CERPEN
MEZRA
E PELLONDOU
Harian Kompas Cetak | Kamis,
22 November 2015
Kami berciuman di atas gelombang yang dahsyat ketika kapal cepat yang kami tumpangi menuju Rote membelah Selat Pukuafu. Ya, kami berciuman. Benar-benar berciuman sambil memandang kedahsyatan gelombang yang kami yakini cuma sementara karena setelah melewati Pukuafu, di depan kami akan terhampar lautan luas yang tenang dengan jejeran bakau, kelapa, serta batu Termanu yang terkenal eksotik itu. Ciuman dan gelombang benar-benar gambaran kehidupan kami berdua yang sesungguhnya. Dan lautan yang tenang dengan kekayaan bakau, kelapa, dan kekokohan batu Termanu merupakan impian kami di masa depan.
Kami berciuman di atas gelombang yang dahsyat ketika kapal cepat yang kami tumpangi menuju Rote membelah Selat Pukuafu. Ya, kami berciuman. Benar-benar berciuman sambil memandang kedahsyatan gelombang yang kami yakini cuma sementara karena setelah melewati Pukuafu, di depan kami akan terhampar lautan luas yang tenang dengan jejeran bakau, kelapa, serta batu Termanu yang terkenal eksotik itu. Ciuman dan gelombang benar-benar gambaran kehidupan kami berdua yang sesungguhnya. Dan lautan yang tenang dengan kekayaan bakau, kelapa, dan kekokohan batu Termanu merupakan impian kami di masa depan.
Sebenarnya aku seorang gadis perawan kelahiran Rote, pulau paling
selatan Indonesia. Dalam darahku mengalir dengan deras semua adat Rote,
termasuk keterbukaan dan keberanian meminta maaf jika pernah mengalami masa
lalu yang pahit bersama orang lain atau sebaliknya, keberanian untuk berkukuh
dengan prinsip dan keputusan yang sudah diambil tanpa bisa dipengaruhi oleh
siapa pun, apa pun, termasuk oleh dahsyatnya gelombang Pukuafu.
Sementara laki-laki di depanku ini, yang lima menit lalu telah
berciuman denganku, adalah seorang pemuda kelahiran Pulau Sabu yang juga
memegang teguh adat dan budayanya, dan makna ciuman telah melekat dan mendarah
daging dalam dirinya sebagai bentuk maaf yang paling tinggi, tulus, dan suci
untuk dihargai. Ya, aku telah berkeputusan untuk terbuka dan berani memaafkan
dan menerima maaf dari laki-laki Sabu ini dengan harga yang sangat mahal dan
tulus, yaitu berupa sebuah ciuman. Ciuman adat. Bukan ciuman sepasang muda-mudi
yang dimabuk cinta. Selain kami sudah tidak terbilang muda lagi, kami memang
bukan sepasang kekasih. Justru sebaliknya, sepasang musuh, dan ciuman telah
memerdekakan kami.
”Bagaimana kabar Ina Yuli?” aku membuka percakapan untuk
mencairkan kebekuan ini.
”Sudah meninggal, kami baru memakamkannya seminggu yang lalu. Hari
ini aku harus kembali ke Rote karena besok aku harus kembali bekerja.”
”Jadi....”
”Ya, aku sudah bekerja menjadi pegawai negeri sipil di Rote. Sejak
mama memutuskan kembali ke tanah kelahiran kami di Sabu Mesara, aku menemaninya
dan kuputuskan tetap bersamanya sampai ajal menjemput. Namun, ajakan hidupku
sudah digariskan Tuhan, aku lulus tes PNS dan ditempatkan di Rote. Kutinggalkan
Sabu dengan mama yang berat melepaskanku. Sejak itu mama sakit-sakitan dan kami
belum lama memakamkannya. Maafkan aku, kalau aku terlihat cengeng di depanmu.”
Aku meneteskan air mata. Ibu lelaki itu telah meninggal dan
dimakamkan seminggu lalu? Berarti orang tua itu meninggal di usia yang renta.
Dan lelaki ini telah menetap di Rote.
”Bagaimana dengan Teo Lin?” lelaki itu telah menanyakan tentang
ibuku sebelum aku sempat menyatakan turut berdukacita atas kematian ibunya.
”Aku turut berduka atas kematian Ina Yuli. Ibu juga sudah
meninggal lebih cepat dari Ina Yuli, tepatnya ibuku meninggal saat aku
menamatkan sekolah menengah pertama.
”Wah, sudah lama sekali.”
Aku mengangguk dan memandang wajah lelaki itu. Tampak satu-dua
kerutan di bawah matanya.
”Ya, sudah lama dan itu berarti kita sudah semakin tua,” kataku
lepas begitu saja.
”Ya, dan kita bahagia dengan keluarga kita masing-masing. Bukankah
begitu?” tanya laki-laki itu sambil tidak memandang padaku, namun matanya
mencoba membaca langit serta ujung cakrawala di depan kami seakan dia bisa
menemukan jawaban atas pertanyaannya di sana.
”Hei, kenapa diam?”
Laki-laki itu kembali bertanya, dan aku sibuk memikirkan kata-kata
yang pantas untuk sebuah jawaban yang sopan pada laki-laki ini.
”Ya, aku dan papa sangat bahagia. Walau kami cuma berdua dan
kondisi papa sakit-sakitan, dan sebagai anak semata wayangnya aku yang
merawatnya, namun aku sangat bahagia” kataku jujur.
”Jadi papa ikut kamu? Bagaimana dengan rumah besar?”
”Tidak! Justru selamanya aku yang terus ikut papa. Percaya atau
tidak, aku belum menikah hingga sekarang.”
Betapa terenyaknya diriku saat aku juga mendapati bahwa laki-laki
di depanku ini juga sama dengan diriku, melajang hingga detik ini.
”Apa artinya pernikahan buatmu?”
Laki-laki itu bertanya perlahan dan aku menanggapinya dengan
jujur. Mungkinkah sebuah pertanyaan bisa menjadi alasan yang melilit lelaki itu
hingga belum berani memutuskan menikah hingga detik ini? Aku mencoba tersenyum
sebelum menjawab pertanyaan itu.
”Menikah bagi saya adalah membentuk keluarga bahagia bersama orang
yang saya cintai, keluarga yang taat pada agama dan adat, serta memiliki anak
untuk melanjutkan keturunan.”
Lelaki itu memandang ke laut lepas. Nyaris tidak percaya masih ada
alasan sesuci itu untuk sebuah pernikahan bagi perempuan modern.
”Jangan lupa, aku masih tetap seorang perempuan Rote. Gadis Rote
yang taat pada adat dan agama. Nenek moyangku mengajarkan hal terbaik soal
pernikahan dan itu kuagung-agungkan hingga sekarang.”
”Mungkinkah aku bisa melamarmu untuk maksud baikmu itu? Itu juga
impianku.”
”Jangan! Aku menerima ciumanmu bukan untuk sebuah lamaran
pernikahan, namun untuk sebuah dendam masa lalu orangtua kita yang harus
diakhiri.”
Laki-laki itu mengalihkan pandangannya dari laut lepas ke bola
mataku yang terlihat protes.
”Jangan dipikirkan,” katanya perlahan, namun sempat menghentikan
debaran jantungku. Mungkinkah ia tidak memiliki perasaan apa-apa padaku?
Mungkinkah aku harus jujur bahwa sejak kita kecil dulu... aku sudah sangat
mengasihinya dan tidak ingin kehilangan dirinya? Jika perasaan masa kecil dulu
berbeda warnanya dengan perasaanku sekarang, mungkinkah itu tetap membuatku
tidak kehilangan dia?
Laki-laki itu tersenyum.
”Kenapa? Ada yang lucu?”
”Lihatlah itu,” laki-laki itu menunjuk kepada seorang perempuan
kecil berusia sekitar 8 tahun sedang menggendong seorang anak laki-laki kecil
sekitar 3 tahun.
”Mungkinkah itu bisa membuka kenanganmu tentang aku?”
Debaran di jantungku makin kencang mengingat laki-laki itu selalu
menyimpan kenangan itu dalam hatinya.
”Benarkah kamu masih mengingat semuanya itu?”
Laki laki itu berbinar.
”Janganlah ingatkan aku hal itu. Aku takut terikat pada kenangan
itu!”
”Kenapa?” laki laki itu menyentuhku dengan tatapannya yang lembut.
”Kenangan itu telah membuatku selalu hidup.”
”Benarkah?”
”Dan aku tidak percaya kamu masih tetap ada untuk aku.”
”Yakinkah kau akan hal itu?”
”Entah mengapa aku selalu percaya, di hari tuaku nanti, aku akan
mengulangi masa-masa bersamamu seperti halnya masa kecil kita itu.”
”Hm..tapi…”
”Jangan khawatir aku tidak ingin minta digendong. Justru aku telah
siap menjaga dan melindungimu.”
Kami pun tertawa bersama. Membuatku melupakan banyak hal.
Mungkinkah ini sebuah mimpi? Apakah hidup sedang meminjamkan padaku waktu untuk
aku kembali ke masa laluku?
Aku selalu ingat. Siang itu. Siang yang sangat mencekik di bulan
Oktober. Dua orang perempuan dewasa yang sebaya sedang menumbuk padi, ditemani
dua orang anak kecil. Seorangnya lelaki kecil berusia 3 tahun, berada dalam
gendongan gadis kecil berusia 8 tahun. Lelaki kecil itu terus menangis,
sementara dua perempuan dewasa yang sebaya itu terus saja menumbuk padi. Belum
ada sebutir padi pun telah menjadi beras sehingga tidak ada yang bisa dimakan
hari itu. Tiba-tiba gadis kecil itu bangkit dari duduknya hendak mengambil air
buat lelaki kecil dalam gendongannya. Gadis itu terjatuh dan lelaki kecil itu
terlepas dari gendongannya, kepala kedua anak itu membentur tanah.
”Hei, kamu jahat, kenapa kamu jatuhkan adikmu,” salah seorang dari
perempuan dewasa itu memekik lantang. Perempuan itu adalah ibu lelaki kecil
yang terjatuh itu.
”Bukan... adik… adik terjatuh. Bukan maksudku menjatuhkan...,”
gadis kecil itu tertatih menjawab.
”He, kamu beraninya melawan? Ini anak laki-laki saya, seenaknya
saja kamu jatuhkan,” perempuan dewasa itu telah berteriak mengangkat lelaki
kecil anaknya yang meledak tangisnya, bukan karena jatuh, tetapi karena suara
ibunya sangat memekakkan telinga.
”Hei, kamu beraninya membentak anak saya. Ini anak perempuan saya
satu-satunya, seenaknya saja kamu bentak. Bagaimanapun dia telah menggendong
anakmu,” ibu gadis kecil itu tersinggung dan ikut lantang.
”Siapa yang memintanya menggendong anakku? Dia sendiri kan?
Digendong untuk dijatuhkan!” ibu lelaki kecil itu memeluk anaknya lebih erat
dan memunggungi sang gadis kecil dan ibunya. Suasana itu semakin memanas dan si
gadis kecil menangis memohon-mohon agar ibu lelaki kecil itu percaya bahwa dia
tidak bermaksud menjatuhkan lelaki kecil itu.
”Sudahlah, Nak, pergilah dari sini, biar ibu yang akan
menjelaskannya. Mungkin dengan cara begini perempuan ini bisa paham.”
Dan bruuk!
Ibu si gadis kecil itu telah melempari punggung ibu lelaki kecil
itu dengan batu pemecah jerami. Wanita itu ambruk, berdarah, dan si gadis kecil
itu berlari mengambil si lelaki kecil dari gendongan ibunya yang ambruk. Mereka
berdua bersembunyi di antara tumpukan jerami. Hingga akhirnya polisi menemukan
kedua bocah itu. Orang-orang melarikan ibu lelaki kecil itu ke rumah sakit.
Matahari memanggang di atas 30 derajat. Ibu gadis kecil itu
digiring ke penjara setelah menjalani persidangan pengadilan. Sejak saat itu
kedua bocah itu dipisahkan oleh dendam kedua ibunya yang tidak pernah berakhir.
”Hei… sejak tadi telah berada di depanku tetapi seperti tiada.”
Aku dikejutkan oleh suara lelaki yang masih setia di depanku.
”Ayo turun, kita sudah sampai. Lihat kapal telah bersandar, dan
semua orang sedang antre di pintu keluar. Ayolah.”
”Apa yang sedang kamu pikirkan?”
”Sepanjang perjalanan ini aku memikirkan tentang kita.”
”Katakan sesuatu,” desakku berdebar.
”Seberapa dalam kamu telah mengampuni aku dan keluargaku?”
Debaran di hatiku memanjang lirih.
”Seberapa dalam menurutmu?” aku berdebar mengembalikan pertanyaan
itu.
”Kamu tidak bersalah telah menjatuhkan aku dari gendonganmu. Itu
peristiwa biasa.” lelaki itu telah berbicara serius.
”Ya, itu peristiwa biasa. Yang luar biasa adalah cinta ibumu
padamu.”
”Tapi, semua itu telah membuat ibumu terluka dan ibuku masuk
penjara,” aku memelas.
”Jadi seberapa dalam kamu telah mengampuni peristiwa masa lalu
itu?” aku lanjutkan ucapanku.
”Satu ciuman kita tadi adalah bukti bahwa kita berdua telah
mengampuni peristiwa masa lalu itu sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali.”
”Tujuh puluh kali tujuh kali?”
”Ya, tujuh puluh kali tujuh kali, ampunilah orang lain.”
Rote terlihat begitu letih. Orang-orang masuk keluar wilayah
terselatan Indonesia ini dengan kepentingannya masing-masing. Para pelancong
dari mancanegara yang hendak berselancar di pantai Nemberalla yang terkenal
itu, bahkan hingga manusia-manusia perahu yang sering tertangkap di pintu
gerbang selatan ini.
Berdua, aku dan lelaki ini menginjakkan kaki di tanah Rote. Ini
bukan yang pertama bagi kami, namun sesungguhnya ini yang pertama untuk
kemerdekaan kami. Semoga selamanya demikian, kami jangan lagi keletihan oleh
dendam masa lalu. Tujuh puluh kali tujuh kali, kami telah dimerdekakan….
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !