oleh : prof dr BOEDIONO
Harian Kompas Cetak | 13 November 2015
Nun di perbatasan Amerika Serikat
dengan Meksiko ada sebuah kota namanya Nogales.Kota ini unik karena terbelah
dua oleh pagar yang menandai perbatasan dua negara.Bagian utaranya adalah
bagian dari Arizona, negara bagian Amerika Serikat, sedangkan bagian selatannya
adalah bagian dari Sonora, negara bagian Meksiko.
Sejarahnya kembali pada abad ke-19,
mengapa satu kota terbelah dua dan menjadi bagian dari dua negara yang
berbeda.Tetapi, kita tidak perlu ke situ.Yang perlu kita catat adalah bahwa
dengan sumber alam yang tidak berbeda dan mayoritas penduduk yang lahir dari
nenek moyang yang sama, kondisi kehidupan di kedua bagian kota itu saat ini
sangat berbeda.
Di bagian utara rata-rata penghasilan
rumah tangga mencapai 30.000 dollar AS per tahun, sedangkan di sebelah selatan
hanya sekitar 10.000 dollar AS per tahun.Di utara mayoritas penduduk dewasa
lulusan SMA, di selatan mayoritas tidak punya ijazah SMA dan bahkan banyak
remajanya yang tidak mengenal sekolah.Dibandingkan dengan Nogales utara,
Nogales selatan penduduknya punya harapan hidup yang lebih pendek, harus puas
dengan pelayanan kesehatan yang lebih buruk, sehari-hari harus menghadapi
kondisi jalan rusak dan prasarana lain penopang kehidupan yang tidak memadai,
dan kehidupannya dihantui rasa waswas karena tingkat kriminalitas yang tinggi.
Pertanyaan langsung muncul di benak
kita: apa penyebab utama perbedaan kondisi kehidupan yang mencolok di dua
bagian kota ini? Jawabannya: di Nogales selatan perangkat-perangkat publik yang
memengaruhi kehidupan sehari-hari warga umumnya punya kinerja lebih buruk
daripada di Nogales utara.Politiknya kotor, pemerintahan setempat tidak peka
pada kebutuhan warga, birokrasinya lamban dan banyak mengutip pungutan, lembaga
penegak hukumnya tidak bersih.Untuk mengejar Nogales utara, bagi Nogales
selatan hanya ada satu jalan, yaitu memperbaiki kinerja lembaga-lembaga itu.
Kinerja lembaga publik
Kisah seperti itu tidak unik
Nogales.Kita menjumpai kisah serupa bila kita membandingkan Korea Utara dengan
Korea Selatan, atau—di masa lalu—Jerman Barat dengan Jerman Timur. Juga,
barangkali antara satu daerah dengan daerah lain di Tanah Air, meskipun kontrasnya
tidak akan setajam kisah-kisah antarnegara tersebut. Pesannya satu: kinerja
lembaga-lembaga publik—institusi—menentukan kesejahteraan bangsa.
Setiap institusi publik pada hakikatnya
terdiri dari dua unsur pokok, yaitu (a) satu set aturan main; dan (b)
manusia-manusia yang melaksanakan aturan main itu.Hakikat suatu institusi
bukanlah gedungnya, bukan pula berbagai peralatan canggih yang ada di sana,
bahkan bukan pula banyaknya manusia yang bekerja di sana. Kinerja suatu
institusi ditentukan oleh kualitas dua komponen intinya tadi,
yaitu kualitas aturan mainnya dan kualitas manusia pelaksananya.
Membangun institusi jauh lebih rumit
daripada mendirikan pabrik, membangun infrastruktur, atau membuka lahan
pertanian dan tambang.Institusi harus mengakar pada kultur dan kenyataan sosial
yang ada di negara itu dengan segala keunikannya.Membangun institusi lebih
mirip menanam pohon, yang harus dicocokkan dengan keadaan tanah dan iklim yang
ada.Institusi tidak bisa sekadar dijiplak dari negara lain.Ia harus ditumbuhkan
di lingkungan sosial nyata di negeri ini dan sebagai hasil tangan kita sendiri.
Manusia adalah building blocs institusi.
Kinerja suatu institusi ditentukan oleh mutu manusia pembuat aturan mainnya dan
mutu manusia pelaksana aturan main tersebut.
Membangun manusia untuk membangun
institusi menuntut langkah-langkah yang konsisten dan berkesinambungan dalam
rentang waktu panjang, melintas generasi.Tuntutan ini sering tidak klop dengan
siklus tahunan anggaran dan siklus politik lima tahunan.Dalam kehidupan
berdemokrasi dan berpolitik di dunia nyata, permasalahan jangka panjang sering
tersisih oleh masalah-masalah ”mendesak” yang terus-menerus datang. Tanpa kita
sadari kita terperangkap dalam dunia yang serba jangka pendek. Kita merasa
tidak sempat lagi untuk mengalokasikan waktu dan perhatian untuk memikirkan
masalah-masalah mendasar jangka panjang; masalah-masalah yang akhirnya
menentukan apakah bangsa kita akan tetap eksis 50 tahun, 100 atau 200 tahun
lagi.
Kita memang tidak pernah berpangku
tangan membangun manusia.Sudah banyak program di bidangpendidikan dan kesehatan
yang dilaksanakan.Tetapi, program dan kebijakan yang fokus dan terpadu untuk
menciptakan manusia-manusia Indonesia baru yang unggul, saya harus mengatakan
bahwa kita belum punya.
Perspektifnya harus antargenerasi.Suatu
bangsa akan maju bila setiap generasi mampu menciptakan generasi penerusnya
yang lebih unggul.Oleh karena itu, fokus dan titik berat program dan kebijakan
di bidang pendidikan dan kesehatan haruslah pada generasi muda.Langkah-langkahnya
harus terpadu dengan satu tujuan, yaitu mengembangkanpotensi jasmani-rohani
anak-anak Indonesia sejak di rahim ibu sampai, setidaknya, mereka menginjak
masa remaja. Pada umur yang menentukan ini program-program itu harus
dilaksanakan dengan keterpaduan dan intensitas maksimal.Apabila kita lalai atau
terlambat, kita akan melahirkan generasi yang kerdil secara fisik maupun
mental; generasi yang mengalami stunting!
Akhir-akhir ini kita sangat dirisaukan
oleh adanya berita yang bertubi-tubi mengenai kasus kekerasan terhadap anak dan
berbagai praktik perampasan hak-hak anak. Kita jelas terganggu secara
moral.Tetapi, kita makin merasa terganggu karena kita menyadari bahwa tindak
kejahatan terhadap anak-anak mengacaukan upaya kita membangun bangsa.
Oleh karena itu, pendidikan, kesehatan,
dan perlindungan anak harus menjadi Trilogi Pembangunan Generasi Muda
kita.Idealnya, ke depan setiap anak yang baru lahir di negeri, tanpa kecuali,
harus mampu dijangkau program terpadu ini.
Dua ribu lima ratus tahun lalu filsuf
Yunani kuno, Aristoteles, mengatakan, bahwa masyarakat yang baik adalah
masyarakat yang semua komponennya berada di tempat yang seharusnya, termasuk
manusia-manusianya menduduki posisi yang paling sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.The right person in the right place.Inilah prinsip
meritokrasi.Bersama dengan pembangunan manusia, meritokrasi merupakan
prasyarat mutlak untuk membangun institusi yang efektif.
Meritokrasi tidak datang dengan
sendirinya.Realitanya, di negara-negara yang sedang membangun justru banyak
hambatan kultural, sosial, ekonomi, dan politik yang menghadang upaya penegakan
meritokrasi.Demokrasi tidak menjamin terwujudnya meritokrasi.Demokrasi
membantu, tetapi bukan prasyarat terwujudnya meritokrasi.Kuncinya satu: adanya
kemauan politik dan komitmen yang kuat dari elite bangsa untuk menegakkan
meritokrasi.Ada satu contoh untuk ini yang patut disebut: Singapura.
Prioritaskan di tiga hal
Mengingat kita tidak mungkin membenahi
semua institusi sekaligus, institusi- institusi mana yang seyogianya
diprioritaskan?Menurut pandangan saya, ada tiga kelompok institusi publik yang
perlu diprioritaskan karena punya dampak luas bagi kinerja institusi-institusi
lain.Institusi-institusi itu berada di ranah politik, birokrasi, dan hukum.
Politik!Dulu pernah ada ungkapan
”politik adalah panglima”.Ungkapan ini tidak terlalu salah karena di negara
modern politik adalah sumber utama dari aturan- aturan yang mengikat
publik.Institusi politik harus yang paling pertama dibenahi karena ia adalah
hulunya dari pembuatan aturan-aturan publik.Sebaik apa pun institusi-institusi
lain, masyarakat tak akan menikmati hasilnya apabila aturan-aturan yang dibuat
dari awal tidak baik.
Institusi politik semestinya diisi oleh
putra-putri terbaik bangsa.Di masa perjuangan kemerdekaan dulu, mereka yang
terbaik dan paling cerdas—the best and the brightest—menjadi penjuru
perjuangan politik dan karena itu kemerdekaan diraih dengan gemilang.Di masa
setelah itu tampaknya bangsa kita kesulitan untuk mempertahankan standar
tersebut, dan kita menyaksikan konsekuensinya.Demokrasi ternyata tidak menjamin
putra-putri terbaik bangsa berduyun-duyun masuk politik. Keengganan putra-putri
terbaik untuk masuk politik dan membenahi kehidupan politik tentu tidak boleh
berlanjut.Plato, guru Aristoteles, mengingatkan kita begini: ”One of
the penalties for refusing to participate in politics is that you end up being
governed by your inferiors.”
Birokrasi! Institusi birokrasi penting
karena sebaik apa pun aturan mainnya tak akan pernah diperoleh hasil yang baik
bila aparat pelaksananyamemble.Masalahnya sama: bagaimana kita bisa
menarik orang- orang terbaik masuk birokrasi.Birokrasi adalah barometer utama
pelaksanaan meritokrasi.Reformasi birokrasi harus diarahkan untuk menciptakan
lingkungan yang menarik bagi putra-putri terbaik untuk mengabdikan bakat dan
kemampuannya bagi kepentingan publik.
Di sini pun demokrasi tidak menjamin
terwujudnya birokrasi yang baik dan ia bukan pula prasyarat bagi berhasilnya
reformasi birokrasi.Kuncinya, sekali lagi, adalah tekad politik dan komitmen
elite bangsa.Reformasi birokrasi bukan program yang tuntas dalam satu masa
kabinet, tetapi rangkaian langkah pembenahan yang konsisten dan
berkesinambungan antarkabinet.
Hukum!Saya ingin menggarisbawahi
pentingnya pembangunan institusi hukum dengan kisah sejarah berikut ini.
Di abad ke-18 ada dua revolusi besar
yang terjadi hampir bersamaan: Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis
(1789).Keduanya bercita-cita mulia, yaitu mengganti orde lama yang tidak adil
dan opresif di negara masing-masing dengan orde baru yang berlandaskan
demokrasi, kebebasan, dan persamaan.Namun, dalam perjalanannya kedua revolusi
itu ternyata menapak trayektori yang sangat berbeda. Revolusi Amerika berlanjut
dengan perjalanan panjang menuju pembentukan negara demokrasi yang mapan,
sedangkan Revolusi Perancis—setelah sepuluh tahun berjalan—berakhir dengan
munculnya Napoleon Bonaparte sebagai kaisar.
Mengapa?Ada berbagai faktor yang
menyebabkan perbedaan trayektori itu.Tetapi, yang paling penting,menurut hemat
saya, adalah adanya perbedaan mendasar dalam bagaimana hukum diterapkan dalam
perjalanan revolusi itu.Sejak awal para tokoh Revolusi Amerika menginginkan
sistem hukum Inggris, yang sangatmengedepankan proses hukum, due
process of law, diadopsi di negara baru mereka.Mereka dari awal sibuk
menyempurnakan dan membangun fondasi baru bagi sistem hukum lama yang dinilai
cukup baik.
Sementara para tokoh RevolusiPerancis
menginginkan sistem hukumlama yang ada dijebol dan diganti dengan sistem yang
sama sekali baru yang sesuai dengan cita-cita revolusi.Karena berbagai sebab,
dalam perjalanannya RevolusiPerancis menjadi makin radikal.Kebencian rakyat
terhadap para aristokratdan mereka yang terkait dengan ordelama dibiarkan
menjadi motivasi dan penggerak penerapan hukum.Kekacauan hukum terjadi.Pada
masa yang disebut Reign of Terror, 1791-1792, banyak orang dikirim
ke guillotine tanpa proses hukum.Kekacauan sosial terjadi.Rakyat mulai
mendambakan kembalinya kedamaian dan ketertiban sosial. Muncullah sosok orang
kuat, Napoleon Bonaparte, yang mampu mengembalikannya.Perancis berterima kasih
dan memberinya kekuasaan absolut.
Inilah pelajaran sejarahnya: penerapan
hukum yang tidak ditambatkan pada proses hukum yang tidak mengutamakan
kebenaran dan keadilan, yang didasarkan pada kebencian, melahirkan social
disorder. Dibutuhkan seorang diktator untuk mengembalikan social
order.Dan, revolusi yang mencita-citakan demokrasi justru akhirnya
melahirkan otokrasi.
Kisah ini semestinya menjadi pengingat
bagi kita betapa pentingnya mengawal penerapan hukum yang adil, betapa
pentingnya pembangunan institusi hukum, dan betapa pentingnya putra-putri kita
terbaik masuk dan terlibat penuh dalam upaya kita membenahi dan membangun hukum
di Tanah Air tercinta ini.
BOEDIONO, WAKIL PRESIDEN RI 2009-2014
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !