
Sumitro
Harian Kompas Cetak | Minggu, 8 Agustus 2015
Harian Kompas Cetak | Minggu, 8 Agustus 2015
Di kalangan penghayat Bonokeling, Banyumas, Jawa Tengah,
Sumitro (57) bukan juru kunci yang statusnya paling dihormati. Namun, bagi
orang-orang di luar komunitas, dialah kunci untuk membuka tradisi kuno
Bonokeling yang telah ratusan tahun tertutup dari dunia luar. Perannya sebagai
juru bicara memulas kehadiran komunitas adat yang terus mempertahankan
nilai-nilai adiluhung seperti kejujuran, kesederhanaan, dan gotong royong.
Pagi itu, Sumitro dengan saksama membebatkan kain segitiga warna hitam ke kepala peneliti asal Yogyakarta. Sambil mengikatkan simpul demi simpul hingga seluruh kain menutup kepala, Sumitro berbisik soal makna dari simbol yang diikatkan.
”Ketika dibebatkan, iket (ikat kepala) harus dibuat
dari kain segitiga. Simbol manusia, kakang kawah dan adhi ari-ari.
Kandungan tempat ketuban dalam rahim ibu, tempat manusia dilahirkan dan
plasenta yang melekat pada bayi. Memakai iket berarti menghormati ibu.”
Bonokeling, komunitas adat yang berpusat di Desa Pekuncen,
Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, beberapa tahun terakhir makin memikat
dengan ragam tradisi kuno dan nilai-nilai luhur.
Kemampuan komunikasi Sumitro sebagai juru bicara secara tak
langsung diturunkan dari ayahnya, Ki Marta Sari, yang juga seorang bedogol atau
pembantu juru kunci Makam Kiai Bonokeling. Semasa hidupnya, ayah Sumitro
dikenal sebagai seorang bedogol yang paling cerdas dan mampu
menerjemahkan makna dari tiap tradisi komunitas adat Bonokeling.
Sumitro atau yang lebih akrab disapa Ki Mitro mengingat,
saat kecil, ada larangan bagi pengikut trah Bonokeling membagi informasi
sekecil apa pun mengenai seluk-beluk komunitas adat tersebut kepada orang lain.
”Dulu aturannya sangat ketat. Orang luar tidak boleh masuk saat kami menggelar
ritual,” ucap Sumitro yang juga aktif di Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Medio 2004, sejumlah mahasiswa dari Purwokerto mulai
tertarik mengangkat fenomena eksistensi komunitas adat Bonokeling dalam
penelitian dan skripsi. Saat para mahasiswa kebingungan mencari narasumber,
sejumlah sesepuh komunitas akhirnya mengarahkan mereka ke rumah Sumitro.
”Awalnya, saya hanya mengantarkan para peneliti atau
jurnalis jika mau wawancara ke juru kunci. Harus dimaklumi, tidak semua
penghayat Bonokeling memahami dan mampu mengungkapkan makna ritual-ritual kami.
Sementara saya, entah kenapa, punya dorongan untuk belajar, dari para bedogol
maupun juru kunci,” tutur Sumitro.
Kondisi tersebut yang membuat para sesepuh mendapuk Sumitro
menjadi ”penyambung lidah” kaum Bonokeling. Dia jadi rujukan informasi untuk
sedikit demi sedikit menyingkap muatan nilai di balik tradisi Bonokeling.
Tiga nilai
Nilai-nilai luhur yang masih dihayati pengikut komunitas
adat Bonokeling antara lain kejujuran, kesederhanaan, dan gotong royong. Sumitro
mencontohkan, dalam rapat-rapat di kelurahan, dia paling enggan jika diminta
untuk memanipulasi laporan proyek. ”Kalau jelek, ya, jelek. Saya enggak biasa
mengubah-ubah laporan. Itu bukan keyakinan anak-putu (cucu) Bonokeling,” ujar
Sumitro.
Soal kesederhanaan tecermin di Desa Pekuncen, tempat asal
mereka. Tidak ada rumah megah meskipun pemiliknya sebenarnya seorang juragan
tanah atau petani sukses. Dalam ajaran Bonokeling, ukuran kesuksesan seseorang
dinilai dari perbuatan baik serta penghormatan mereka terhadap orang yang lebih
tua dan leluhur.
Sementara gotong royong seolah jadi napas bagi pengikut
Bonokeling. ”Tidak ada kegiatan adat tanpa gotong royong. Sampai sekarang, jika
seseorang membuat rumah, yang lain akan sukarela membantu. Nanti pemilik rumah
menyediakan makan dan minum,” papar Sumitro.
Bukan hanya membagi informasi, Sumitro juga mendampingi
peneliti, jurnalis, hingga kalangan pemerintahan yang akan merekam, memotret,
dan meluaskan tradisi-tradisi Bonokeling. Sejumlah syarat telah ditentukan
sejak awal.
”Kami ingin membuka diri terhadap pihak luar. Tetapi, mereka
harus menghormati keyakinan dan cara kami jika hendak berada di tengah- tengah
kami,” kata ayah tiga anak itu.
Salah satu syarat yang diwajibkan adalah ikut mengenakan
pakaian adat seperti mereka. Pria mengenakan jarik atau sarung dan iket
warna hitam di kepala, sementara perempuan mengenakan kain jarik.
Sumitro selalu menyediakan sendiri kain iket dan sarung untuk dipinjam
sejumlah pihak yang ingin melihat langsung ritual-ritual komunitas adat
Bonokeling.
Kesibukan Sumitro sebagai juru bicara komunitas adat yang
kini memiliki penghayat berjumlah sekitar 2.000 orang itu semakin tampak selama
pelaksanaan tradisi terbesar penghayat Bonokeling, yakni Unggah- unggahan.
Tradisi memanjatkan syukur dan berdoa untuk para leluhur yang diadakan di
Kompleks Makam Bonokeling di Pekuncen sebelum bulan Ramadhan.
Membangun luar-dalam
Rumahnya yang berdekatan dengan Kompleks Makam Bonokeling
selalu terbuka selama 24 jam. Tamusilih berganti berdatangan. Rumahsederhana
Sumitro menjadi markas dadakan peneliti, awak media,hingga mahasiswa yang
hendak melihat dari dekat pelaksanaan tradisi unik itu.
Selain ruangan, minuman dan kudapan juga selalu disediakan.
”Kami ingin jadi tuan rumah yang baik. Itu salah satu nilai Bonokeling,
memperlakukan tamu seperti saudara. Saya melakukannya ikhlas,” katanya.
Akan tetapi, perannya sebagai penghubung tak jarang mendapat
anggapan miring sesama pengikut komunitas adat Bonokeling. ”Dikiranya saya ini
dapat uang dari tamu karena mereka membawa tas-tas besar. Dikira isinya uang,
padahal itu kan kamera,” ucapnya sambil terkekeh.
Selain itu, jika ada tamu yang dinilai kurang pantas dalam
berbusana dan bertingkah laku selama ritual, Sumitro langsung ditegur oleh
sesepuh. Namun, hal itu tidak membuatnya enggan menjadi sumber informasi dan
penghubung komunitas adat dengan tamu dari luar. Baginya, peran itu membuatnya
menjadi lebih banyak belajar.
Selain merajut hubungan dengan pihak di luar komunitas,
Sumitro juga ikut membangun dari dalam. Melalui kelompok tani yang dibentuknya,
dia beberapa kali mengajukan ribuan bibit pohon kepada pemerintah untuk
menghijaukan sejumlah daerah garapan penghayat komunitas adat Bonokeling yang
bertahun-tahun gundul.
”Sekarang, tanah-tanah itu sudah rimbun dengan pohon jati
dan sengon yang bisa dipanen masyarakat. Tetapi, mereka kami minta kembali
menanam benih agar lahan selalu hijau. Sebab, daerah sini saat kemarau sering
kekeringan,” ujar Sumitro.
Dia juga teguh memperjuangkan keberlanjutan lumbung padi di
desanya yang sudah berlaku turun-temurun. Dengan lumbung padi komunal ini,
warga Bonokeling tidak pernah kelaparan kendati daerah mereka termasuk salah
satu wilayah langganan kekeringan.
Sumitro mengakui, selayaknya komunitas adat, tentu ada
hal-hal yang tetap disimpan sebagai rahasia. Nilai- nilai baik dari kelompoknya
diharap mewarnai peradaban Nusantara.
”Yang buruk biarkan kami bawa ke liang kubur,” ujar Sumitro
yang meyakini bahwa hidup harus berguna bagi sesama.(Oleh : Gregorius
Magnus Finesso).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !