depan forum yang diikuti sekitar 1.000 peserta.

Santiniketan adalah kota kecil di dekat Kalkutta, India. Sen pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dibangun sastrawan Rabindranath Tagore, peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1913. Nama Amartya juga pemberian dari Tagore.

Sen adalah orang India keenam yang meraih Nobel untuk Ilmu Ekonomi pada tahun 1988 dari The Royal Swedish Academy of Sciences setelah melahirkan karya-karya terkait Ekonomi Pembangunan. Salah satu karyanya berjudul Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation meneliti kemiskinan dan kelaparan, terutama tentang kasus kelaparan di Banglades tahun 1974.

Hasil penelitiannya itu menantang pendapat arus utama bahwa kekurangan pangan merupakan sebab utama kelaparan. Sen menganalisis berbagai penyebab kemiskinan dan kelaparan di dunia.

Studi yang ia lakukan mencakup kasus-kasus sejarah kelaparan di India, Banglades, Etiopia, dan negara-negara sub-Sahara Afrika. Dari kasus-kasus itu, analisis Sen membuktikan bahwa bencana kelaparan lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi, seperti sistem administrasi dan pengelolaan distribusi pangan.

Sebagai mahasiswa, sejak umur 18 tahun Sen sudah menyangsikan teori Robert Malthus yang meyakini bahwa ketersediaan pangan tidak cukup untuk pertumbuhan penduduk yang cepat. Kegelisahannya tentang kekurangan pangan muncul dari ganjalan memori masa kecil Sen.

Ekonomi kesejahteraan
Ketika berusia 10 tahun, ia menjadi saksi bencana kelaparan di Bengali, tanah kelahirannya di Banglades, yang menewaskan lima juta jiwa. ”Saya selalu teringat kepada pengemis-pengemis yang sedang sekarat minta beberapa tetes tajin (air rebusan beras),” kata Sen dalam sebuah wawancara pada tahun 1996 seperti dikutip buku Demokrasi (tidak) Bisa Memberantas Kemiskinan.

Sen yang semula ingin menjadi ahli sastra seperti kakeknya, Acharya Kshitimohan Sen, seorang ahli bahasa Sanskrit yang bekerja sebagai sekretaris pribadi Tagore, akhirnya banting setir mempelajari ekonomi. Di saat yang lain ia juga memperdalam ilmu filsafat. Sen lahir dari keluarga yang dekat dengan bidang ilmu pengetahuan. Ayahnya adalah Guru Besar Ilmu Kimia, sementara ibunya, Amita Sen, dan keluarganya dekat dengan Tagore. Sen adalah ekonom yang ”lain”. Ia banyak menganalisis persoalan ekonomi dari dimensi filosofis dan etis. Pada masa itu, dan berkembang hingga sekarang, ilmu ekonomi lebih banyak berorientasi pada bisnis dan mekanisme pasar yang lebih menguntungkan golongan atas. Sen ”melawan” dengan banyak menganalisis persoalan-persoalan kemiskinan, kelaparan, dan ketimpangan pembangunan yang menimpa masyarakat bawah.

Ia banyak mengamati masalah kemanusiaan, terutama persoalan masyarakat yang dimiskinkan oleh proses pembangunan yang berorientasi pasar dan bisnis. Ia kemudian dikenal sebagai peletak dasar ekonomi kesejahteraan, istilah baru yang lebih menukik dari studi ekonomi pembangunan.

Kajiannya tentang ekonomi kesejahteraan, sebelum Nobel, telah mendapat penghargaan serupa dari berbagai lembaga, antara lain Mahalaobis Prize (1976) dan Rank E Seidman Distinguished Award bidang politik ekonomi (1986). Ia juga pernah memegang sederet jabatan tingkat internasional, antara lain menjadi Presiden Masyarakat Ekonometrik (1984) dan Asosiasi Ekonom Internasional (1986-1989). Sen juga dikenal di kalangan filsuf dunia dan menjadi anggota Asosiasi Filsafat Amerika.

Kehadiran Sen dalam FKD dianggap relevan karena ia merupakan peletak dasar pembangunan manusia di atas pembangunan ekonomi, di mana kebudayaan sebagai ”napas hidup” manusia terlibat di dalamnya.

Dialog, bukan konfrontasi
Sen berbicara sekitar satu jam di atas podium. Ia memberikan semacam kuliah terbuka tentang kebudayaan sebagai dialog perdamaian yang ia kaitkan dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sen memberikan waktu kepada Kompas untuk wawancara. Sen beberapa kali mengungkapkan keyakinan kuat bahwa manusia pada dasarnya lebih mampu hidup bersama secara damai daripada hidup dalam suasana konflik dan penuh kekerasan. ”Dengan kemampuannya berbicara, manusia sanggup menggantikan konfrontasi dengan dialog,” ujar pencinta minuman kopi ini.

Keyakinan Sen akan perdamaian sebagai keinginan dasar manusia itu dilandasi pada kebutuhan manusia untuk melanjutkan hidup. Perdamaian penting untuk menggerakkan kemajuan ekonomi dan kemajuan sosial masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan manusia.


Bagaimana Anda melihat relevansi kebudayaan dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa?
Keterkaitan secara langsung memang tidak ada. Namun, kebudayaan bisa menjadi salah satu faktor penyebab kemajuan atau kemunduran ekonomi. Indonesia memiliki sejarah panjang tentang hal itu. Dalam sejarahnya Indonesia terbukti selalu memberi ruang multikultur dalam kerangka yang kokoh, yaitu melalui dialog-dialog antar-kebudayaan yang hadir di Indonesia.
Ruang multikultur ini penting untuk menciptakan perdamaian. Tantangannya adalah jangan sampai ruang multikultur ini dipakai untuk mengotak-ngotakkan identitas sehingga menimbulkan sengketa. Perdamaian sangat diperlukan untuk perkembangan ekonomi dan sosial suatu bangsa.

(Menurut Sen, globalisasi jangan sampai dieksploitasi oleh kelompok-kelompok kekerasan yang membawa konsekuensi merusak. Seharusnya terjalin interaksi kultural global untuk memajukan masa depan kita.)

Bagaimana seharusnya melihat identitas kita agar tidak terjadi sengketa?
Ini persoalan bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana orang lain memahami kita. Apakah kita mau dikategorisasikan berdasarkan satu kriteria saja, padahal kita punya banyak kriteria, entah itu berbasis agama, ras, kebangsaan, atau etnis. Sementara di dalam semua itu pun kita memiliki basis plural.

Kita juga bisa menetapkan identitas berdasarkan tempat tinggal, pendidikan, profesi, pandangan politik kita, atau komitmen sosial. Pluralitas tidak terelakkan, tidak bisa dihindari, maka upaya-upaya untuk memasukkan kita dalam ”satu kotak identitas” akan membuat setiap orang di dunia ini salah paham. Kemanusiaan kita akan hilang jika hanya terpaku pada satu identitas saja, misalnya sebutan Yahudi oleh Nazi atau Hitam oleh apartheid Afrika Selatan.
Saya telah mencoba mengajukan pandangan lewat buku saya Identity and Violence: The Illusion of Destiny, bahwa kita semua punya banyak afiliasi dan asosiasi, misalnya terkait dengan bahasa, musik, profesi, bisnis, politik, dan seterusnya. Masing-masing afiliasi itu cocok dengan cara hidup kita tanpa harus menyingkirkan kelompok identitas lainnya. Persoalan dimulai ketika berbagai perbedaan itu dipaksa memasuki satu ”kotak identitas” seperti menyebut bagian dari peradaban Dunia Islam, Dunia Buddha, Dunia Hindu, dan sebagainya.

Memanusiakan manusia
Sen juga menyinggung kembali persoalan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Menurut Sen, kemiskinan bisa teratasi jika pembangunan dilandaskan pada memanusiakan manusia. Manusia tidak dianggap sebagai obyek pembangunan, tetapi di setiap lapisan masyarakat, manusia adalah subyek dari pembangunan itu sendiri.

Apa dampak pembangunan manusia bagi kemajuan ekonomi?
Hubungan antara pembangunan manusia dan perluasan ekonomi telah lama diabaikan dalam diskusi publik di Barat. Sekarang memang sudah ada sedikit perubahan, tetapi Barat memiliki kepentingan lain. Indonesia dan India memiliki banyak kesamaan, penduduk dan jenis etnisnya sangat banyak. Kita memiliki persoalan yang jauh lebih beragam dan perlu pendekatan budaya yang juga sangat beragam. Namun, kunci dari semua itu adalah pendidikan dasar, kesehatan, dan penyebarluasan peluang ekonomi.

Ketiga hal itu bisa diraih melalui kebebasan nyata yang bisa dinikmati rakyat. Kebijakan pemerintah yang mengatur sosial ekonomi akan mendukung kebebasan itu, seperti adanya jaminan atas hak-hak sipil dan politik, kebebasan mengikuti diskusi publik, dan terlibat dalam pengawasan serta penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Pengabaian terhadap penyediaan fasilitas publik adalah bentuk tirani terhadap kebebasan yang mengerdilkan manusia dan bisa berujung pada minimnya produktivitas dan terjadi proses pemiskinan.

Jepang bisa menjadi contoh. Negara itu meletakkan dasar kemajuan pembangunan ekonominya pada pendidikan dasar dan kesehatan sebagai penggerak utama perubahan. Kedua hal itu juga melibatkan penyerbarluasan peluang ekonomi, seperti pendidikan dan pelatihan, reformasi tanah, ketersediaan kredit sehingga masyarakat kecil bisa meraih kesempatan yang ditawarkan oleh ekonomi pasar. Perlu ada kehati-hatian antara tindakan pemerintah dan penggunaan ekonomi pasar.

Kemampuan produktif
Pembangunan manusia, kata Sen, lebih dari sekadar peningkatan langsung kualitas kehidupan, yakni juga berdampak pada kemampuan produktif manusia. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dengan basis yang merata, berbeda dengan indikator pertumbuhan ekonomi semu, yang ternyata kontribusinya banyak didominasi sektor industri dan masyarakat kelas atas.

Ia memberi contoh melek huruf dan angka membantu partisipasi masyarakat dalam proses perluasan ekonomi. Untuk memanfaatkan peluang perdagangan global dibutuhkan adanya kontrol kualitas dan produksi yang sesuai spesifikasi. Hal ini sulit dicapai jika pekerja tidak melek huruf dan angka. Gizi yang baik juga membuat pekerja menjadi lebih produktif.

Sen sendiri tidak anti terhadap mekanisme pasar. Menurut dia, mekanisme pasar merupakan sarana berinteraksi satu sama lain demi menjalankan aktivitas yang saling menguntungkan. Persoalan muncul bukan dari mekanisme pasar tersebut, melainkan dari sumber lain, seperti tidak memadainya persiapan masyarakat untuk memanfaatkan transaksi pasar, penyembunyian informasi, atau tidak adanya aturan tentang penguasaan sumber daya. ”Sesungguhnya prestasi pasar sangat bergantung pada pengaturan sosial politik,” ujar Sen.
Sen mengingatkan perlunya negara-negara, terutama negara berkembang, mengembangkan sistem proteksi sosial untuk melindungi lapisan masyarakat tertentu yang rentan terpuruk jika terjadi krisis ekonomi.

Di tangan Sen, ilmu ekonomi bukanlah pedang untuk membunuh nyawa kaum yang terpinggirkan, melainkan justru untuk mengangkat kesejahteraan mereka.

Amartya Kumar Sen
♦ Lahir: Santiniketan, India, 3 November 1933
♦ Profesi: Guru Besar Ekonomi
♦ Institusi: Harvard Universty, University of Cambridge, London School of Economics, Jadavpur University, Cornell University, University of Oxford, University of Calcuta, Delhi School of Economics, dan lain-lain.

[Persona – Kompas Minggu, 19 Januari 2014].
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Mengenai Saya

Foto saya
Karmany eva dhikaras te ma phalesu kadachana, ma karma phala hetur bhur ma te sango ,stv akarmani. (Bhagawadgita II.47) Artinya : Kewajibanmu kini hanya bertindak, bekerja tanpa mengharapkan hasil, jangan sekali pahala jadi motifmu, jangan pula berdiam diri jadi tujuanmu.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. "DiDo Nogata BAKISAN" - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template