ANALISIS
POLITIK YUDI LATIF
Harian Kompas Cetak |Selasa, 17
November 2015
Indonesia adalah cermin
yang retak. Elite negeri hanya melihat segala sesuatu dari sudut bayangan
kepentingan masing-masing. Keakuan dan kekamian mencekik kekitaan. Rakyat
kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang
ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan. Dalam kondisi kerakyatan yatim
piatu, bahaya terbesar adalah terjebak dalam pola pikir ketergantungan dan
mentalitas korban (victim mindset), yang serba pasif menanti kedatangan juru selamat.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Krisis kebangsaan takkan
pernah bisa menemukan penyelesaian apabila rakyat terus memandang kepahlawanan
sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya. Ketimbang terus menunggu
kedatangan pahlawan di luar sana, lebih baik warga menghidupkan kekuatan
kepahlawanan dalam diri sendiri. Seperti diingatkan psikolog Carl S Pearson,
orang-orang biasa bisa menghadirkan kehidupan luar biasa apabila mampu
mendayagunakan apa yang disebutnya sebagai ”the power of mythic archetypes”, yakni mitos tentang fitrah (archetype) kepahlawanan dalam diri.
Menurut Pearson, ada
enam model fitrah kepahlawanan dalam diri. Pertama, model yatim piatu (orphan), dengan memandang hidup sebagai penderitaan,
dan tugas kepahlawanannya adalah berjuang mengarungi kesulitan. Kedua, model
pengembara (wanderer), dengan memandang hidup sebagai petualangan, dan tugas
kepahlawanannya menemukan kesejatian diri. Ketiga, model pendekar (warrior), dengan memandang hidup sebagai pertarungan,
dan tugas kepahlawanannya adalah membuktikan harga diri.
Keempat, model murah
hati (altruist), dengan memandang hidup sebagai komitmen terhadap kebajikan lebih
luhur, dan tugas kepahlawanannya adalah menunjukkan pertolongan (pelayanan).
Kelima, model bersahaja (innocent), yang memandang hidup sebagai keriangan, dan
tugas kepahlawanannya adalah meraih kebahagiaan. Keenam, model tukang sulap (magician), dengan memandang hidup sebagai seni
menciptakan dunia, dan tugas kepahlawanannya adalah mentransformasikan diri.
Di tengah kegaduhan
pesta pora elite negeri yang mabuk kepayang, yang melupakan dan menelantarkan
rakyat sebagai yatim piatu, warga tidak bisa terus meratapi penderitaan sambil
melamunkan kedatangan Sang Herucokro. Warga harus bangkit bertempur,
menghidupkan fitrah kependekaran dalam dirinya. Dengan menghidupkan jiwa
kependekaran, warga bisa menjalani kehidupan lebih gigih dan bertenaga, tak
lembek membiarkan kejahatan dan pengkhianatan berjalan tanpa perlawanan. Dengan
pengaktifan daya-daya perjuangan, tanpa perlu kekerasan, warga bisa terlibat
dalam tarian kehidupan (the dance of life), tidak sekadar penonton yang cuma pandai
berteriak, mengumpat, dan mengeluh.
Ketika politik di negeri
ini menjelma menjadi seni memerintah dengan menipu rakyat, yang menjadikan
kekuasaan sebagai sarana pemenuhan keserakahan, kepahlawanan yang harus
dibangkitkan dari dalam diri adalah jiwa ”murah hati” (altruist).
Di dalam budaya
kependekaran, pencapaian adalah segalanya. Namun, kita semua suka dinilai
sebagai manusia, terlepas dari apa pencapaian kita. Tanpa orang-orang yang
bekerja tanpa pamrih, memberikan cinta dan kepedulian tanpa berharap balasan,
kehidupan masyarakat seperti arena transaksi jual beli yang kering dan mandul.
Kita perlu memiliki makna hidup yang lebih luas sebagai panduan hidup, yang
tidak sekadar didorong oleh nafsu meraih kekuasaan dan uang. Jiwa altruist melambangkan semangat berbagi dan
kelimpahan kasih, yang dapat menyuburkan kembali bumi yang tandus. Jika negara
ini dirundung banyak penyakit, tiada lain karena yang ditumbuhkan dalam
kehidupan adalah rakus dan dengki. Jalan cinta dengan semangat berbagi dan
melayani adalah obat mujarab yang memberi kesehatan pada kehidupan.
Akhirnya, di republik
korup yang dirayakan oleh maling teriak maling, ratusan undang-undang dibuat
untuk dilanggar, dan berbagai prosedur direkayasa untuk menjadi perangkap
ketersesatan baru; yang diperlukan untuk mentransformasikan kehidupan adalah
aktor politik yang mampu menghidupkan kekuatan magician. Magician menjalani hidup bersahaja (innocent), tetapi lebih aktif sebagai pembuat perubahan.
Seorang magicianbersedia bangkit berdiri, bahkan jika penuh risiko atau menuntut
perubahan revolusioner. Namun, berbeda dengan para warrior, aktor-aktor magiciantidak berilusi untuk mengontrol sepenuhnya
kehidupan; sebaliknya mereka bersedia membiarkan dirinya menjadi bagian yang
ditransformasikan oleh kehendak zaman.
Dengan demikian, mereka
mampu membaca arus dan arah pergerakan kehidupan lebih jernih yang dapat
memberikan efek perubahan lebih dahsyat, yang tampak seperti magic. Jika para warrior berstrategi menggunakan kehendak dan
kekerasan hati untuk membuat perubahan, para magicianpercaya kekuatan visi akan menciptakan
momentumnya tersendiri. Karakter seperti itulah yang tampak dari para magician terkemuka dunia, seperti Mohandas K Gandhi
dan Martin Luther King.
Kalau ada yang paling salah dalam proses
pembelajaran politik di negeri ini, hal itu tak lain pahlawan selalu
ditempatkan di kesilaman di luar diri, tetapi tak pernah dihadirkan di kekinian
di dalam diri. Pahlawan selalu merupakan sesuatu tanpa penantian dan kematian,
tidak pernah menjanjikan kehadiran dan kehidupan.
Saatnya kita jadikan
kepahlawanan sebagai sesuatu yang hidup di dalam diri, sekarang dan di sini,
dengan mentransformasikan diri secara terus-menerus sehingga mampu mengubah
situasi penderitaan menjadi wahana penempaan diri menjadi seorang magician.
YUDI LATIF, ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN
INDONESIA; PENDAPAT PRIBADI
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !