Kesalehan Sosial –
Politik
Harian
Kompas, 5 Desember 2017 (Kolom – Analisis Politik)
“God given yoe one
face, and you make yourself another” (William Shakespeare).
Kesalehan
individual dan kesalehan sosial. Itulah tema pokok sambutan Presiden Joko Widodo
dalam peringatan Maulid Nabi SAW di Istana Bogor, Jumat (1/12/2017). Ini tema
tepat waktu. Bukan baru sama sekali karena telah menjadi subyek konferensi,
seminar dan khotbah. Namun, sangat relevan tidak hanya dalam konteks kehidupan
keagamaan, tetapi juga kehidupan berpolitik dan berbangsa-bernegara.
Presiden
Jokowi menegaskan, umat Islam diharapkan melanjutkan misi kenabian. “Misi
kenabian pertama mengajak umat bertaqwa kepada Allah. Artinya, kesalehan
individual. Misi kedua kesalehan sosial, yaitu membuktikan bahwa Islam adalah rahmatanlil ‘alamin (rahmat bagi alam
semesta),” kata Presiden (Kompas 2/12/2017). Apa bentuk kesalehan sosial yang
dicontohkan Nabi yang perlu ditiru? Presiden Jokowi dengan pas mengemukakan
teladan Nabi Muhammad ketika membangun negara kota Madinah.
Secara
historis, Nabi membangun sistem kehidupan politik, sosial, dan keagamaan yang
damai, adil dan rukun melalui Piagam (Konstitusi) Madinah. Piagam ini
memberikan jaminan keamanan jiwa, kebebasan beragama dan kepemilikan properti
kepada umat beragama berbeda. Karena itu, seperti ditegaskan Presiden Jokowi.
“Madinah adalah bukti kerukunan dan persatuan lintas etnis, klan, agama dan
juga antar kelompok Anshar (pribumi Madinah).”
Apa
yang dilakukan Rasullullah itu tak lain adalah perpaduan antara kesalehan
individual dan kesalehan sosial-politik yang bersumber dari agama secara
komprehensif (kaffah). Kepaduan di
antara berbagai kesalehan ini menjadi kunci kesuksesan Nabi Muhammad dalam
membangun negara kota Madinah menjadi cradle
of Islamic civilization (tempat lahir peradaban Islam).
Lebih
jauh, pengalaman Nabi Muhammad di negara kota Madinah, menurut sosiolog agama Robert N Bellah dalam Beyond Belief (1970), sangat modern
untuk zamannya. Sayang tulis Bellah, pengalaman kemodernnan itu berakhir dengan
bangkitnya kembali kabilahisme, klanisme, dan sektarianisme agama dan
sosial-budaya pada masa pasca-Nabi, dan terus berlanjut sampai sekarang.
Keadaan
memperihatinkan ini banyak bersumber dari keterbelahan antara kesalehan agama
individual-personal dan kesalehan sosial termasuk kesalehan politik, seperti
kemiskinan, intoleransi, konflik soail, terorisme, perang bahkan di antara umat
seagama.
Kesalehan
individual-personal di kalangan umat beragama di Indonesia terus meningkat.
Peningkatan itu terkait dengan stabilitas politik dan sosial yang memungkinkan
membaiknya ekonomi, pendidikan, dan sosial banyak warga. Perkembangan itulah
yang membuat semakin banyak berbagai rumah ibadah didirikan. Kian banyak pula
di antara umat yang pergi haji, umrah, dan ziarah lain. Juga terlihat
peningkatan jumlah dana filantrofi untuk kepentin gan agama dan sosial. Semua
gejala ini bertumbuh seiring peningkatan ekspresi personal kesalehan (piety) lain, misalnya penggunaan pakaian
yang dipandang lebih sesuai tuntunan agama. Gejala ini paling terlihat di
kalangan kaum perempuan Muslimah Indonesia yang kian banyak menggunakan jilbab
dan hijab. Namun, peningkatan kesalehan individual personal tidak banyak
mengimbas dalam kesalehan sosial. Ekspresi kesalehan sosial baru terwujud dalam
pemanfaatan dana filantropy membantu kaum fakir miskin secara ad hoc dan korban bencana alam, serta
pembangunan berbagai fasilitas lembaga keagamaan, baik di dalam negeri maupun
luar negeri, seperti rumah sakit Indonesia di Gaza dan Rohingya. Di luar itu,
kesalehan sosial-politik (socio-political
piety) masih jauh dari harapan.
Karena
itu, banyak orang memiliki dua muka, Seperti kutipan dari sastrawan Shakespeare
di awal tulisan ini, Tuhan menciptakan manusia dengan satu muka/wajah, tapi
manusia membuat wajah lain. Dalam bahasa agama, dua muka adalah munafik. Wajah
ganda mencerminkan kesenjangan individual dengan kesalehan sosial-politik itu
terlihat sangat jelas. Di antaranya merajalelanya korupsi, meningkatnya
pelanggaran hukum dan ketertiban umum, serta merosotnya keadaban publik.
Korupsi
di Tanah Air sudah menjangkiti masyarakat dari tingkat atas sampai akar rumput.
Berbagai kasus megakorupsi tengah diungkap KPK, seperti KTP elektronik yang
melibatkan pejabat tinggi dari Ketua DPR, anggota DPR, petinggi eksekutif,
hingga pengusaha swasta. Juga dari waktu ke waktu KPK terus melakukan operasi
tangkap tangan.
Pada
saat yang sama, berbagai penelitian atau survey menunjukkan masyarakat masih
saja permisif terhadap perilaku korupsi. Gejala ini menunjukkan sikap putus asa
dan menyerah pada “keharusan” menoleransi perilaku korupsi. Masalahnya,
kesalehan individual personal lebih banyak muncul dari dorongan internal diri
sendiri. Dorongan internal ini tidak fungsional membentuk kesalehan
sosial-politik. Tidak ada driving force
dalam diri untuk mewujudkan kesalehan sosial-politik.
Karena
itulah kesalehan sosial-politik perlu dibentuk dan dibudidayakan lewat
penegakan hukum yang tegas, konsisten, kontinyu, tidak pandang bulu. Pelanggar
kesalehan sosial-politik, seperti korupsi yang sekaligus melanggar
perundang-undangan dan peraturan mesti dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Cuma
dengan cara itulah kesalehan sosial-politik bisa aktual untuk memperbaiki
negeri ini.
AZYUMARDI AZRA
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !